“Jelas beda. Karena sekarang kamu kelas sembilan. Sebentar lagi juga ujian nasional. Kalau nilai ujianmu bagus, kamu kan bisa masuk sekolah bagus. Kalau Ujianmu jelek? Mau masuk mana?” jelas mamanya.
“Tapi aku maunya sekarang!” Ica tak mau tahu lagi.
Ica pun masuk kamar. Menguncinya. Tak menangis. Tapi hatinya begitu sumpek. Februari yang dingin tak bisa mendinginkan hati Ica. Justru mendung Februai yang masuk menjadi mendung di hati Ica.
“Hah!”
Ica pun menyurukkan kepalanya dalam bantal. Pasti teman-temannya akan meledeknya.
“Telepon Ica jadul. Telepon Ica jadul.”
Kalau sudah diejek seperti itu, mau dikemanakan muka ini. Ica si manusia paling heboh di sekolah ternyata tak jauh beda dengan Fitri. Manusia yang tak pernah sepi dari ejekan Ica.
Fitri. Fitri memang setiap hari tak pernah sepi. Tak pernah sepi dari ejekan Ica. Fitri yang kamseupay. Fitri yang bibirnya dower. Sampai Fitri si manusia kuris roda.
Tapi Fitri tak pernah marah pada siapa pun. Termasuk kepada Ica yang paling banyak mengejeknya. Fitri bagai malaikat kecil. Yang sudah disucikan dari dengki dan kemarahan. Fitri tetaplah Fitri. Yang selalu melempar senyum pada siapa pun. Dan selalu menganggap semua orang sebagai temannya.
Anehkan? Masa di jaman sekarang masih ada manusia seperti Fitri? Tapi itulah kenyataannya. Atau bisa juga Fitri memang sudah capai menanggapi ejekan teman-temannya. Toh kaki yang panjang sebelah tak akan sembuh kalau Fitri marah setiap hari. Lebih baik menerima apa yang dimiliki. Seperti apa yang selalu didengar dari ibunya.
“Kita harus mensyukuri apa yang kita miliki, Fit. Terlalu banyak yang mesti kita syukuri daripada kaki yang mati sebelah itu. Kamu masih punya dua tangan. Yang bisa untuk menulis banyak hal,” nasihat ibunya setiap kali melihat Fitri yang bersedih sehabis diledek teman-temannya.