Ica sekarang sudah remaja. Sudah mulai mengenal dan merasakan cinta. Hehehee... cinta. Ica jadi ingat Haris. Haris yang sudah menjadi temannya sejak TK. Hingga kini selalu satu sekolah. Dan di kelas sembilan ini malah satu kelas. Haris yang selalu disuruh menjadi muazin saat salat. Suaranya begitu merdu. Karena Haris memang juga vokalis grup musik di sekolahnya.
Beberapa kali Ica menerima senyum Haris. Dan senyum itu sering terbawa dalam mimpi. Begitu indah. Begitu mendamaikan hati.
“Kamu masuk kelompokku, Nis!” ajak Haris.
“Apa?” tanya Ica tak percaya. Sekaligus ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.
“Kamu masuk kelompokku saja!” ulang Haris.
Dan bunga-bunga di hati Ica langsung bermekaran. Siapa sih yang bisa menolak ajakan satu kelompok dengan Haris? Hanya cewek bodoh yang bisa melakukannya. Dan Ica bukan cewek bodoh, maka Ica tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dekat dengan Haris ini.
“Siapa lagi anggotanya, Ris?” tanya Ica.
“Fitri," jawab Haris.
“Siapa?!” ledakan bom seakan menghancurkan segala bunga di hati Ica. Bunga yang baru saja bermekaran. Menjadi berantakan. Berhamburan. Nama itu. Fitri. Nama yang benar-benar Ica benci. Meloncat begitu saja dari mulut Haris. Merona hati Ica. Kecewa.
“Fitri juga,” ulang Haris.
Jawaban itu. Ya, jawaban itu terdengar bagai petir di siang robek. Ica kaget. Sekaget-kagetnya. Mata Ica hampir meloncat keluar. Meninggalkan kelopaknya. Hingga Ica pun reflek menutup mulutnya. Karena melongo terlalu lebar dan khawatir ada lalat masuk tanpa izin.