Fitri tak marah. Fitri sudah tahu bagaimana sikap teman yang satu ini. Biarlah. Semoga suatu saat Tuhan memberinya kesadaran.
Saat malam sepi, Ica tak bisa memejamkan mata. Bunda terlelap di samping ranjangnya. Wajahnya begitu lelah. Sehabis kerja langsung ke rumah sakit. Menemani Ica. Mungkin kecapaian. Ica ingin membangunkannya. Ica haus. Tapi Ica merasa kasihan.
Buku dari Fitri masih tergeletak di sisi tempat tidurnya. Diraihnya buku itu. Dibolak-balik berkali-kali. Tak tertarik. Diletakkan lagi buku itu.
Tapi mau apa malam-malam begini?
Diliriknya buku itu lagi. Tak ada yang menarik. Ada satu buku lagi. Ternyata Fitri memberi Ica dua buku. Di buku yang satunya lagi tertulis nama, “FITRI”. Haaaaah? Bukunya Fitri? Pikir Ica. Si anak kuper itu ternyat bisa menulis buku?
Ica membuka halaman pertama. Dibacanya. Ih, ternyata bagus juga. Cerita tentang anak yang hidup dengan kaki yang tak berfungsi. Sejak lahir. Jadi tak pernah merasakan, bagaimana berjalan. Maka sejak lahir pun dia harus berjalan dengan kursi roda.
Tapi dia tak menyerah. Kebiasaannya membaca buku telah membuatnya banyak cerita. Dan dia menceritakan perjuangannya untuk menjadi manusia bermakna tanpa harus merasa terhina.
“Fitri.”
Anak cacat itu ternyata hebat. Bisa menulis sebuah buku. Ica menyesal. Selama ini dia menghinanya. Hanya karena kecacatannya. Tentu tak adil.
Ica membaca. Penuh rasa. Ternyata tulisan itu begitu hebat. Kata-katanya begitu memikat. Halaman pertama langsung habis. Tapi mata tak ingin lepas dari huruf-huruf itu. Ica terus menelusuri cerita Fitri.
***