Februari. Apa karena sekarang Februari? Bulan yang selalu dihiasi rinai hujan? Bahkan kadang juga ditemani badai yang mengerikan? Semalam turun hujan. Walau hujan semalam tanpa badai, tapi jelas bukan sekadar rinai. Hujan semalam lebat sekali.
Pagi ini. Menjadi begitu sepi. Betul-betul sunyi. Tanpa matahari. Tak ada burung di kebun depan rumah Ica yang bernyanyi. Padahal, biasanya burung tak pernah henti berkicau sepanjang pagi. Seakan merayakan pagi sebagai harapan. Menikmatinya sebelum pagi menghilang diganti siang.
"Belum berangkat?" tanya Bibi.
Ica hanya menggeleng.
"Kenapa?" Bibi jelas sedang menanggungkan kekhawatiran dalam nada suaranya.
Kembali Ica menggeleng. Mengisyaratkan sebuah keengganan yang memang tak mungkin lagi untuk disembunyikan. Sambil terus asik melihat rinai hujan. Rinai yang belum juga capai menyirami bumi.
"Tidak terlambat?" tanya Bibi yang terus menyimpan kekhawatiran. Sudah lama Ica terlihat hanya diam. Tanpa gerak, tanpa suara. Tatapan matanya juga seperti hampa.
"Sebentar lagi, Bi," sebuah jawaban basa-basi. Agar tak ada lagi kekhawatiran Bibi.
Pagi.
Kali ini. Seperti pagi-pagi Februari. Dingin begitu lekat menyelimuti. Menebar kemalasan dalam tiap sudut hati. Enggan menyambut ceria mentari. Mentari yang juga masih bersembunyi.
Seperti juga Ica. Seharusnya Ica menikmati pagi Februari. Tapi sayang. Sayang seribu sayang. Ica sedang duka. Ica sedang dirundung lara. Justru pada hari ulang tahun yang harusnya bahagia.
Chorunisa Ramadhani.
Nama lengkap dari Ica. Teman-teman sekolah lebih senang memanggil dengan panggilan Ica saja. Kata mereka sih, Ica itu kepanjangan dari “Idiiiiih ... Cantik Amat”. Itu kata teman-teman Ica lho, bukan kemauan Ica sendiri. Tapi Ica senang dengan panggilan itu. Siapa sih yang tak senang bila dibilang cantik?
Choirunisa Ramadhani.
Hari ini. Ya, pada hari ini seharusnya Ica merayakan ulang tahun. Tepat ulang tahun dengan lilin berjumlah lima belas. Yang juga berarti memasuki usia remaja. Usia yang penuh warna. Tawa. Bahagia. Tapi baru di hari yang pertama, di tahun kelima belas ini, Ica merasa tak bahagia. Tak ceria.
Semalam.
Ya, dari semalam memang Ica muram. Laksana langit biru yang selalu tertutup awan. Di awal Februari. Angin yang begitu kencang. Bahkan badai yang menurut BMKG akan semakin bergelora di Februari ini tak akan mampu mengusir mendung itu. Mungkin takdir bagi siapa pun yang lahir di bulan Februari. Akan dirundung kelaraan setiap ulang tahunnya tiba.
"Ica, besok jadi kan?" tanya Septi kemarin siang.
"Pastiiiii," jawab Ica.
Itu kemarin. Hasrat berkumpul teman hilang pagi ini. Ke sekolah saja tak ada hasrat, apalagi cuma makan-makan bersama teman.
Ica tak juga mampu menyingkirkan mendung di hatinya.
Padahal Ica hanya meminta hadiah ulang tahun yang agak beda. Masa iya, setiap tahun diberi hadiah boneka. Kamar tidur Ica juga sudah penuh dengan boneka-boneka itu. Ica kan bukan anak-anak lagi. Yang bisa ceria hanya dengan boneka.
Ica sekarang sudah remaja. Sudah mulai mengenal dan merasakan cinta. Hehehee... cinta. Ica jadi ingat Haris. Haris yang sudah menjadi temannya sejak TK. Hingga kini selalu satu sekolah. Dan di kelas sembilan ini malah satu kelas. Haris yang selalu disuruh menjadi muazin saat salat. Suaranya begitu merdu. Karena Haris memang juga vokalis grup musik di sekolahnya.
Beberapa kali Ica menerima senyum Haris. Dan senyum itu sering terbawa dalam mimpi. Begitu indah. Begitu mendamaikan hati.
“Kamu masuk kelompokku, Nis!” ajak Haris.
“Apa?” tanya Ica tak percaya. Sekaligus ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.
“Kamu masuk kelompokku saja!” ulang Haris.
Dan bunga-bunga di hati Ica langsung bermekaran. Siapa sih yang bisa menolak ajakan satu kelompok dengan Haris? Hanya cewek bodoh yang bisa melakukannya. Dan Ica bukan cewek bodoh, maka Ica tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dekat dengan Haris ini.
“Siapa lagi anggotanya, Ris?” tanya Ica.
“Fitri," jawab Haris.
“Siapa?!” ledakan bom seakan menghancurkan segala bunga di hati Ica. Bunga yang baru saja bermekaran. Menjadi berantakan. Berhamburan. Nama itu. Fitri. Nama yang benar-benar Ica benci. Meloncat begitu saja dari mulut Haris. Merona hati Ica. Kecewa.
“Fitri juga,” ulang Haris.
Jawaban itu. Ya, jawaban itu terdengar bagai petir di siang robek. Ica kaget. Sekaget-kagetnya. Mata Ica hampir meloncat keluar. Meninggalkan kelopaknya. Hingga Ica pun reflek menutup mulutnya. Karena melongo terlalu lebar dan khawatir ada lalat masuk tanpa izin.
“Si jelek rupa itu?” Ica mencoba meyakinkan. Kali ini dengan hati agak geram. Kenapa mesti satu kelompok dengan Fitri? Ica paling sebel dengan Fitri. Manusia lemah. Manusia kursi roda. Kemana-mana harus memakai kursi roda.
“Kenapa?” ada rasa heran dalam kata-kata Haris.
“Kalau ada Fitri, lebih baik saya ikut kelompok lain,” kata Ica.
Rupa-rupanya Ica memilih jauh dari Haris, jika di tempat yang sama ada Fitri pula. Ica rela tak satu kelompok dengan Haris hanya gara-gara ada Fitri di kelompok itu.
Sebenarnya. Ya, sebenarnya hampir semua anak di kelas sembilan tujuh itu tahu. Tahu jika Ica memang paling benci Fitri. Bukan hanya benci. Ica sering bicara dengan teman-teman satu genk-nya kalau dirinya sangat jijik dengan Fitri.
Pernah. Di awal tahun. Ica meminta kepada Pak Tri Supriyohadi, staf kesiswaan, agar dipindah kelasnya dari kelas sembilan tujuh. Tapi Pak Tri bersikeras menolaknya. Karena alasannya hanya sepele. Tak mau sekelas dengan Fitri.
“Si jelek rupa?” Ica lebih senang mengucapkan julukan itu. Ica lebih sering menyebut si miskin, si jelek, atau nama merendahkan lainnya.
Dan harapan satu kelompok dengan Haris, pupuslah. Bunga-bunga pun kuncup kembali. Sepi lagi hati. Cinta Ica pun harus berakhir sebelum berkembang.
***
Sore. Bunda Ica belum pulang. Ayah Ica apalagi. Mereka terlalu sibuk untuk pulang sore. Saat Ica sudah terlelap, mereka baru pulang. Mereka mungkin tak ingat lagi hari ulang tahun anak satu-satunya ini. Ica sedih. Lebih sedih lagi saat ingat, permintaannya tak juga kunjung dipenuhi. Padahal harganya juga tak seberapa.
Sore. Ica hanya melotot melihat acara televisi. Tak ada yang disukai. Bosan dengan sinetron yang begitu-begitu saja. Dari tadi chanel dibolak-balik. Sampai-sampai Bibi ikut bingung melihat tingkah Ica hari ini.
Ada dering. Didiamkan saja. Paling-paling telepon buat Bunda. Atau buat Ayah. Tak pernah ada telepon buat dirinya. Kalau pun ada teman yang mau menelepon, pasti ke HP-nya.
“Ada telepon, Nis,” kata Bibi.
“Memang,” jawab Ica. Bibi memang suka bercanda. Dan Ica pun bercanda lagi. “Tuh, dipegang Bibi.”
“Beneran. Buat kamu,” kata Bibi serius.
“Dari siapa, Bi?” tanya Ica agak malas menerima telepon.
“Cowok.”
“Apa?”
“Dari pacar kamu kali, Nis.”
“Ah, Bibi.”
Dan suara itu benar-benar dikenalnya. Suara seorang cowok. Suara yang sering menghiasai hatinya. Siapa lagi kalau bukan suara Haris.
“Asalamualaikum,” suara dari seberang.
Ica hanya bengong.
“Assalamualaikum.”
Belum juga dijawab.
“Kok tidak dijawab sih?”
“Waalaikum salam.”
Lama. Lama sekali mereka berbicara. Entah apa yang dibicarakannya. Yang jelas, pembicaraan itu berakhir dengan teriakan Ica, "Hanya demi si buruk rupa?!!!"
***
Teman-teman satu genk Ica semuanya sudah punya BB. Tinggal Ica sendiri yang belum punya benda yang satu itu. Padahal semua orang tahu, yang menjadi pemimpin genknya justru Ica.
Maka, Ica tak mau lagi mendengar janji dari Mamanya. Saat ulang tahun Ica harus sudah punya. Ica minta hadiah BB untuk ulang tahun yang kelimabelas ini. Hingga semalam.
“Nanti, Nis,” kata Mamanya semalam.
“Apa bedanya nanti dengan sekarang, Ma?” desak Ica.
“Jelas beda. Karena sekarang kamu kelas sembilan. Sebentar lagi juga ujian nasional. Kalau nilai ujianmu bagus, kamu kan bisa masuk sekolah bagus. Kalau Ujianmu jelek? Mau masuk mana?” jelas mamanya.
“Tapi aku maunya sekarang!” Ica tak mau tahu lagi.
Ica pun masuk kamar. Menguncinya. Tak menangis. Tapi hatinya begitu sumpek. Februari yang dingin tak bisa mendinginkan hati Ica. Justru mendung Februai yang masuk menjadi mendung di hati Ica.
“Hah!”
Ica pun menyurukkan kepalanya dalam bantal. Pasti teman-temannya akan meledeknya.
“Telepon Ica jadul. Telepon Ica jadul.”
Kalau sudah diejek seperti itu, mau dikemanakan muka ini. Ica si manusia paling heboh di sekolah ternyata tak jauh beda dengan Fitri. Manusia yang tak pernah sepi dari ejekan Ica.
Fitri. Fitri memang setiap hari tak pernah sepi. Tak pernah sepi dari ejekan Ica. Fitri yang kamseupay. Fitri yang bibirnya dower. Sampai Fitri si manusia kuris roda.
Tapi Fitri tak pernah marah pada siapa pun. Termasuk kepada Ica yang paling banyak mengejeknya. Fitri bagai malaikat kecil. Yang sudah disucikan dari dengki dan kemarahan. Fitri tetaplah Fitri. Yang selalu melempar senyum pada siapa pun. Dan selalu menganggap semua orang sebagai temannya.
Anehkan? Masa di jaman sekarang masih ada manusia seperti Fitri? Tapi itulah kenyataannya. Atau bisa juga Fitri memang sudah capai menanggapi ejekan teman-temannya. Toh kaki yang panjang sebelah tak akan sembuh kalau Fitri marah setiap hari. Lebih baik menerima apa yang dimiliki. Seperti apa yang selalu didengar dari ibunya.
“Kita harus mensyukuri apa yang kita miliki, Fit. Terlalu banyak yang mesti kita syukuri daripada kaki yang mati sebelah itu. Kamu masih punya dua tangan. Yang bisa untuk menulis banyak hal,” nasihat ibunya setiap kali melihat Fitri yang bersedih sehabis diledek teman-temannya.
Ica. Ica justru menjadi manusia yang paling kreatif dalam hal meledek Fitri. Seakan-akan Ica menganggap Fitri diciptakan hanya untuk dijadikan objek ledekannya.
“Fitri dangdut?” tanya Ica sambil tertawa membahana.
Padahal ada Fitri di sebelahnya. Tapi hati Ica memang sudah dibalut baja. Tak ada rasa kasihan sedikit pun jika meledek Fitri.
***
Siang masih belum juga tergelincir. Masih begitu panas. Meski matahari hanya malu-malu mengintip. Lewat sisi gumpalan mendung. Mendung yang masih menggantung. Sehingga hawa panas begitu terasa.
Telepon Monika berdering. Tapi Monika mendiamkannya. Monika terlalu asyik bercengkrama. Geng itu memang belum pulang sekolah. Setiap hari selalu ngerumpi tanpa henti.
Hari ini hanya berempat. Karena Ica pulang duluan. Hari ini Ica membawa motor sendiri. Padahal biasanya diantar. Entah kenapa. Motor yang dibawa juga katanya meminjam saudaranya. Belum bisa banget. Memaksakan diri.
Saat telepon itu berdering lagi, terpaksa Monika mengangkatnya. Dengan membentak, Monika bertanya, "Apa?"
"Ica!" jawab suara di seberang.
"Kenapa Ica?" tanya Monik.
"Tabrakan!"
"Kapan?"
"Tadi. Baru saja."
"Bagaimana keadaanya?"
"Kaki Ica terlindas mobil. Sampai tak sadarkan diri."
"Sekarang?"
"Ada di rumah sakit."
Sontak Monika terduduk dengan lemas. Tiga temannya belum tahu berita lengkapnya.
"Dari siapa, Monik?"
"Bagus."
"Kenapa?"
"Ica tabrakan. Sekarang di rumah sakit.
Mereka pun segera ke rumah sakit. Dijumpainya Ica yang terbaring. Masih koma. Sosok yang biasanya paling banyak berceloteh itu, kini diam. Pucat wajahnya.
"Bagaimana?" tanya Monika.
"Kaki Ica harus diamputasi," jawab Bagus.
"Dua-duanya?"
"Satu. Yang sebelah kanan."
Ica yang sedikit siuman mendengar pembicaraan itu. Dan dunia ini seakan begitu kelam. Ica menangis begitu keras. Membanting dan memporak porandakan segalanya.
“Mati saja. Aku ingin mati!” teriak Ica.
Sehingga dokter pun menyuntikkan penenang untuk menenangkan Ica. Ica sudah mulai tenang. Tapi hatinya belum bisa menerima kenyataan. Kenyataan tak punya lagi sebelah kakinya.
***
"Ada teman kamu Nis," kata Mama Ica.
"Siapa?" tanya Ica.
"Fitri."
"Nggak. Tak usah!" Ica punmembalikkan badannya.
Kejadian yang sama sudah tiga kali terjadi. Ini adalah yang keempat kalinya. Fitri ingin menjenguk Ica. Tapi Ica selalu menolak untuk menemuinya.
“Biarkan dia masuklah, Nis. Sebentar saja,” kata Mama Ica yang merasa kasihan kepada Fitri yang sudah susah-susah datang untuk menjenguk Ica.
“Ya sudah,” kata Ica yang tak ingin berbantah lagi dengan Mamanya.
“Bagaimana keadaanmu, Nis?” tanya Fitri.
“Sudah baikan. Ada apa?” kata Ica dengan wajah yang terus menghadap tembok.
“Aku hanya ingin memberimu buku. Buku yang juga telah membuatku menerima kenyataan yang menyakitkan, ” kata Fitri.
"Heemmm."
“Dulu. Aku sama seperti kamu, Ca. Merasa diri paling tersiksa. Merasa Tuhan tak adil. Tapi berkat buku ini, aku berubah. Coba kamu baca. Mudah-mudahan bermanfaat,” kata Fitri.
“Ya,” kata Ica sambil melempar buku itu ke meja.
Fitri tak marah. Fitri sudah tahu bagaimana sikap teman yang satu ini. Biarlah. Semoga suatu saat Tuhan memberinya kesadaran.
Saat malam sepi, Ica tak bisa memejamkan mata. Bunda terlelap di samping ranjangnya. Wajahnya begitu lelah. Sehabis kerja langsung ke rumah sakit. Menemani Ica. Mungkin kecapaian. Ica ingin membangunkannya. Ica haus. Tapi Ica merasa kasihan.
Buku dari Fitri masih tergeletak di sisi tempat tidurnya. Diraihnya buku itu. Dibolak-balik berkali-kali. Tak tertarik. Diletakkan lagi buku itu.
Tapi mau apa malam-malam begini?
Diliriknya buku itu lagi. Tak ada yang menarik. Ada satu buku lagi. Ternyata Fitri memberi Ica dua buku. Di buku yang satunya lagi tertulis nama, “FITRI”. Haaaaah? Bukunya Fitri? Pikir Ica. Si anak kuper itu ternyat bisa menulis buku?
Ica membuka halaman pertama. Dibacanya. Ih, ternyata bagus juga. Cerita tentang anak yang hidup dengan kaki yang tak berfungsi. Sejak lahir. Jadi tak pernah merasakan, bagaimana berjalan. Maka sejak lahir pun dia harus berjalan dengan kursi roda.
Tapi dia tak menyerah. Kebiasaannya membaca buku telah membuatnya banyak cerita. Dan dia menceritakan perjuangannya untuk menjadi manusia bermakna tanpa harus merasa terhina.
“Fitri.”
Anak cacat itu ternyata hebat. Bisa menulis sebuah buku. Ica menyesal. Selama ini dia menghinanya. Hanya karena kecacatannya. Tentu tak adil.
Ica membaca. Penuh rasa. Ternyata tulisan itu begitu hebat. Kata-katanya begitu memikat. Halaman pertama langsung habis. Tapi mata tak ingin lepas dari huruf-huruf itu. Ica terus menelusuri cerita Fitri.
***
Chorunisa Ramadhani.
Sekarang bukan lagi perempuan centil nan cantik yang selalu didekati banyak teman laki-laki. Ica sekarang adalah Ica yang hanya punya satu kaki. Kaki Ica pun baru saja diamputasi. Kaki Ica sekarang tinggal satu. Dan Ica pun mulai sekarang harus berhantung pada kursi roda.
Masih adakah harapan?
Selalu. Fitri sudah membuktikannya. Kan kaki bukan segalanya. Selagi kita punya otak kenapa kita takut tak punya kaki? Keunggulan yang diberikan Tuhan kepada manusia justru otak, bukan kaki. Seperti tertulis dalam buku karya Fitri.
Masih ada pagi. Pagi Februari. Yang indah. Dengan irama ritmik dari rintik yang tersisa. Jadi kenapa mesti putus asa? Hanya orang-orang kalah yang lari dari kenyataan. Ica tak mau jadi orang kalah. Ica tak mau menyerah. Seperti Fitri. Ah, Ica jadi mengagumi dia. Tak apalah? Toh yang dicontoh kebaikannya.
“Assalamualaikum.”
Ica tak menyadari kalau ada tamu. Ica asyik dengan buku yang dibacanya.
“Assalamualikum.”
Ica menurunkan buku yang dibacanya. Fitri ada di pintu. Sendiri. Fitri memang tak ingin menjadi anak manja. Walau dengan kursi roda, Fitri tak mau tergantung pada siapa pun. Segalanya dilakukan sendiri. Jika betul-betul tak mampu, baru Fitri meminta tolong.
Itulah Fitri.
“Boleh masuk?” tanya Fitri.
“Silakan, silakan. Aku sedang baca buku kamu, nih. Hampir selesai,” suara itu menebar keramahan yang tak biasa.
“Bagaimana?” tanya Fitri.
“Bagus. Kata-katanya indah,” jawab Ica bersemangat.
“Maksudku keadaanmu, Ca?”
“Ooooh. Alhamdulillah baik.”
“Kapan-kapan kalau kau mau, aku ajak ke tempat kumpul aku dan teman-temanku.”
“Yup. Senang sekali. Pasti hebat-hebat mereka.”
***
Ica sekarang begitu akrab dengan Fitri. Tak ada dendam di hati Fitri. Fitri senang bisa berteman dengan Ica.
Ica sekarang berlatih menulis. Fitri selalu menjadi komentatornya. Ica senang setiap kali tulisannya dikomentari Fitri. Sampai suatu hari.
“Fit, Fitri!” panggil Ica.
“Ada apa?” tanya Fitri yang melihat senyum kebahagian di hati Ica.
“Kamu tahu, gak, Fit?”
“Bagaimana aku tahu kalau kamu belum cerita. Yang jelas saya melihat kebahagian itu di matamu. Pasti kabar yang akan kamu bagi juga kabar gembira. Cepatlah ceritakan!” Fitri tak sabar menunggu cerita Ica.
“Ceritaku, Fit,” kata Ica dengan binar cahaya di kedua mata.
“Dimuat?"
“He-eh. Nih, kamu baca deh!” kata Ica.
Tulisan pengalaman berkesan. Pengalaman Ica saat menghadapi dirinya tak lagi punya kaki lengkap. Kata-kata yang begitu menyentuh. Fitri sampai menitikkan air mata.
“Hebat kamu, Ca.”
“Siapa dulu dong, gurunya. Fitriiiiiii....,” kata Ica.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H