Mohon tunggu...
miyaa dewayani
miyaa dewayani Mohon Tunggu... -

Saya hanya seorang penulis amatiran yang memiliki hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas [Part 1]

9 November 2013   11:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:24 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Kenapa kita bersembunyi dari orang-orang itu?" Aku menunduk untuk melihat wajah polos si kecil Drew.

Aku baru menyadari kalau aku sudah melepas bungkaman tanganku pada mulut mungilnya. Orang-orang suruhan Benny telah pergi namun aku masih bersembunyi, bertahan sambil memeluk adikku di samping tong sampah di belakang restoran pizza.

Aku tidak mau mengambil resiko. Jika aku dan Drew keluar lalu kami ditangkap. Aku pasti akan dijadikan pelacur dan adikku Drew, akan dijual ke luar negeri.

Terkutuklah lelaki penjudi dan pemabuk yang merupakan ayah kandung kami. Dialah yang menyebabkan semua ini terjadi. Dia yang membuat keluargaku hancur. Dia bajingan pengangguran yang hanya bisa menghajar isterinya dan memukuli anak-anaknya untuk mendapatkan uang.

Ibuku meninggal karena tertekan. Beliau terlampau sakit hati dengan sikap kasar Ayahku. Kebiasaannya yang tiap malam membawa pelacur yang berbeda ke rumah membuat ibuku tidak hanya menderita luka fisik, tapi juga luka batin yang teramat dalam. Setelah ibuku meninggal, Ayah sering melampiaskan kemarahannya padaku dan Drew. Tak jarang tubuh kurusku menjadi sasaran pukulan tongkat baseball-nya, bahkan Konohamaru, yang baru berumur lima tahunpun sering mendapakan tamparan dan makian kasarnya. Bajingan tua itu selalu marah pada kami saat jalang teman kencannya meninggalkan dia, karna bayaran yang tidak cukup. Dia kesal karena kami tidak bisa begitu saja memberikan sejumlah uang yang dia minta, seperti mendiang ibu kami.

Hei, memangnya pekerjaan apa yang bisa didapatkan oleh gadis bodoh yang putus sekolah sepertiku? Aku sudah dikenal oleh semua orang di Trenton, stigma buruk sebagai puteri seorang penjudi dan pemabuk membuat sebagian besar penduduk di kota kecil itu harus berpikir dua kali untuk memberiku pekerjaan. Dan hanya sebuah rumah makan bobrok di dekat pabrik rotilah yang mau menerimaku sebagai tukang cuci piring. Namun penghasilanku tidaklah seberapa. Dan bahkan untuk makan tiap haripun masih tidak mencukupi. Hingga... Tengah malam ini, beberapa lelaki mengerikan datang ke apartemen kumuh kami. Mereka menyeret dan menghajar ayahku-yang sedang mabuk-hingga berdarah-darah dan sekarat.

Ternyata para lelaki itu adalah mafia. Ayahku yang bodoh, selama ini telah berhutang pada mafia. Mereka berencana membunuh Ayahku jika bajingan itu tidak segera membayar hutangnya, tapi saat mereka melihatku dan Drew, pikiran mereka berubah. Para mafia, anak buah Benny, berencana mengambilku dan Drew, sebagai bayaran atas hutang ayahku. Aku hendak dijadikan pelacur dan adikku akan dijual keluar negeri. Dan tentu saja Ayahku yang brengsek itu dengan senang hati menuruti kemauan mereka. Ia malah meminta tambahan bayaran, karena menurutnya harga kami sebagai anaknya lebih mahal.

Sialan!

Saat mereka menyeretku dan Drew keluar dari apartemen, dengan sebuah keberuntungan aku menendang keras selangkangan lelaki jelek botak besar yang menyeretku. Aku kabur, berlari menjauhi mereka sambil menggendong Drew. Lalu ketika kakiku sudah mulai lelah, aku masuk bersembunyi di sebuah lorong gang sempit di belakang tong sampah. Dan aku baru menyadari kalau aku dan adikku bersembunyi di belakang restoran pizza-yang entah milik siapa.

"Kak?" panggil Drew pelan.

Hatiku terhiris saat melihat wajah manisnya yang kumal dan rambut cokelat jabriknya yang kusut.

"Ya," jawabku. Suaraku pecah.

"Aku lapal," ucapnya cadel. Tangan kecil itu menepuk pelan perut ratanya yang kurus.

"I-iya." aku berusaha keras untuk tidak menangis di depannya.

Melepaskan pelukanku dari Drew, aku bangkit dari posisi berjongkokku, kemudian aku beranjak menuju sebuah tempat sampah besar berwarna hijau. Sambil menggigit bibirku untuk menahan mual karena bau busuk yang menyengat, aku mengorek isi tempat sampah itu, berharap bisa menemukan sepotong pizza sisa untuk makan malam Drew. Air mataku tumpah dengan sendirinya. Aku tidak pernah berkeinginan untuk hidup seperti ini, aku sungguh tidak pernah mau memberikan adikku sisa makanan busuk dari tempat sampah.

Setelah sekitar sepuluh menit mengorek tempat sampah, akhirnya aku menemukan sepotong pizza untuk adikku. Aku menghampiri Drew, lalu berjongkok untuk memberikan pizza yang hampir basi itu padanya.

Mata birunya berbinar senang saat menerima pemberianku.

"Kak Senna? Kakak menyangis?" tanyanya khawatir sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipiku.

Tangan kecilnya terasa begitu lembut.

"Tidak," aku menggeleng sembari mengusap pelan rambut cokelatnya. "Aku tidak menangis Sayang."

"Kakak jangan bohong padaku," ia cemberut. "Aku tahu kakak menyangis, apa kakak lapal?"

Aku menggeleng. "Tidak Drew, aku tidak lapar."

Mengabaikan jawabanku, Drew membagi pizza kecil itu menjadi dua, lalu memasukan salah satu potongan kecilnya ke mulutku. Tenggorokanku tercekat, rasanya begitu aneh dan memuakan karena tercampur dengan bau busuk sampah. Aku terpaksa menelannya. Dan hatiku begitu hancur saat melihat Drew yang tampak menikmati pizza basi itu.

Ya Tuhan! Kenapa kau memberikan takdir yang seperti ini untuk kami berdua?

Setelah Drew tertidur, aku melangkah pergi dari tempat itu sambil menggendong adikku. Berjalan tanpa arah dan tujuan menyusuri trotoar. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa kami nanti.

Mataku menatap ke arah sebuah restoran Italia mewah tempat orang-orang berduit bisa menikmati makanan lezat bisa menikmati makanannya. Ah, seandainya saja aku bisa mengajak Drew untuk makan di sana.

Jangan mimpi, Senna! Aku menggeleng memarahi diriku sendiri karena impian kosong yang baru saja melintas di kepalaku.

Dan ketika aku kembali menoleh ke arah Restoran itu, tatapan mataku bersirobok dengan tatapan tajam dari sepasang mata perak menawan milik seorang lelaki rupawan berambut tembaga. Untuk sesaat aku terhanyut dalam pandangannya. Dia memiliki wajah yang begitu tampan dan... sempurna? Seperti aktor-aktor dalam poster film, yang sering kulihat di tempat kerjaku.

Ah, apa yang sedang kupikirkan? Aku baru tersadar ketika lelaki itu berpaling dariku, mengalihkan pandangannya ke seorang gadis pirang seksi berpakaian minim yang menghampirinya.

Senna Larson! Berhentilah bermimpi! Batinku kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat untuk aku dan Drew tidur malam ini.

Akhirnya aku menemukan sebuah tempat yang 'sempurna' untuk beristirahat malam ini. Di sebuah toko obat kecil dengan emperan yang cukup bersih. Aku pikir, aku dan Drew bisa tidur di emperan tersebut, dan kami akan pergi pagi-pagi sekali sebelum si pemilik toko mengusir kami dengan kasar.

"Pergi kau! Di sini tempat kami!" aku tersentak mundur oleh tarikan kasar dari seorang wanita paruh baya, bertubuh besar dengan pakaian compang-camping.

Ia bertolak pinggang sambil menatapku galak. Ia marah dan menuduhku mengambil tempatnya. Di belakang wanita itu aku melihat dua bocah lelaki berusia delapan dan dua belas tahun, yang merupakan replika dari wanita besar itu, menatapku tak suka. Aku menelan ludah. Sepertinya aku salah. Aku membaringkan Drew di tempat mereka biasa tidur.

"Akh!" aku memekik pelan saat rambut kusutku dijambak kasar oleh wanita besar itu.

"Sudah kubilang pergi dari sini!" ia mendorongku kasar, hingga keluar dari emperan toko, dan terjerembab ke tanah. "Dan..." dengan senyum sinis ia menghampiri adik kecilku yang terlelap di emperan toko. Mataku melebar ngeri.

Apa yang akan dilakukan wanita jahat itu padanya?

"TIDAK!" teriakku saat melihat kaki si perempuan jahat jelek bergerak, dan menendang perut Drew keras.

Adikku yang malang itu tersentak bangun lalu menangis kencang. Aku buru-buru menghampiri, membawa Drew ke pelukanku untuk menenangkannya.

"Bukankah anda bisa memberitahuku secara baik-baik, Nyonya?" aku memandangnya marah, "anda tidak perlu menendang adikku seperti tadi!" mataku mulai berair.

Sambil menendang lututku, wanita itu menyuruh kedua anaknya untuk tidur di tempat Drew tidur tadi.

"Kalau begitu bawa pulang adikmu ke rumah dan jangan keluyuran di luar malam-malam," cibirnya, "ah aku lupa. Kalian anak gelandangan kan?" cemoohnya memberiku senyum sinis.

Kita ini sama-sama tunawisma, sialan!

Aku menatap marah pada perempuan itu, aku ingin sekali menampar wajahnya yang menyebalkan itu. Tolong jangan ajari aku tentang azas kesopanan terhadap orang yang lebih tua, karena ayah dan ibuku tidak pernah mengajarkanku seperti itu.

Dan apakah orang tua seperti ini patut untuk dihormati?

Aku menghela nafas dalam-dalam mencoba menahan diri untuk tidak menyerang perempuan itu, kalau aku menyerangnya, aku takut perempuan itu akan menyakiti Drew.

Aku berusaha bangun dari posisi duduk dengan membawa Drew bersamaku. Namun belum sempat aku bangkit, si wanita jahat menendang kakiku, membuat aku dan Drew terjatuh. Kepala Drew membentur pada sebuah batu besar berujung runcing di trotoar.

Adikku berdarah dan tak sadarkan diri.

"Drew!" aku menghampiri dan memeluknya namun dia tidak bereaksi. Aku berbalik dan memandang wanita itu dengan penuh kemarahan.

Wanita besar jahat yang sedang berbaring tersebut berjengit menerima tatapan tajamku. Dan kejadian berikutnya berlangsung begitu cepat. Aku tidak tahu setan apa yang sudah merasukiku hingga aku berani menyerang wanita yang memiliki tubuh jauh lebih besar dariku. Aku melompat ke arahnya, mendudukinya sebelum ia sempat bergerak, lalu aku mencakar, menampar, dan memukul wajahnya.

Perempuan jahat dan kedua anaknya itu berteriak, ia memberontak. Kedua anaknya memukul dan menjambak rambutku, berusaha agar ibu mereka terlepas dari cengkramanku. Namun aku masih bergeming. Untuk beberapa saat aku terus menyerangnya secara brutal sampai aku tak tahu, darah siapa yang menempel di tubuhku dan tubuhnya.

Pukulan, tendangan, dan jambakan yang kuterima dari kedua anak wanita jahat itu, tidak membuatku sakit. Dan bahkan aku tidak bisa merasakan rasa sakit di wajahku, si wanita jahat itu memberontak dan memukul wajahku.

Aku mati rasa.

Aku masih akan terus menghajar perempuan itu, kalau saja seseorang tidak menghantam belakang kepalaku dengan benda tumpul yang keras, hingga membuatku pingsan, tak sadarkan diri.

***

Aku sepertinya telah tertidur cukup lama saat bau obat menyengat hidungku, kepalaku terasa sangat sakit, dan mataku terasa berat untuk dibuka. Aku mencoba untuk menggerakan bagian tubuhku yang lain, kaki, tangan, jari? Namun hasilnya nihil. Syaraf-syaraf tubuhku sepertinya tidak tersinkronisasi dengan otakku.

Tubuhku mati rasa!

Sebenarnya apa yang terjadi?

Sekuat tenaga aku mencoba membuka mataku dan bergerak, tapi... Sia-sia, aku tidak bisa melakukannya!

"Paman Doktel, kenapa kakak masih belum bangun?"

Ya Tuhan! Itu suara Drew! Dan Dokter? Dokter apa?

Siapapun tolong beritahu aku apa yang terjadi?!

"Kakakmu butuh istirahat, kalau dia sudah sembuh, dia akan bangun," sebuah suara berat menjawab pertanyaan Drew dengan bijaksana.

"Tapi Dlu takut Paman. Dlu takut Kakak tidak bangun lagi sepelti ibu." Drew mulai menangis.

Oh tidak! Kumohon jangan menangis Drew. Aku ingin sekali bangun dan menenangkannya.

"Bagaimana keadaannya?" sebuah suara maskulin lain terdengar menginterupsi tangisan Drew.

"Masih koma. Dia memiliki memar yang cukup parah di rusuk kanannya, dan juga tengkorak belakang kepalanya mengalami keretakan kecil, hanya sebesar anak rambut," jelas si Dokter yang berbincang dengan adikku tadi.

Orang asing itu mendengus perihatin.

"Bagaimana kamu menemukannya?" tanya dokter itu lagi.

"Aku menemukan dia dan adiknya di emperan toko di sekitar daerah pemukiman kumuh di Trenton," jelasnya.

"Trenton? Apa yang kamu lakukan di negara bagian New Jersey?" Suara si Dokter terdengar menyelidik dan bersahabat pada orang asing tersebut.

"Lauren, tunanganku memintaku datang ke salah satu restorannya di Trenton. Kami perlu membicarakan satu-dua hal penting," jawabnya sambil lalu. "Ah, sudahlah. Bisa tolong jaga dia untukku?"

"Tentu," aku bisa mendengar seringaian dalam suara Dokter-yang entah siapa namanya-itu. "Dengan senang hati aku akan menjaganya. Ternyata manusia es sepertimu punya jiwa sosial yang tinggi."

"Ck! Tutup mulutmu Paul!"

Dan setelah itu kegelapan mulai datang, aku tidak bisa mendengar apalagi yang mereka perbincangkan. Aku merasa menjadi orang lumpuh, tuli, buta, dan bisu, di saat bersamaan.

***

Untuk beberapa saat kegelapan masih menyelimuti. Aku merasakan dorongan kuat untuk buang air kecil. Aku ingin bangun. Aku mencoba bergerak dan membuka mataku. Dan... Aku bisa!

Hal yang pertama kusadari adalah aku terbaring di atas ranjang, di dalam sebuah ruangan steril berwarna serba putih. Dengan sebuah monitor-yang aku tidak tahu apa kegunaannya-terletak di sisi kiri ranjang tempatku berbaring. Dan di sisi kananku terdapat sebuah meja kayu kecil berwarna putih, yang di atasnya terdapat segelas air putih, sekeranjang buah-buahan segar, dan juga sebuah vas kaca cantik, lengkap dengan beberapa tangkai mawar segar yang mempercantik.

Aku di rumah sakit ya? Aku menunduk dan melihat bajuku yang ternyata sudah diganti dengan baju rumah sakit. Semacam pijama berwarna biru muda yang terbuat dari katun.

Aku mencoba bangkit, bangun dari tempat tidur dan menuju ke toiet. Namun kepalaku kembali terjatuh ke bantal. Aku pusing. Kepalaku terasa sangat sakit hingga terasa sulit untuk bangun.

Aku baru menyadari ternyata selang IV dan juga jarum kecil yang tertancap di jariku, juga membuatku kesulitan.

Aku mendesah. Sambil menunggu kondisi kepalaku membaik, aku memperhatikan sekeliling ruangan tempatku dirawat. Dan... Mataku melebar. Ya ampun, ini ruangan VIP!

Oh God! Bagaimana aku bisa membayar semua ini? Ini kamar yang mewah. Aku tidak memiliki uang! Dan bahkan untuk makan malam adikku Drew, aku harus mengorek tempat sampah untuk mencari sisa pizza.

Lalu ini... Aku meringis bingung. Orang bodoh mana yang sudah membawa gelandangan sepertiku ke rumah sakit besar, di ruangan VIP yang mewah.

Akh! Memikirkan bayaran rumah sakit membuat kepalaku terasa mau pecah. Oh ya, adikku Drew! Di mana dia?

Aku tersentak bangun! Keinginan untuk mencari adikku mengalahkan rasa sakit kepala yang begitu menyengat. Aku terengah di atas ranjang rumah sakit, sambil memegangi kepalaku. Mataku melebar liar menatap sekeiling ruangan untuk mencari Drew.

"Drew!" panggilku panik sembari hendak mencabut selang IV dari tanganku. Tepat di saat itu seseorang tiba-tiba membuka pintu dan menghambur masuk.

"Kamu sudah sa... Hei! Kamu gila ya? Jangan lepas selang infusnya!" serunya sembari menepis tanganku yang ingin mencabut jarum IV.

Aku mendongak menatapnya. Dia seorang lelaki muda berwajah rupawan, dengan tembaga berantakan yang membingkai garis wajah sempurnanya.

Rahang laki-laki asing itu mengeras. Tak setuju dengan tindakan cerobohku.

"Drew?" tanyaku. Aku takut terjadi sesuatu padanya, mengingat apa yang dilakukan oleh wanita jahat bertubuh besar itu.

Tatapan laki-laki itu mencair oleh kelembutan, ia tersenyum hangat.

"Adikmu yang lucu itu sedang keluar untuk membeli ice cream dengan sepupuku, Paul."

Aku menatapnya bingung. Aku masih linglung.

"Paul itu dokter di sini. Dia yang sudah merawatmu dan adikmu, setelah aku menemukan kalian di depan sebuah toko, si sekitar daerah pemukiman kumuh di Trenton," jelasnya.

Aku masih diam.

"Sekarang beristirahatlah," ucapnya sembari hendak membaringkanku dengan lembut.

Aku teringat bahwa kandung kemihku telah penuh, dan aku ingin ke toilet.

"Apa?" tanyanya melihat keraguanku.

"Aku pikir aku harus ke toilet," jawabku gugup. Aku menunduk malu. "Aku ingin buang air kecil," tambahku. Suaraku terdengar sangat pelan.

Dia tertawa, aku pikir itu bukan tawa mengejek tapi tawa lega.

"Kamu dipasangi katater," dia memberitahu.

Kateter? Apa itu? Aku mengerutkan dahi dan menatap mata gelapnya yang terlihat geli.

"Emmm... Aku pikir aku harus ke toilet," ucapku menunduk lagi.

Dia mendengus tertawa. "Baiklah," sahutnya sembari menekan tombol yang ada di samping tempat tidurku.

"Ya?" sebuah suara tanpa wujud menyahut.

Dia tersenyum lembut menatapku. "Pasien Senna, sudah sadar dari komanya. Dia butuh bantuan," dia memberitahu. Mata peraknya mengunci mataku. Tunggu! Darimana dia tahu namaku?

"Baik pak. Seorang suster akan dikirim ke sana." suara tanpa wujud itu akhirnya berhenti.

"Tunggulah beberapa saat lagi."

Dan beberapa menit kemudian, seorang suster berambut gelap berusia sekitar empat puluh tahunan masuk ke kamarku. Dia tersenyum manis ke arahku.

"Bagaimana perasaan anda, Nona?" tanyanya lembut. Sambil dengan cekatan memeriksa infus, denyut nadi, dan juga monitor yang ada di samping tempat tidurku.

"Aku ingin buang air kecil," sahutku pelan, sambil melirik ke arah lelaki tadi yang terlihat sedang menelpon seseorang sambil beranjak menuju sofa hitam di seberang ruangan.

"Anda dipasangi..."

"Aku tahu aku telah dipasangi alat apapun namanya ini," potongku. "Tapi aku benar-benar mau ke toilet," aku menggerutu tak sabar.

Suster itu mendesah. "Baiklah, Nona." dengan hati-hati ia kemudian membantuku bangun.

Setelah aku berdiri stabil, Suster-yang aku tidak tahu namanya-itu lalu menuntunku menuju ke toilet, sementara sebelah tangannya menyeret tiang IV-ku.

"Butuh bantuan?" tawar si lelaki asing. Suaranya terdengar lembut dan ramah.

"Tidak usah Mr. Huntington. Saya bisa menanganinya," tolak si suster tegas.

Yang dipanggil Mr. Huntington itu hanya mengangkat bahu dan melempar senyum padaku.

Setelah menghabiskan waktu selama beberapa menit di dalam toilet, akhirnya suster-yang belakangan ini kuketahui bernama- Sarah, menuntunku ke luar. Dia membaringkanku di atas tempat tidur, memeriksa kondisiku, lalu berpamitan untuk memanggil dokter.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun