Selarut itu, Poltak masih terjaga. Dia tak ingin kehilangan momen kematian seekor tikus dungu. Malam itu juga!
Di pekarangan belakang, tikus itu dituntun penciumannya mendekati umpan roti dan teri goreng di tengah papan lem. Dia tahu itu lem, bisa memerangkap tubuhnya. Tapi umpan itu, oh, hanya tikus dungu yang akan melewatkannya.
"Eureka!" Tikus itu menemukan solusi.
Dalam sekejap dia melompat ke tengah papan lem. Tepat mendarat di atas umpan roti dan teri goreng.Â
"Hahaha. Kutipu kau, laki tua bangka!"
Tikus itu mulai bersantap malam. Serpih demi serpih roti tawar dan ekor demi ekor teri goreng pindah ke lambungnya. Dia bersendawa. Tanda kenyang, puas.
Saatnya mengasah gigi. Dia melompat ke luar. Tapi sial, papan lem itu ikut terbawa. Keempat kakinya terekat mati.Â
Dia panik. Mencoba melepas kaki-kakinya. Tapi sia-sia. Kini perutnya juga ikut lekat pada papan lem.Â
Kepanikan tikus itu menimbulkan kegaduhan. Poltak yang masih terjaga langsung bangkit menyambar senter dan berlari ke taman belakang.
"Kena kau, tikus dungu!" Di bawah sorot cahaya senter, Poltak puas melihat tikus itu panik tanpa daya, lekat erat pada papan lem.
"Ampun. Kasihanilah aku. Jangan bunuh aku." Tikus itu meratap minta belas kasihan. Kesombongannya musnah seketika.