"Ya," jawabku. Suaraku pecah.
"Aku lapal," ucapnya cadel. Tangan kecil itu menepuk pelan perut ratanya yang kurus.
"I-iya." aku berusaha keras untuk tidak menangis di depannya.
Melepaskan pelukanku dari Drew, aku bangkit dari posisi berjongkokku, kemudian aku beranjak menuju sebuah tempat sampah besar berwarna hijau. Sambil menggigit bibirku untuk menahan mual karena bau busuk yang menyengat, aku mengorek isi tempat sampah itu, berharap bisa menemukan sepotong pizza sisa untuk makan malam Drew. Air mataku tumpah dengan sendirinya. Aku tidak pernah berkeinginan untuk hidup seperti ini, aku sungguh tidak pernah mau memberikan adikku sisa makanan busuk dari tempat sampah.
Setelah sekitar sepuluh menit mengorek tempat sampah, akhirnya aku menemukan sepotong pizza untuk adikku. Aku menghampiri Drew, lalu berjongkok untuk memberikan pizza yang hampir basi itu padanya.
Mata birunya berbinar senang saat menerima pemberianku.
"Kak Senna? Kakak menyangis?" tanyanya khawatir sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipiku.
Tangan kecilnya terasa begitu lembut.
"Tidak," aku menggeleng sembari mengusap pelan rambut cokelatnya. "Aku tidak menangis Sayang."
"Kakak jangan bohong padaku," ia cemberut. "Aku tahu kakak menyangis, apa kakak lapal?"
Aku menggeleng. "Tidak Drew, aku tidak lapar."