"Oke! Perang kita mulai! Kau yang memulai!"Â
Poltak merasa ini perang dengan koruptor. Dia bersiasat. Ada tiga pilihan: racun, perangkap, atau lem tikus. Racun bukan opsi bagus. Khawatir tikus mati dan membusuk di atas plafon. Baunya itu, lho.Â
Lagi pula Poltak ingin melihat tikus itu mati di hadapannya. Dengan begitu, dendamnya terpuaskan.
Pilihan terbaik, kalau begitu, perangkap dan lem. Tapi saat itu tersedia hanya perangkap. Maka itulah pilihan Poltak.
Malam hari, sebelum tidur, Poltak memasang perangkap di taman belakang. Umpannya potongan kentang segar.
Setelah itu, Poltak membenamkan diri di atas kasur. Berbagi hangat dengan Berta.
***
Tepat tengah malam tikus itu bikin gaduh lagi. Berlarian ke sana ke mari di atas plafon. Tak ada yang dikejarnya. Suka saja begitu. Menimbulkan suara gemuruh guruh.
Itu persis ulah seorang oposan yang sering bikin gaduh jagad politik. Tak ada alasan mendasar. Asal bunyi saja.
"Terserah kaulah di situ. Sebentar lagi kau mati." Poltak membatin. Sambil terkekeh dalam hati.
Yakin pada kehandalan perangkap, Poltak jatuh tidur. "Besok pagilah dendam dituntaskan," pikirnya sebelum terlelap.