Dengan cara yang sama, lewat tengah malam, tikus itu turun ke taman belakang. Hidung tajamnya menuntun dia ke arah kentang dalam perangkap.
"Hahaha. Aku mau diperangkap. Hei, laki tua bangka, kau pikir aku dungu?"
Tikus itu sudah terlalu paham tentang perangkap tikus. Dia tahu cara kerjanya. Sekali masuk, tak mungkin keluar. Â Hanya satu jalan selamat: jauhi.
"Sekalipun kau taruh tikus perawan cantik bahenol di situ, tak akan aku tergiur."
Mendadak tikus itu merasa ini adu gengsi antara dua mahluk berbiji dua. Dirinya, seekor tikus jantan muda yang bersemangat melawan  Poltak, seorang laki tua yang beranjak layu.
"Otakku memang cuma setitik. Pikiranku picik. Tapi aku licik. Kau pasti kalah, laki tua bangka."
Lagi, penciumannya yang tajam telah mengantar tikus itu ke sumber makanan. Sebesek bawang merah tersaji di atas meja kaca. Â
"Hmm, sedap ini." Dia menggerogoti beberapa siung bawang. Rasanya yang manis-manis getir membuat matanya merem-melek.
Puas makan bawang, tikus itu sengaja berak lagi di atas meja. Itu suvenir untuk Poltak darinya.
Terakhir, ritual asah gigi. Lagi, dia mengerati sudut dasar daun pintu dapur. Kemarin di kanan, sekarang di kiri.Â
Saat bermaksud naik lagi ke plafon, tikus itu melewati serumpun jahe dalam pot. Terbit isengnya. Lalu dipilihnya satu batang paling gemuk untuk dikerat sampai tumbang.Â