Perseteruan manusia dengan tikus itu warisan desa. Pada mulanya tikus mengerati padi di sawah. Lalu petani yang geram meracuninya. Sampai mati!
Lantas desa menjadi kota. Tikus desapun menjadi tikus kota. Sebagian menjadi tikus got. Sebagian lagi tikus rumah.Â
Ya, tikus rumah. Mustahil dia bukan masalah. Sebab demikianlah definisi tikus.Â
"Kau turun, kau mati!"
Poltak berteriak marah. Jantungnya membara. Darahnya mendidih. Menggelegak ke ubun-ubun.
Sudah seminggu seekor tikus jantan berlarian hilir-mudik di atas plafon. Gaduh macam guruh. Entah apa yang dikejarnya. Selalu tengah malam. Saat tidur mulai lelap. Dan layar mimpi mulai terkuak.
"Jangan marah-marah. Tidurlah," Berta, istrinya, mengingatkan.
"Kenapa dia harus berlarian tengah malam? Ganggu orang tidur. Apa tak bisa merayap pelan-pelan?"
"Dia bukan cicak. Tidurlah."
"Berani turun, kubunuh dia!"
"Tidurlah."
***
"Membunuhku? Halah! Memangnya kau bisa, laki tua bangka!"
Tikus itu mencibir di atas plafon. Meremehkan Poltak. Laki tua bangka di matanya.
"Hei! Kau pikir aku tak berani turun? Tunggu saja!"
Tikus itu keluar dari plafon gelap. Setengah berlari menuju talang di bibir atap teras belakang.Â
Dari talang itu dia melongok ke bawah. Tampak olehnya taman kecil. Lalu ada meja kaca dengan dudukan gerabah di pojok teras.
"Hmm, bau kentang. Lezat." Hidung tajam tikus itu membaui kentang dalam keranjang di bawah meja. Poltak lupa memasukkannya ke dapur.
Dinding taman itu kasar. Adukan semen yang dikepret-kepret. Banyak tonjolannya.
"Ini sih gampang dilalui. Macam panjat tebing." Tikus itu berkata dalam hati.
Tikus itu mengambil garis diagonal tembok untuk jalur turun. Jemarinya mencengkeram erat tonjolan-tonjolan di dinding. Dia merayap seperti cicak. Sukses tiba di lantai taman.
Penciumannya memandu dia berlari ke bawah meja kaca. Di situ seonggok kentang tersaji untuknya.
"Hmm, makan malam nikmat." Liurnya terbit. Tak perlu menunggu lama. Tikus itu mengerati ujung-ujung lima butir kentang bulat lonjong.Â
Sebenarnya dia cukup mengerati sebutir saja. Tapi dia ingin mengejek Poltak, laki tua bangka pemarah itu.Â
"Ah, aku perlu mengasah gigi." Tikus itu merapat ke dasar daun pintu penghubung dapur dan taman. Lalu digerogotinya sudut dasar pintu itu. Â Hingga giginya tajam lagi.
"Berak, ah." Tikus itu buang hajat di atas meja kaca. Kurang ajar!
Dia melakukan semua itu sebagai pesan untuk Poltak. "Aku sudah turun. Kau di mana?"Â
***
Pagi buta, Poltak meradang. Â
"Kubunuh kau, tikus busuk!"
Matanya menyala. Panas hatinya menemukan lima butir kentangnya digerogoti, dan sudut dasar pintu dapurnya dikerati tikus sialan itu.
"Hihihi. Besar mulut kau." Tikus itu mencicit, meledek dari atas plafon teras dapur.
"Oke! Perang kita mulai! Kau yang memulai!"Â
Poltak merasa ini perang dengan koruptor. Dia bersiasat. Ada tiga pilihan: racun, perangkap, atau lem tikus. Racun bukan opsi bagus. Khawatir tikus mati dan membusuk di atas plafon. Baunya itu, lho.Â
Lagi pula Poltak ingin melihat tikus itu mati di hadapannya. Dengan begitu, dendamnya terpuaskan.
Pilihan terbaik, kalau begitu, perangkap dan lem. Tapi saat itu tersedia hanya perangkap. Maka itulah pilihan Poltak.
Malam hari, sebelum tidur, Poltak memasang perangkap di taman belakang. Umpannya potongan kentang segar.
Setelah itu, Poltak membenamkan diri di atas kasur. Berbagi hangat dengan Berta.
***
Tepat tengah malam tikus itu bikin gaduh lagi. Berlarian ke sana ke mari di atas plafon. Tak ada yang dikejarnya. Suka saja begitu. Menimbulkan suara gemuruh guruh.
Itu persis ulah seorang oposan yang sering bikin gaduh jagad politik. Tak ada alasan mendasar. Asal bunyi saja.
"Terserah kaulah di situ. Sebentar lagi kau mati." Poltak membatin. Sambil terkekeh dalam hati.
Yakin pada kehandalan perangkap, Poltak jatuh tidur. "Besok pagilah dendam dituntaskan," pikirnya sebelum terlelap.
Dengan cara yang sama, lewat tengah malam, tikus itu turun ke taman belakang. Hidung tajamnya menuntun dia ke arah kentang dalam perangkap.
"Hahaha. Aku mau diperangkap. Hei, laki tua bangka, kau pikir aku dungu?"
Tikus itu sudah terlalu paham tentang perangkap tikus. Dia tahu cara kerjanya. Sekali masuk, tak mungkin keluar. Â Hanya satu jalan selamat: jauhi.
"Sekalipun kau taruh tikus perawan cantik bahenol di situ, tak akan aku tergiur."
Mendadak tikus itu merasa ini adu gengsi antara dua mahluk berbiji dua. Dirinya, seekor tikus jantan muda yang bersemangat melawan  Poltak, seorang laki tua yang beranjak layu.
"Otakku memang cuma setitik. Pikiranku picik. Tapi aku licik. Kau pasti kalah, laki tua bangka."
Lagi, penciumannya yang tajam telah mengantar tikus itu ke sumber makanan. Sebesek bawang merah tersaji di atas meja kaca. Â
"Hmm, sedap ini." Dia menggerogoti beberapa siung bawang. Rasanya yang manis-manis getir membuat matanya merem-melek.
Puas makan bawang, tikus itu sengaja berak lagi di atas meja. Itu suvenir untuk Poltak darinya.
Terakhir, ritual asah gigi. Lagi, dia mengerati sudut dasar daun pintu dapur. Kemarin di kanan, sekarang di kiri.Â
Saat bermaksud naik lagi ke plafon, tikus itu melewati serumpun jahe dalam pot. Terbit isengnya. Lalu dipilihnya satu batang paling gemuk untuk dikerat sampai tumbang.Â
"Rasakan, laki tua bangka!"
***
"Bangsat! Bajingan tengik! Kubunuh kau tikus busuk!"
Bukan amarah lagi. Tapi amuk di pagi hari. Poltak tak bisa terima perangkapnya zonk. Bawang merahnya digegogoti, daun pintu dikerati, dan pohon jahe dirobohkan.
"Ini penghinaan!" teriaknya sambil membersihkan meja kaca dari taburan suvenir tahi tikus.
"Hahaha, kau kalah, laki tua bangka!" Dari atas plafon, tikus biang gaduh itu terbahak-bahak. Puas hatinya.
"Kenapa ngamuk-ngamuk." Berta bertanya dari dalam kamar tidur.
"Tikusnya tak ketangkap! Malah makan bawang, merusak pintu dan pohon jahe!"
"Yah, berarti kamu kalah cerdas, sayang."
Tambah terhina Poltak dibilang kalah cerdas dari tikus. "Walaupun itu benar, tak usahlah ditegaskan." Poltak sakit hati.Â
"Beli lem tikus saja. Beri umpan teri Medan goreng. Pasti dapat itu tikus."
"Eh, betul juga." Walau sakit hati, Poltak mengakui kecerdasan Berta.
Pagi itu juga Poltak bergegas ke pasar belakang kampung. Â Pulangnya, dia menenteng sepapan lem tikus dan satu ons teri Medan.Â
Bara dendam di hati Poltak membuat malam serasa telat tiba. Dia ingin segera membuat perhitungan terakhir. Tak ada kata gagal lagi.
Ini soal harga diri.
***
Malam sudah tiba. Lem tikus sudah terpasang. Umpan teri Medan goreng dan roti tawar sudah tersaji. Platingnya menggiurkan. Colour, texture, dan flavour sempurna.
"Hanya tikus dungu yang menolak makanan selezat ini!" Poltak setengah berteriak saat menyiapkan umpan itu.
"Dungu? Aku dungu katamu?" Tikus jantan itu meradang di atas plafon dapur. Untuk pertama kalinya ada yang mengatainya dungu.Â
Laki atau jantan selalu tersinggung dibilang dungu. Kendati faktanya begitu.
"Memangnya aku presiden?" Tikus itu bersungut-sungut. Di siaran televisi dia pernah mendengar seseorang mengatai presidennya dungu.Â
Tepat tengah malam, setelah membuat kegaduhan di atas plafon, tikus itu turun ke taman belakang. Hendak dibuktikannya, dia tak sedungu yang dipikirkan Poltak.
Selarut itu, Poltak masih terjaga. Dia tak ingin kehilangan momen kematian seekor tikus dungu. Malam itu juga!
Di pekarangan belakang, tikus itu dituntun penciumannya mendekati umpan roti dan teri goreng di tengah papan lem. Dia tahu itu lem, bisa memerangkap tubuhnya. Tapi umpan itu, oh, hanya tikus dungu yang akan melewatkannya.
"Eureka!" Tikus itu menemukan solusi.
Dalam sekejap dia melompat ke tengah papan lem. Tepat mendarat di atas umpan roti dan teri goreng.Â
"Hahaha. Kutipu kau, laki tua bangka!"
Tikus itu mulai bersantap malam. Serpih demi serpih roti tawar dan ekor demi ekor teri goreng pindah ke lambungnya. Dia bersendawa. Tanda kenyang, puas.
Saatnya mengasah gigi. Dia melompat ke luar. Tapi sial, papan lem itu ikut terbawa. Keempat kakinya terekat mati.Â
Dia panik. Mencoba melepas kaki-kakinya. Tapi sia-sia. Kini perutnya juga ikut lekat pada papan lem.Â
Kepanikan tikus itu menimbulkan kegaduhan. Poltak yang masih terjaga langsung bangkit menyambar senter dan berlari ke taman belakang.
"Kena kau, tikus dungu!" Di bawah sorot cahaya senter, Poltak puas melihat tikus itu panik tanpa daya, lekat erat pada papan lem.
"Ampun. Kasihanilah aku. Jangan bunuh aku." Tikus itu meratap minta belas kasihan. Kesombongannya musnah seketika.
"Poltak! Jangan membunuh!" Berta berteriak mengingatkan dari kamar tidur.
"Kau beruntung, tikus dungu. Istriku welas asih. Baiklah. Aku tak akan membunuhmu."
Pikir Poltak, apa pula hebatnya seorang lelaki tua membunuh seekor tikus yang lekat pada sepapan lem. Itu memalukan. Merendahkan martabat.
"Kau tidak membunuhnya, kan?" Berta minta penegasan saat Poltak masuk kamar lagi dan berbaring di sisinya.
"Tidak, sayang. Aku hanya menindihnya pakai hebel." (eFTe)
Gang Sapi Jaksel, 15.09.2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H