Mohon tunggu...
Muhamad Misbah Al Amin
Muhamad Misbah Al Amin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi Hukum Pidana Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia: Tantangan dan Peluang

8 Maret 2023   09:08 Diperbarui: 8 Maret 2023   09:09 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENERAPAN HUKUM KELUARGA DAN HUKUM BISNIS ISLAM DI INDONESIA

Siska Lis Sulistiani, M.Ag., M.E.Sy. 2018.

Di Susun Oleh: Muhamad Misbah Al Amin/212121102/HKI 4C

BAB I

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN KEKUATAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Hukum secara bahasa merupakan bahasa serapan dari bahasa arab yaitu al-hukmu yang artinya memutuskan, mencegah, menetapkan, memimpin atau memerintah. Adapun secara istilah dikenal dalam ilmu ushul fiqh kaidah: "Segala sesuatu yang menunjukkan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang yang telah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan, kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i". Adapun pengertian hukum perdata secara umum diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang masalah hubungan orang dengan orang lain meliputi hukum perorangan (hukum keluarga), benda, perikatan (harta kekayaan termasuk waris dan pembuktian serta daluarsa). Sementara dalam pengertian umum, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam, seperti hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat dan perwakafan.

Hukum perdata Islam mencangkup hukum keluarga Islam dan Hukum bisnis Islam yang sudah melalui positivisasi hukum di Indonesia. Adapun secara rinci ruang lingkup kajian hukum perdata Islam di Indonesia yang sering dipelajari di perguruan-perguruan tinggi negeri maupun swasta Islam di Indonesia yaitu: Pertama, Hukum perkawinan yang meliputi mekanisme pencatatan perkawinan, aspek hukum perceraian, harta gono-gini, akibat hukum terhadap anggota keluarga dan poligami. Kedua, Hukum kewarisan meliputi aspek sengketa hukumnya di Pengadilan Agama. Ketiga, Hukum perwakafan, zakat, infak, sedekah, wasiat, dan hibah. Keempat, Hukum bisnis meliputi aspek hukum akad-akad mu'awadhah (mudharabah, murabahah, ijarah, musyarakah, jual beli).

Perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Hukum perdata Islam telah eksis di Indonesia jauh sebelum kedatangan penjajah. Akan tetapi, hukum Indonesia pasca kolonial pada umumnya adalah warisan kolonial Belanda, pada waktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaan memang terjadi peralihan kekuasaan dari penjajah ke orang Indonesia, tetapi tidak terjadi peralihan dari hukum Belanda ke hukum Indonesia secara sistematis, kecuali Undang-Undang Dasar 1945 sebagai produk Indonesia yang disusun secara darurat. Semua hukum yang berlaku setelah pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, baik hukum perdata, hukum pidana manpun hukum acara, ataupun hukum lainnva, adalah kelanjutan dari hukum yang berlaku di wilayah administrative Belanda. Setelah mulai stabil, Indonesia juga memperkenalkan hukum Indonesia sendiri, tetapi sesungguhnya wawasan perancang dan pembuat hukum di Indonesia belum dapat melepaskan dari wawasan hukum asing.

Politik hukum yang dilancarkan oleh Belanda dengan kebutuhan kolonialisme yakni hukum direncanakan untuk diunifikasi, disatukan. Maksudnya adalah hukum yang berlaku di Negara Belanda, diberlakukan juga di Indonesia. Pada masa itu timbul konflik hukum, karena adanya di antara para sarjana hukum Belanda yang tidak menyetujui unifikasi hukum dalam arti seperti diterangkan di atas. Para sarjana hukum Belanda yang menolak unifikasi itu dipelopori oleh C. van Vollenhoven dengan bukunya De Ontdekking van het Adatrecht (penemuan hukum adat). Menurut van Vollenhoven, hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia bukanlah hukum Islam, melainkan hukum Adat, yakni hukum yang berakar pada kesadaran hukum masyarakat sejak dulu, dan hukum yang telah berhasil membuat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang damai dan tertib. Menurut teori ini, hukum-hukum Islam yang berlaku di masyarakat karena telah diterima (diresepsi) oleh hukum adat. 

Dari pendapat tersebut, timbulah konflik antara sistem hukum Islam, Adat dan Hukum Barat. Selanjutnya teori tersebut dibantah dengan teori Receptive A. Contrario yang dikemukakan oleh Sayuthi Thalib, yang menyatakan bahwa bagi umat Islam berlaku hukum Islam, dan hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 adalah: 

Undang-Undang Dasar 1945, 

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 

Undang-Undang, 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), 

Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur,

Peraturan Daerah.

Perkembangan hukum perdata Islam dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terletak pada Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang tersebut yang menegaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Selain dengan adanya penerapan norma-norma Islam dalam peraturan perundang-undangan dalam beberapa peraturan dalam lingkup hukum perdata Islam, ada juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berkedudukan sebagai Inpres dan hukum privat materiil yang sering digunakan di wilayah Peradilan Agama di Indonesia.

Selain itu, dalam tradisi ilmu hukum di Indonesia apabila suatu ketentuan tidak diatur dalam hukum tertulis (materi perundang- undangan), yang dapat dijadikan rujukan adalah hukum tidak tertulis, diantaranya pendapat (qaul) ulama (pakar fiqih) yang terdapat dalam kitab kuning. Kekosongan hukum materiil Pengadilan Agama disiasati oleh ulama dengan menjadikan kitab kuning sebagai hukum materiil. Pada 1953, Departemen Agama menetapkan 13 kitab Fiqih yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama.

BAB II

PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fikih disebut dengan dua kata, yaitu "nikah" dan "zawaj". Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW. Kata "nakaha" banyak terdapat dalam Al-Qur'an dengan arti kawin, seperti dalam QS. An-Nisaa': 3. Demikian pula, banyak terdapat kata "zawaja" dalam Al-Qur'an dalam arti kawin, seperti dalam QS. Al-Ahzab: 37. Secara etimologi, kata nikah berarti bergabung (adh-dhamu), hubungan kelamin (al-wath u) dan juga berarti akad (al-'aqdu) yang bermakna juga dengan "berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya". Imam Syafi'i, memberikan definisi perkawinan adalah akad yang mengandung kepemilikan hak untuk melakukan hubungan suami isteri dengan menggunakan lafaz inkah, tazwij atau dengan lafaz yang sama, artinya dengan kedua lafaz itu. Negara-negara muslim dalam merumuskan Undang-Undang yang mengatur masalah perkawinan melengkapi definisi tersebut dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakatnya seperti di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan arti perkawinan sebagai berikut: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa".

Dengan demikian dengan adanya perkawinan terjagalah fitrah manusia yang membutuhkan adanya kelengkapan dan ketenangan hidup dalam lingkungan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Adapun prinsip perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,

Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Asas monogami. Asas ini ada pengecualian, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang,

Prinsip calon suami harus telah matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat,

Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian, 

Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Dalam hukum Islam, perkawinan yang dikenal dengan istilah pernikahan pada dasarnya merupakan bagian dari rangkaian ibadah yang dianjurkan dalam Islam, ataupun hukum asalnya sunah, akan tetapi kondisi hukum tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi mukallaf dalam beberapa aspek yang harus dilihat secara menyeluruh. Allah telah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasangan sebagaimana finnan Allah dalam QS. Adz-Dzariyat: 49. Dari ayat tersebut Allah menghendaki keterpaduan fungsi antara peran pria dan wanita yang disatukan dalam sebuah perkawinan yang dihalalkan oleh Allah. Di dalam Al-Qur'an pun juga masih banyak ayat-ayat lain yang mengatur tentang perkawinan. Selain Al-Qur'an, sumber utama hukum perkawinan adalah hadis, meskipun Al-Qur'an telah memberikan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dengan sangat terperinci, tetapi masih diperlukan adanya penjelasan-penjelasan dari sunah, baik mengenai hal-hal yang tidak disinggung maupun mengenai hal-hal yang telah disebutkan Al-Qur'an secara garis besar. Dasar hukum perkawinan di Indonesia didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usaha pembentukan Undang-Undang perkawinan tersebut dimulai sejak 1950 dan bersifat bertahap (tadrij).

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan, dalam hal ini masalah ibadah (perkawinan), dan rukun termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Adapun syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi ia tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Perkawinan dalam Islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqoha. Jika suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, maka perkawinan tersebut dinamakan fasid (rusak) dan jika tidak memenuhi rukun-rukun perkawinan disebut bathil (batal). Rukun perkawinan ada lima, yaitu sebagai berikut:

Adanya mempelai laki-laki, 

Adanya mempelai perempuan, 

Adanya wali mempelai perempuan atau wakilnya, 

Adanya dua orang saksi dan 

Ijab dan kabul.

BAB III

PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Istilah "perjanjian" perkawinan asalnya merupakan terjemahan dari 'huwelijksevoorwaarden' yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Kata Huwlijk artinya perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan voowaard adalah syarat. Menurut R. Subekti adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami dan istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas-asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Istilah Perjanjian perkawinan ini ada dalam KUH Perdata, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Adapun istilah perjanjian perkawinan dalam hukum Islam tidak ditemukan, yang ada dalam literatur fiqh terkait syarat dalam perkawinan, akan tetapi syarat perkawinan yang dimaksud dalam fiqh adalah syarat sahnya perkawinan bukan dalam arti perjanjian perkawinan yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29 yang kemudian dilakukan perubahan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 69/PUU-XIII/2015.

Maka dari hal tersebut dapat dipahami bahwa perjanjian perkawinan dalam lingkup hukum perdata Islam adalah perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelum, atau pada saat perkawinan dilangsungkan atau sepanjang perkawinan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan dan lain-lain selama tidak bertentangan dengan aturan (Undang-Undang dan Hukum Islam). Dasar hukum perjanjian perkawinan dalam hukum Islam dapat disandarkan dalam QS. Al-Maidah. Pada tanggal 21 Maret 2016, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan nomor 69/PUU-XIII/2015. Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, dengan adanya perubahan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, maka terdapat beberapa perubahan yang terjadi terkait perjanjian perkawinan. lsi dari Pasal 29 memiliki kaitan dengan Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yakni dimana dalam Pasal tersebut membahas persetujuan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan.

Sebuah perjanjian perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Perjanjian perkawinan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian secara umum disamping secara khusus sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Secara umum syarat sahnya perjanjian ada dua macam yaitu: Pertama, Mengenai subjeknya, meliputi orang yang membuat perjanjian dan kesepakatan (consensus) yang menjadi dasar perjanjian. Kedua, Mengenai objek, yaitu apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Adapun yang menjadi tujuan dan manfaat bagi pasangan suami istri dalam membuat perjanjian perkawinan yaitu: 

Untuk melindungi secara hukum terhadap harta benda yang dimiliki oleh suami isteri, baik harta bawaan masing-masing pihak maupun harta bersama sebelum dan maupun selama perkawinan berlangsung ataupun jika terjadi perceraian, 

Sebagai pegangan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak tentang masa depan 

rumah tangga mereka, baik mengenai pendidikan anak, usaha, tempat tinggal, dan lain-lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, adat istiadat dan kesusilaan, 

Membebaskan suami atau istri dari kewajiban ikut membayar utang

pasangannya. Harta bersama tidak hanya mencakup pengertian harta bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, dan 

Melindungi anggota keluarga dari ancaman tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Sebelum seseorang hendak memasuki jenjang perkawinan biasanya diawali dengan peminangan (khitbah) yang mempunyai arti permintaan. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf a, peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang wanita, hendaklah ia meminang atau khitbah terlebih dahulu karena dimungkinkan perempuan tersebut sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat ketentuan khusus mengenai peminangan (khitbah). Akan tetapi, ketentuan tersebut terdapat dalam Buku I Kompilasi Hukum Islam tentang Hukum Perkawinan khususnya Pasal 11-13 (Bab III tentang Peminangan) dan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama bidang perkawinan.

Menurut Yahya Harahap pengaturan ini demi tertibnya cara-cara peminangan berdasarkan moral dan yuridis. Adapun terkait masa waktu pembatalan peminangan tersebut Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur, sedangkan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan masa waktunya sekurang-kurangnya tiga bulan. Selain itu, pinangan belum menimbulkan akibat hukum seperti perkawinan yaitu hubungan waris mewarisi, hubungan nasab dari anak yang dilakukan (misalnya zina).

BAB IV

WALI DAN PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Pengertian perwalian dalam istilah fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Jadi yang disebut dengan wali nikah adalah seseorang yang diberi kekuasaan untuk mengawinkan seseorang perempuan yang dibawah kekuasaannya, dengan perkataan lain wali itu dari pihak perempuan. Wali dalam perkawinan adalah hal yang penting dan menentukan sah atau tidaknya perkawinan, menurut pendapat ulama Syafi'iyah tidak sah perkawinan tanpa adanya wali bagi pihak perempuan, sedang bagi laki-laki tidak diperlukan wali. Menurut ulama Hanafiyah bahwa perkawinan tanpa wali dianggap sah bahkan seorang wanita dapat mengawinkan dirinya sendiri. Dasar hukum terkait wali ini ada dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah: 232 dan as-sunnah.

Adapun syarat wali seperti yang telah disampaikan pada bab rukun dan syarat perkawinan yaitu: Laki-laki, Beragama Islam, Baligh, Berakal sehat dan Adil. Wali dalam akad perkawinan menjadi penentu sah tidaknya sebuah akad. Oleh karena itu perlu dipahami siapa saja yang berhak menjadi wali dalam sebuah akad perkawinan. Pertama, Wali Nasab (menurut Jumhur ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah saudara dekat yang termasuk pada ashhab, bukan saudara seibu atau dzaw al-arham lainnya. Pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali dinikahkan oleh wali aqrab (dekat), dan apabila tidak ada oleh wali ab'ad (jauh), dan jika tidak ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali hakim). Kedua, Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, dalam hal ini sebagai hakim atau penguasa yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Pengertian pembatalan perkawinan menurut kamus hukum adalah suatu tindakan pembatalan suatu perkawinan yang tidak mempunyai akibat hukum yang dikehendaki karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum atau Undang-Undang. Dalam kajian hukum Islam, pembatalan perkawinan disebut dengan fasakh yang berarti mencabut atau menghapus atau membatalkan. Atau dalam arti lain perkawinan diputuskan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama walaupun tidak ada secara pasti ada istilah pembatalan perkawinan dalam literatur fiqh. Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Alasan pembatalan perkawinan oleh suami istri atau oleh para keluarga dalam garis keturtman lurus ke atas dari suami atau istri, ataupun oleh jaksa berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.

Berdasarkan Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa: "Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian". Jadi, tata cara yang dipakai untuk permohonan pembatalan perkawinan sama dengan tata cara pengajuan permohonan perceraian. Kemudian dalam ayat (3) Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 tersebut dikatakan bahwa: "Hal-hal yang berhubungan dengan pemanggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai Pasal 36 PP ini". Adapun saat dimulainya pembatalan perkawinan, beserta akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Apabila perkawinan dilaksanakan tidak memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum, tentunya apabila pekawinan itu dibatalkan akan memiliki akibat hukum. Pembatalan perkawinan memiliki akibat hukum terhadap berbagai pihak, baik pihak yang melaksanakan perkawinan maupun pihak lain yang berkaitan dengan adanya perkawinan tersebut. Mengenai akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap putusan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama mencakup 3 (tiga) hal penting, yaitu: Pertama, Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap hubungan suami istri adalah putusnya hubungan suami istri tersebut karena setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka perkawinan batal sejak saat berlangsungnya perkawinan, oleh karena itu perkawinan dianggap tidak pernah ada. Kedua, Selain berakibat pada putusnya hubungan suami istri batalnya perkawinan juga membawa akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap kedudukan anak, maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai isi Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketiga, Akibat hukum dari batalnya perkawinan terhadap hada bersama terdapat dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, dalam arti tidak ada unsur kesengajaan untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar hukum yang berlaku, sehingga walaupun perkawinan itu dibatalkan oleh Pengadilan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka tetap ada pembagian harta bersama. Pembagian harta bersama sesuai dengan pembagian harta bersama karena perceraian.

BAB V

PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan perkawinan sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu, baik secara agama maupun negara. Pencatatan perkawinan dapat diartikan juga sebagai suatu perbuatan administrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh instansi yang berwenang (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam) yang ditandai dengan penerbitan Akta Nikah atau Buku Nikah untuk kedua mempelai. Secara umum pencatatan perkawinan mencangkup tiga peristiwa dalam perkawinan tersebut yaitu nikah, cerai, dan rujuk. Hal ini didasarkan sebagai bentuk pengawasan perkawinan yang diamanatkan Undang-Undang. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan diikuti oleh ayat berikutnya bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Landasan hukum tentang pencatatan perkawinan ini memang tidak ditemukan secara jelas dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadis. Akan tetapi, sebagian pendapat ada yang menganalogikan pencatatan perkawinan tersebut dengan masalah muamalah lain yang termaktub dalam Al- Qur'an surat Al-Baqarah: 282. Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah pencatatan secara tertulis dalam segala bentuk urusan muamalah, seperti perdagangan, hutang piutang dan sebagainya. Dijelaskan bahwa alat bukti tertulis itu statusnya lebih adil dan benar di sisi Allah serta dapat menguatkan persaksian, sekaligus dapat menghindarkan kita dari keraguan. Pencatatan perkawinan memiliki beberapa manfaat, diantaranya untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun menurut perundang-undangan. Hal ini karena sebelum proses perkawinan dan pencatatan perkawinan dilaksanakan, sebelumnya pegawai pencatat terlebih dahulu akan meneliti apakah kedua mempelai calon pengantin tersebut telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Dengan kata lain arti pentingnya sebuah pencatatan perkawinan adalah untuk menertibkan administrasi perkawinan dalam masyarakat. Karena sewaktu-waktu alat bukti nikah yang berupa akta nikah dapat dipergunakan bilamana diperlukan sebagai bukti tertulis yang otentik serta mempunyai kekuatan hukum yang sah berdasarkan Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa hanya ada dua lembaga yang mempunyai legitimasi hukum melakukan fungsi pencatatan perkawinan. Adapun mekanisme pencatatan perkawinan yang tertera dalam Pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975. Sedangkan berkaitan dengan sanksi pernikahan yang tidak dicatatkan peraturan pemerintah ini menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat nikah akan dikenakan sanksi hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500. Jadi, pencatatan perkawinan dapat dilakukan di KUA atau Kantor Catatan Sipil setempat, sedangkan mekanisme pencatatan talak dapat dilakukan melalui pengajuan perkara cerai talak atau gugat di Pengadilan Agama setempat.

Akibat hukum bagi perkawinan yang tidak tercatat secara aturan berlaku di Indonesia maka konsekuensi logis maupun yuridisnya sebagai berikut: 

Perkawinan dianggap tidak sah meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, 

Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, 

Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan, dan 

Tidak diketahuinya berapa kali terjadinya peristiwa talak dan rujuk yang akan berakibat pada keabsahan perkawinan tersebut jika menyalahi aturan.

Isbat nikah secara bahasa adalah penetapan perkawinan. Adapun secara istilah, yaitu menetapkan melalui pencatatan bagi perkawinan atau pernikahan yang belum tercatatkan atau karena sebab lain yang telah ditentukan dalain peraturan terkait. Terkait isbat nikah tidak ditemukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Namun ada dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (2) dan (3) dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Isbat nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: 

Dalam rangka penyelesaian perceraian,

Hilangnya akta nikah, 

Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, 

Perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan 

Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No.1/1974. Setidaknya terdapat dua alasan Pengadilan Agama dapat menerima dan memutus perkara isbat nikah terhadap perkawinan pasca berlakunya Undang-Undang Perkawinan.

Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit, yakni hakim dianggap mengetahui hukum isbat nikah, dan asas kebebasan hakim untuk menemukan hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak terdapat peraturan hukumnya (rechtsvacuum). Kedua, pendekatan sosiologis yang mendorong hakim menganalis suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran teleogis (penafsiran sosiologis) terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang (living law) di masyarakat.

BAB VI

PERCERAIAN, POLIGAMI & HARTA BERSAMA DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Dalam konteks hukum Islam, perceraian diistilahkan 'talak' atau 'furqah'. Adapun arti dari talak adalah membuka ikatan dan membatalkan perjanjian, sementara furqah artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Selanjutnya kedua kata ini dipakai oleh para ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami istri. Dengan demikian, talak adalah tindakan yang dilakukan suami terhadap istri untuk bercerai, baik talak satu, dua dan tiga, talak ini hanya diucapkan dari suami kepada istri, maka sah perceraian tersebut. Sementara dalam perspektif yuridis, perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Secara normatif, talak dalam agama Islam merupakan perkara halal, namun sangat dibenci oleh Allah.

Berdasarkan yurisdiksi Indonesia, masalah perceraian diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Di dalamnya dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu: 

Kematian, 

Perceraian, dan 

Atas keputusan Pengadilan. 

Berdasarkan Pasal 38 tersebut, menjelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan Pengadilan. Perkawinan putus karena kematian dalam masyarakat biasa disebut dengan istilah cerai mati, sedangkan perkawinan yang putus karena perceraian biasa disebut cerai talak dan cerai gugat, dan perkawinan yang putus atas putusan Pengadilan disebut pembatalan perkawinan. Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian sebagai berikut: 

Terhadap anak-anaknya, 

Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan), dan 

Terhadap mut'ah (pemberian bekas suami kepada bekas istrinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).

Pemeliharaan anak dalam perkawinan jika terjadi perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam dan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan, yaitu sebagai berikut: 

Pemeliharaan anak yang belum dewasa atau belum berumur 12 tahun apabila terjadi perceraian adalah hak ibu, 

Apabila sudah dewasa, anak yang bersangkutan dapat memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak untuk memeliharanya, dan

Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya. 

Perceraian dapat dilihat dalam beberapa bentuk, dalam fiqh Islam bentuk perceraian ini akan menentukan proses dan prosedur perceraiannya. Walaupun keputusan menjatuhkan cerai ada di tangan laki-laki selaku suami, akan tetapi Islam memberikan hak kepada istri untuk meminta atau memohon cerai kepada suami dengan alasan yang dibenarkan syari'at yang disebut dengan khulu'. Khulu' secara bahasa artinya melepaskan, ataupun istilah yang digunakan oleh seorang istri yang meminta agar suaminya melepaskannya dari ikatan perkawinan, dengan pembayaran diserahkan istri kepada suami sebagai sebuah tebusan yang biasanya setara dengan mahar yang diberikan dahulu.

Walaupun pada dasarnya ditinjau dari segi orang yang berwenang menjatuhkan atau memutuskan perceraian, maka perceraian itu dibagi kepada: 

Yang dijatuhkan oleh suami, dinamakan talak, illa', li'an dan dzihar dan 

Yang diputuskan atau ditetapkan oleh hakim dinamakan fasakh (pembatalan perkawinan/batal demi hukum). 

Putusnya perkawinan karena perceraian di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia dikenal dengan dua istilah yaitu "cerai gugat" yang biasanya diajukan oleh pihak istri kepada Pengadilan dan "cerai talak" yang biasanya diajukan oleh pihak suami, istilah ini menunjukkan kesan adanya perselisihan perkawinan antara suami dan istri. Adapun jumlah penggugat dalam perkara cerai antara suami dan istri yang diajukan di wilayah Pengadilan terdiri dari 70 persen diajukan oleh perempuan selaku istri dan 30 persen oleh laki-laki selaku suami, hal tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan, di antaranya: 

Hubungan suami dan istri yang sudah tidak harmonis, 

Kurangnya tanggung jawab satu sama lain, 

Kehadiran pihak ketiga, dan 

Persoalan ekonomi, dll.

Kata-kata "poligami" terdiri dari kata "poli" dan "gami". Secara etimologi, "poli" artinya banyak, dan "gami" artinya istri. Jadi, poligami artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami artinya seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Dari segi konsep, poligami berasal dari kata polygamy berarti suami atau istri memiliki pasangan (suami atau istri) lebih dari seorang. Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan: pangan, pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, dan tidak membedakan istri yang kaya dan yang miskin atau dari golongan tinggi dengan golongan bawah. Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri yang keempat, bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istri dua orang, maka ia haram menikahi istri yang ketiganya, dan seterusnya. Mahkamah Konstitusi (MK) pun menyatakan bahwa ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia dengan kompilasi hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut dalam Pasal 56 KHI. Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain sebagai berikut: 

Untuk mendapat keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul, 

Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, dan 

Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina. 

Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya adalah sebagai berikut: 

Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama, 

Untuk kepentingan politik untuk mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam, dan 

Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan.

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri sepanjang para pihak tidak menentukan lain, khususnya dalam perjanjian perkawinan yang telah dibahas dalam bab sebelumnya. Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-Undang dan peraturan berikut: 

UU Perkawinan Pasal 35 ayat (1), 

KUH Perdata Pasal 119, dan 

KHI Pasal 85. 

Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta bersama dibagi dengan seimbang antara mantan suami dan mantan istri. Hal ini tentunya apabila tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pisah harta dilakukan oleh pasangan suami istri yang dilakukan sebelum dan sesudah berlangsungnya akad nikah. Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta bersama. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah harta bersama. Pembagian harta bersama tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al-Qur'an disebut dengan istilah "Ash-Shulhu" yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih.

BAB VII

PERWAKAFAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Wakaf secara terminologi berasal dari kata "waqaf" dengan makna aslinya berhenti, diam di tempat, atau menahan. Kata al-waqf adalah bentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai', yang berarti menghentikan atau menahan sesuatu. Dari hal tersebut mengindikasikan bahwa wakaf yaitu menahan sesuatu yang menjadi pokok dan memanfaatkan hasilnya. Secara etimologi syara', wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan. Para ulama pada umumnya mendasarkan wakaf kepada lima landasan: Al-Qur'an, as-Sunah, praktik sahabat, dan ijtihad. Hanya saja tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara spesifik menyebutkan kalimat wakaf, sehingga para ulama menjadikan dalil umum dalam Al-Qur'an sebagai landasan dari ibadah wakaf. Salah satunya dalam Al-Qur'an adalah di dalam surat Ali Imran: 92.

Di Indonesia hukum wakaf telah disepakati sebagai hukum yang hidup di masyarakat (living law) karena telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan kemudian disahkan melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pada tanggal 21 Oktober 2004. Negara Indonesia adalah negara hukum dan memberikan kesempatan pada hukum Islam untuk menjadi bagian dari hukum Indonesia. Hukum wakaf termasuk ke dalam wilayah kekuasaan badan Peradilan Agama. Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 2006 pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Hukum wakaf di Indonesia diserap dalam peraturan perundang- undangan oleh negara karena dinilai memiliki potensi yang besar dari berbagai aspeknya sehingga memberi dampak ekonomis pada masyarakat maupun pada pemerintah dari aspek pembangunan dan pemberdayaan ekonomi.

Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf menurut AAOIFII sebagaimana yang disepakati para ulama ada empat (4), yaitu: 

Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian hartabendanya), 

Wakif (orang yang mewakafkan harta), 

Mauquf (barang atau benda yang diwakafkan), dan 

Mauquf 'Alaih (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf). 

Selanjutnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dari rukun wakaf yang telah disebutkan adalah: 

Shigah wakaf bisa berupa tulis maupun lisan, hanya saja untuk shigah wakaf yang disyariatkan hanya ijab, tanpa diperlukan qobul,

Pada hakikatnya amalan wakaf adalah tindakan tabbaru' (mendermakan harta benda), karena itu syarat seorang wakif cakap melakukan tindakan tabarru', 

Mauquf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan, dan hak milik wakif murni, 

Mauquf 'Alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah, dan

Nadzir (pengelola wakaf).

Tujuan wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 4 menyatakan bahwa: Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Sedangkan fungsi wakaf dalam KHI Pasal 216 adalah: Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuannya. Menurut Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf bahwa Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Ada beberapa macam wakaf yang dikenal dalam Islam yang dibedakan berdasarkan atas beberapa kriteria: 

Berdasarkan tujuannya: Wakaf sosial, keluarga dan gabungan, 

Berdasarkan batasan waktunya: Wakaf abadi dan sementara, 

Berdasarkan penggunaannya: Wakaf langsung dan produktif. Selain itu, wakaf dari sisi objek wakaf dibagi 2 menurut Pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004: Wakaf benda tidak bergerak dan benda bergerak. 

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang diberikan oleh Allah SWT. Selain itu, nikmat lainnya terhadap Indonesia adalah dengan jumlah masyarakat yang beragama Islam adalah mayoritas, hingga akhir 2016 data penduduk Indonesia berdasarkan agamanya untuk Islam 85 persen dari penduduk Indonesia. Dari presentasi jumlah SDM yang dominan, dan dengan SDA yang luas di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai lahan pengumpulan wakaf yang potensial. Wakaf produktif di Indonesia terus berkembang, seiring bertambahnya kemajuan industri ekonomi syariah yang diharapkan dapat menjawab krisis ekonomi masyarakat di Indonesia. Perkembangan wakaf ini salah satunya dalam industri asuransi syariah. Asuransi syariah menjadi salah satu produk yang saat ini dinilai memiliki potensi ekonomi yang dapat memberikan manfaat bukan hanya bagi nasabah secara dunia saja namun dapat memberi manfaat akhirat atau bersifat amal jariyah. Sehingga wakaf ini dikenal dengan wakaf wasiat polis asuransi syariah, yang merupakan pengembangan dan bentuk wakaf produktif.

Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah mengatur persoalan nadzir dengan sangat rinci. Ini menunjukkan bahwa nadzir memiliki kedudukan yang signifikan di dalam UU tersebut. Nadzir juga berkewajiban mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta wakaf. Nadzir (baik perorangan, organisasi maupun hukum) haruslah terdiri dari orang-orang yang berakhlak mulia, amanah berkelakuan baik, berpengalaman, menguasai ilmu administrasi dan keuangan yang dianggap perlu untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan jenis wakaf dan tujuannya. Secara umum, pengelolaan wakaf dapat terarah dan terbina secara optimal, apabila nadzirnya amanah (dapat dipercaya) dan profesional. Maka dari itu, setiap nadzir harus siap diaudit secara berkala oleh akuntan publik dan diawasi oleh lembaga pengawasan yang independen dan masyarakat. Pengawasan yang bersifat internal sudah menjadi keharusan, bersamaan dengan kepedulian masyarakat sekitar untuk mengawasi kinerja nadzir. Aspek pengawasan pengelolaan internal ini meliputi: penaksir nilai, manajemen organisasi, manajemen keuangan, manajemen pendistribusian hasil-hasil pengelolaan dan manajemen pelaporan kepada pihak yang lebih tinggi. Sedangkan pengawasan eksternal meliputi pengawasan dari pemerintah, media massa dan pengawasan dari masyarakat.

BAB VIII

HUKUM WASIAT DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Secara bahasa, dimaksudkan dengan wasiat yaitu pesan atau pesan-pesan, atau sesuatu yang dipesankan kepada orang lain. Sedangkan secara terminologis, wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan seseorang kepada seseorang untuk dilaksanakan/dijalankan sesudah meninggalnya sang pemberi wasiat. Batasan lain, wasiat yaitu suatu tasarruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat. Dasar hukum diperbolehkan melakukan wasiat kepada siapa saja orang yang dikehendaki selain ahli waris, terdapat dalam Al-Qur'an QS. Al-Baqarah: 180 dan QS. Al-Maidah: 106. Selain itu, Wasiat juga diatur dalam Pasal 875 BW dengan istilah testament dan Kompilasi Hukum Islam Buku III tentang hukum Kewarisan.

Adapun rukun dan syarat wasiat, yaitu 

Orang yang memberi wasiat (Berakal, Baligh, Merdeka, Tidak mempunyai hutang yang menghabiskan harta, Dengan cara sukarela), 

Orang yang menerima wasiat, 

Barang yang diwasiatkan, dan 

Bentuk dan pelaksanaan wasiat. 

Wasiat Wajibah merupakan suatu tindakan pembebanan oleh hakim melalui putusannya atau lembaga yang memiliki otoritas, agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela diambil sebagian dari harta benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. Melalui perkembangan dinamika hukum di Indonesia, wasiat wajibah sendirI tidak hanya diperuntukkan bagi anak angkat dan/atau orang tua angkat saja, melainkan dapat juga diperuntukkan kepada ahli waris non-muslim. Seperti di dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 368.K/AG/1995, di mana di dalam putusan ini hakim memutuskan anak dari si pewaris yang meninggal dunia mendapatkan wasiat wajibah, dikarenakan anak dari si pewaris tersebut beragama non-muslim. 

Selain itu, pada putusan Mahkmah Agung Republik Indonesia Nomor: 51.K/AG/1999, dalam putusan ini hakim memutuskan ahli waris pengganti dari si pewaris yang mendapatkan wasiat wajibah, dikarenakan pula ahli waris pengganti dari si pewaris tersebut beragama non-muslim. Kemudian di tahun 2010, Mahkamah Agung Republik Indonesia memberikan putusan yang menetapkan bahwa istri dari si pewaris yang beragama non-muslim juga mendapatkan wasiat wajibah, dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 16.K/AG/2010.

Mengenai kerabat yang tidak termasuk sebagai ahli waris ini, Ibnu Hazm berpendapat kalau ia berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris atas dasar wasiat wajibah. Ibnu Hazm berpendapat bahwa para kerabat yang tidak menerima warisan berhak menerima wasiat wajibah sebagaimana telah beliau tegaskan sebelumnya di atas. Oleh karena itu, menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh ahli waris untuk memberikan wasiat tersebut kepada para kerabat yang tidak dapat menerima warisan, baik karena ia menjadi budak, karena berbeda agama, ataupun karena adanya kerabat lain yang menghijab, maupun karena ia bukan sebagai ahli waris.

BAB IX

HUKUM ZAKAT, HIBAH, INFAK, DAN SEDEKAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Zakat menurut bahasa yaitu tumbuh dan tambah. Kata 'zakat' juga digunakan untuk ungkapan pujian, suci, keshalehan, dan berkah. Secara terminologis atau istilah, zakat yaitu hak yang wajib diambil dari harta yang banyak (yaitu harta yang mencapai nishab) bagi seorang muslim untuk diberikan kepada kelompok tertentu (mustahiq) yang telah ditentukan dalam Al-Qur'an, yaitu mereka yang berhak mendapatkan sebagian dari harta tersebut (8 asnaf), sebagaimana dalam QS. At-Taubah: 60. Dasar hukum zakat atau dalil-dalil yang berkenaan dengan zakat banyak terdapat di dalam Al-Qur'an dan hadis, dalam Al-Qur'an kata zakat disebut 30 kali, yaitu 8 kata terdapat dalam surat Makiyah sedangkan 22 kata ada dalam surat Madaniyah. Beberapa ayat yang menjelaskan tentang zakat yaitu QS. Al-Baqarah: 43 dan QS. At-Taubah: 60 dan 103.

Zakat secara umum terbagi dua yaitu zakat fitrah dan zakat maal (harta). Zakat fitrah (zakat an-nafs) yaitu zakat yang dikeluarkan oleh setiap muslim yang mampu (muzaki) baik yang sudah dewasa maupun belum dewasa yang dibagikan sebelum salat Idul Fitri. Besaran zakatnya ialah sebesar 2,5 kg atau 3,5 liter makanan pokok daerah setempat. Zakat maal (harta), yaitu zakat yang dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang kekayaannya telah mencapai batas minimal (nishab) dan batas waktu minimal memilikinya (haul). Adapun terkait penerima zakat atau mustahik atau asnaf zakat berdasarkan QS. At-Taubah ayat 60 hanya mencakup delapan golongan saja yaitu:

Fakir, 

Miskin, 

Pengurus zakat/Amil, 

Mualaf, 

Memerdekakan budak (Riqab), 

Orang berutang (Gharim), 

Pada jalan Allah (Fii Sabilillah), dan 

Orang yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil).

Zakat adalah salah satu sektor penting dalam filantropi Islam. Sebagai rukun Islam ketiga, zakat wajib dibayarkan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat (muzakki) untuk menyucikan hartanya dengan cara menyalurkan zakatnya kepada mustahik (penerima zakat). Zakat ini tidak hanya berfungsi untuk menolong perekonomian mustahik, tetapi juga dapat menjadi instrument penyeimbang dalam sektor ekonomi nasional. Dalam jangka panjang, tujuan utama zakat adalah mentransformasi para mustahik menjadi muzakki. Hal ini menunjukkan bahwa zakat sangat berpotensi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan di suatu negara khususnya di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim yaitu sejumlah 216,66 juta penduduk atau dengan persentase muslim sebesar 85 persen dari total populasi (BPS, 2015). Fakta ini menyiratkan bahwa zakat rnemiliki potensi besar dan dapat berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan. Data zakat, infak, dan sedekah (ZIS) di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat kenaikan jumlah penghimpun zakat dari tahun 2002 hingga 2015. Secara regulasi pengelolaan perkembangan zakat di Indonesia meningkat secara signifikan pada saat UU No. 38/1999 disahkan oleh pemerintah. Berdasarkan UU tersebut, zakat dapat dikelola baik oleh lembaga zakat yang dibentuk pemerintah (Badan Amil Zakat), maupun lembaga zakat yang dibentuk oleh masyarakat (Lembaga Amil Zakat). Namun, perubahan besar pada kerangka regulasi mengenai zakat di Indonesia terjadi saat di gantinya UU No. 38/1999 ini dengan UU No. 23/2011 mengenai Pengelolaan Zakat. Salah satu hal yang cukup penting dalam UU ini adalah adanya aturan mengenai wewenang Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai koordinator pengelolaan zakat nasional.

Kata Hibah berasal dari bahasa Arab yang berarti pemberian. Apabila seseorang memberikan harta miliknya kepada orang lain secara suka rela tanpa pengharapan balasan apapun, dapat diartikan bahwa si pemberi telah menghibahkan miliknya. Karena itu, kata hibah sama artinya dengan pemberian. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan, hibah merupakan salah satu bentuk pemindahan hak milik jika dikaitkan dengan perbuatan hukum. Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan (tabarru) antara sesama manusia bernilai positif. Ulama fiqih sepakat bahwa hukum hibah adalah sunah, berdasarkan firman Allah Swt QS. Al-Baqarah: 177. Hibah secara hukum kedudukannya adalah sunah. Dalam Pasal 692 KHES tentang rukun hibah dan penerimanya. Bahwasanya suatu transaksi hibah dapat terjadi dengan adanya ijab dan kabul, baik lisan ataupun tulisan antara pemberi hibah dan penerima hibah. Selain itu, kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh penerima hibah. Penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa berdasarkan Pasal 714 KHES. Sedangkan harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui. Selain itu, transaksi hibah bisa batal jika salah seorang dari penghibah atau penerima hibah meninggal dunia sebelum penyerahan hibah dilaksanakan ataupun penghibahan tersebut karena adanya paksaan.

Sedekah ialah pemberian sukarela dari seseorang kepada orang lain yang membutuhkan, baik berupa materi maupun non materi, minimal seperti tersenyum kepada sesama muslim. Akan tetapi menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 675 ayat (9) sedekah adalah barang yang diberikan, semata-mata karena mengharapkan pahala. Adapun infak adalah pengeluaran dari harta seseorang setiap kali ia mendapatkan rezeki sesuai dengan yang dikehendakinya. Dengan kata lain, infak pada dasarnya setiap harta yang dikeluarkan seseorang sesuai dengan keinginannya. Salah satu dalil yang menyebutkan tentang infak adalah QS. Al-Baqarah: 3. Landasan hukum dari infak sedekah terdapat di dalam QS. At-Taubah: 60. Terkait infak dan sedekah ini tidak dibahas khusus dalam peraturan perundang-undangan, tapi kata sedekah pun digunakan dan disatukan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pada bagian zakat dan hibah.

BAB X

KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Hukum kewarisan Islam dalam bahasa Arab disebut Al-miras, yaitu bentuk masdar dari kata warisa -- yarisu -- mirasan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi, miras berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Jadi hukum waris adalah salah satu hukum kekeluargaan Islam yang paling penting berkaitan dengan kewarisan. Kematian seseorang itu membawa dampak kepada berpindahnya hak dan kewajiban kepada beberapa orang lain yang ditinggalkannya, yang disebut dengan waras ah, yakni ahli waris dan wali. Dalam beberapa literatur hukum Islam, ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqih mawaris, ilmu faraid, dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur'an dan sunah Nabi. Ayat-ayat A1-Qur'an dan sunah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut terdapat dalam QS. An-Nisaa': 7. Ijtihad para ulama meskipun A1-Qur'an dan Al-Hadis sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur'an maupun al-Hadis. Pada literatur hukum Islam lainnya disebutkan ada 4 sebab hubungan seseorang dapat menerirna harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu 

Perkawinan, 

Kekerabatan/nasab, 

Wala' (memerdekakan budak), dan 

Hubungan sesama Islam. Hubungan Islam yang dimaksud disini terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan pada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal yang akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.

Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah: 

Perbudakan, 

Pembunuhan, dan

Berlainan Agama. 

Rukun dan syarat waris ada 3 yaitu: 

Al-Muwaris (Pewaris): Orang yang meninggal dunia dengan mewariskan hartanya. Syaratnya adalah al-muwaris benar-benar telah meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukmy) atau secara takdiry berdasarkan perkiraan, 

Al-Waris (Ahli Waris): Orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya, ahli waris dalam keadaan hidup pada saat al-muwaris meninggal. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml), dan 

Tirkah: Harta atau hak yang berpindah dari pewaris kepada ahli waris. Harta tersebut dapat dikatakan tirkah apabila harta peninggalan si mayit telah dikurangi biaya perawatan, hutang dan wasiat yang dibenarkan oleh syara' untuk diwarisi oleh ahli waris, atau istilah waris disebut maurus.

Asas hukum kewarisan dalam Islam merupakan ruh yang hidup dalam norma hukum yang bersifat memaksa dan menjadi landasan untuk penerapannya. Asas hukum kewarisan Islam dalam ruang lingkup hukum perdata Islam di Indonesia meliputi beberapa hal yaitu:

Asas Integritas, 

Asas Ta'abbudi, 

Asas Huquq Al-Maliyah, 

Asas Huquq Thabi'iyah, 

Asas Ijbari, 

Asas Bilateral, 

Asas Individual, 

Asas Keadilan, 

Asas Kematian, dan 

Asas Membagi Habis Harta Warisan.

BAB XI

JUAL BELI DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Jual beli dalam bahasa Arab sepadan dengan kalimat ba'i dari kata dasar ba'a-yabi'u-ba'i yang artinya secara bahasa berarti menerima sesuatu dan memberikan sesuatu yang lain. Adapun secara istilah ba'i yaitu saling tukar-menukar harta dengan tujuan kepemilikan. Dari pengertian tersebut terkait jual beli adalah akad pertukaran baik benda maupu harta dengan tujuan kepemilikan, dan selain itu jelas bahwa akad jual beli merupakan akad bisnis (mu'awadhah) yang mengandung imbalan materil sebagai akibat dari transaksi tersebut, berbeda dengan akad sosial (tabarru). Hukum asal jual beli (ba'i) adalah mubah (boleh), namun terkadang hukumnya bisa berubah menjadi wajib, haram, sunah dan makruh tergantung situasi dan kondisi berdasarkan asas maslahat. Dalil yang menjelaskan tentang hukum berasal dari Al-Qur'an, Hadis, Ijma dan logika. Adapun dalil Al-Qur'an terkait jual beli adalah QS. Al-Baqarah: 275.

Untuk memahami konsep dasar akad bisnis dalam wilayah hukuni perdata Islam, perlu dipahami rukun dan syarat yang menjadi unsur sah atau tidaknya sebuah jual beli. Seperti yang disebutkan dalam KHES Pasal 56, bahwa unsur jual beli, yaitu 

Pelaku transaksi atau pihak- pihak, 

Objek transaksi, dan 

Akad (transaksi)/kesepakatan. 

Selain rukun jual beli, ada juga syarat yang hams dipahami dalam jual beli (ba'i). Syarat dalam akad tersebut adalah:

Saling rela antara kedua belah pihak, 

Pelaku akad: baligh, berakal, dan mengerti maksud dari akad, 

Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak, 

Objek transaksi: barang yang dibolehkan agama, barang yang bisa diserahterimakan, dan diketahui oleh kedua belah pihak saat akad, 

Harga harus jelas saat transaksi. 

Bentuk-bentuk jual beli terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya: 

Ditinjau dari sisi objek akad jual beli: tukar menukar uang dengan barang, barang dengan uang, uang dengan uang, 

Ditinjau dari waktu serah terima: tunai, ba'i salam, ba'i ajal, ba'i dain bi dain (utang dengan utang), 

Ditinjau dari cara menetapkan harga: jual beli dengan cara tawar-menawar, jual beli amanah. 

Manfaat dan hikmah yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli adalah:

Antara penjual dan pembeli dapat merasa puas dan berlapang dada dengan jalan suka sama suka dan tidak boleh ada yang dirugikan satu sama lain, 

Dapat menjauhkan seseorang dari memakan atau memiliki harta yang diperoleh dengan cara batil, 

Dapat memberikan naflcah bagi keluarga dari rezeki yang halal, 

Dapat ikut memenuhi hajat hidup orang banyak (masyarakat) dan mengajarkan hidup bermasyarakat (sosial), 

Dapat membina ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan bagi jiwa karena memperoleh rezeki yang cukup dan menerima dengan rida terhadap anugerah Allah SWT, dan 

Dapat rnenciptakan hubungan silaturahmi dan persaudaraan antara penjual dan pembeli.

BAB XII

SEWA DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Menurut bahasa sewa sering pula digunakan istilah ijarah yang artinya ganti dan upah (imbalan). Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atau barang itu sendiri. Sedangkan dalam KHES Buku II Pasal 20 ayat (9) ijarah adalah sewa barang, dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Dasar hukum dari akad sewa dalam Islam yaitu terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 233. Ketentuan lain terkait akad sewa ini terdapat dalam fatwa DSN MUI No.112/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad ijarah ada juga dengan pengembangan akad ijarah mawshufah fi dzimmah dan ijarah muntahiah bitamlik, dan dalam KHES Pasal 251-290 baik terkait akad ijarah murni maupun akad turunannya seperti Ijarah muntahiah bitamlik.

Rukun sewa (ijarah) dalam KHES Pasal 251 yaitu: pihak yang menyewa (mustajir), pihak yang menyewakan (muajir), benda yang diijarahkan (ma'jur) dan akad. Adapun syarat terhadap rukun sewa atau ijarah yaitu 

Mustajir dan muajir: baligh, berakal, dan atas kehendak sendiri, 

Barang atau benda yang disewakan: harus bermanfaat, bukan termasuk barang-barang dilarang oleh agama, harus diketahui jenis, kadar, dan sifatnya, harus tahan lama atau kekal zatnya, dapat diserahkan oleh pemilik barang kepada penyewa, 

Shighat/akad: harus dilakukan sebelum barang yang disewa itu dipergunakan atau dimanfaatkan, tidak disangkut pautkan dengan urusan lain, harus ditentukan waktu sewanya. 

Selain itu, dalam KHES Pasal 261 bahwa uang ijarah tidak harus dibayar apabila akad ijarah batal dan harga ijarah yang wajar atau ujrah al- mitsli yaitu harga ijarah yang ditentukan oleh ahli yang berpengalaman dan jujur. Terkait metode pembayaran jasa penyewaan diatur juga dalam KHES Pasal 263 yaitu berdasarkan pada kesepakatan.

Pada dasarnya sewa menyewa merupakan perjanjian yang lazim, dimana kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian itu tidak boleh saling merusaknya, karena jenis perjanjian tersebut termasuk kepada perjanjian timbal balik. Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan batal atau berakhirnya perjanjian sewa-menyewa adalah: 

Terjadinya aib (kecatatan) pada barang sewaan, 

Rusaknya barang yang disewa,

Masa sewa-menyewa telah habis, 

Adanya uzur. 

Adapun hikmah dari hubungan muamalah dalam bidang sewa-menyewa diantaranya: 

Dapat ikut memenuhi hajat orang banyak, 

Menumbuhkan sikap saling menolong dan kepedulian terhadap orang lain 

Dapat menciptakan hubungan silaturahim dan persaudaraan antara penyewa dan yang menyewakan, 

Dapat saling menguntungkan dengan cara yang baik dan sesuai dengan syariat.

BAB XIII

UPAH MENGUPAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Menurut bahasa upah berarti imbalan atau pengganti, hampir serupa dengan sewa istilah yang digunakan dalam bahasa Arab yaitu sama-sama menggunakan istilah ijarah. Menurut istilah upah adalah mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti atau imbalan menurut syarat-syarat tertentu. Adapun menurut AAOIFI upah mengupah (ijaroh al-asykhosh) adalah mengambil manfaat terhadap seseorang baik jasa maupun pekerjaan antara perusahaan dengan pihak lainnya ataupun seseorang dengan pihak lainnya (penyewa dan yang menyewakan jasa). Dengan demikian yang dimaksud upah adalah memberikan imbalan sebagai bayaran kepada seseorang yang telah diperintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian telah disepakati. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tidak membahas terkait bab upah mengupah, akan tetapi hanya membahas terkait bab ijarah secara umum yang lebih identik dengan sewa-menyewa. Terkait upah mengupah ini juga diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia.

 

Landasan hukum upah mengupah pada dasarnya adalah mubah, dalam Islam terdapat dalam Al-Qur'an dan hadis yaitu terdapat dalam QS. At-Talaq: 6. Untuk mengatur sistem pengupahan di Indonesia, Pemerintah sudah membuat aturan dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, sudah dibuat pula Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-231/MEN/2003. Pada dasarnya rukun dan syarat ijarah dalam hal benda maupun ijarah dalam hal jasa manusia tidak begitu jauh berbeda. Adapun rukun dan syarat upah mengupah adalah: 

Orang yang memberi upah dan menerima upah: baligh, berakal, dan atas kehendak sendiri, 

Objek upah mengupah: harus sesuatu yang diperbolehkan menurut agama (Islam), 

Imbalan sebagai bayaran (upah): tidak berkurang nilainya, harus jelas, bisa membawa manfaat yang jelas, 

Akad (ijab kabul): harus dibuat sebelum pekerjaan itu dikerjakan, tidak boleh disangkut pautkan dengan urusan lain, harus terjadi atas kesepakatan bersama.

Islam memberikan acuan bahwa penyerahan upah dilakukan pada saat selesainya suatu pekerjaan sehingga lebih baik tidak ditunda-tunda. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa upah atau al-ujrah adalah pembayaran atau imbalan yang wujudnya dapat bennacam-macam, yang dilakukan atau diberikan seseorang atau suatu kelembagaan atau instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja dan prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang telah dilakukannya. Dalam syariat Islam hubungan antara pekerja dan pengusaha termasuk dalam transaksi ijarah. Ijarah didefinisikan sebagai aqdu 'ala manfaah bi 'iwadin, aqad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan ajir/pekerja) dengan memperoleh imbalan berupa upah/ujrah dari mustajir/pengusaha). Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan, atau perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Adapun hikmah dari hubungan muamalah dalam bidang upah mengupah selain sebagai bentuk jual beli jasa yang telah Allah halalkan, selain itu dijelaskan di antaranya:

Dapat ikut memenuhi hajat orang banyak dan membuka lapangan pekerjaan, 

Menumbuhkan sikap saling menolong dan kepedulian terhadap orang lain, 

Dapat menciptakan hubungan silaturahim dan persaudaraan antara pengupah dan yang diupah,

Dapat saling menguntungkan dengan cara yang baik dan sesuai dengan syariah.

BAB XIV

SYIRKAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Istilah lain dari kerja sama adalah musyarakah atau syirkah. Secara bahasa berarti al-ikhtilat (percampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih sehingga antara masing-masing sulit dibedakan. Seperti persekutuan hak milik atau perserikatan usaha. Yang dimaksud dengan percampuran adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Syirkah itu pada dasarnya ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha (pemodalan ataupun usaha lainnya), yaitu keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama sesuai proporsi. Hasil keuntungan dalam musyarakah juga diatur, seperti halnya pada mudarabah, sesuai prinsip pembagian keuntungan dan kerugian seperti dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah mengenai bagi Hasil. Keuntungan dibagi menurut proporsi yang telah disepakati sebelumnya, kedua pihak memikul risiko kerugian financial. Dalam hal ini yang menjadi dasar hukum serikat (syirkah) dapat dilihat dalam ketentuan Al-Qur'an dan hadis. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman di dalam QS. Al-Maidah: 2. Persetujuan (taqrir) Nabi SAW terhadap kegiatan kerja sama yang dilakukan oleh masyarakat pada masa itu. Serta ijma ulama sepeninggal nabi tentang mubahnya hukum syirkah. Selain itu, ada fatwa DSN MUI No.114/DSN-MUI/1X/2017 tentang akad syirkah dan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdapat dalam Pasal 134-186 disertai akad turunannya. Rukun syirkah yang harus ada dalam melakukan kerja sama antara dua orang atau lebih adalah:

Aqidaini (dua orang yang melakukan perjanjian syirkah), 

Sighot (Ijab dan Kabul), 

Mahal (tempat atau sasaran dalam syirkah): harta dan pekerjaan. 

Syarat-syarat syirkah dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam: 

Syarat orang (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian serikat atau kongsi itu haruslah: orang yang berakal, baligh, dan dengan kehendak sendiri (tidak ada unsur paksaan), 

Syarat-syarat mengenai modal yang disertakan dalam serikat, hendaklah berupa: modal yang dapat dihargai (lazimnya selalu disebutkan dalam bentuk uang), dan modal yang dijadikan satu oleh masing-masing persero yang, rnenjadi harta perseroan, dan tidak diperbolehkan lagi dari mana asal usul modal itu.

Ulama Syafi'iyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa perkongsian (syirkah) terbagi atas empat macam, yaitu: 

Syirkah Inan, 

Syirkah Mufawadah, 

Syirkah Abdan, 

Syirkah Wujuh.

 Ulama Hanafiah membagi menjadi tiga macam, yaitu: 

Syirkah Amwal, 

Syirkah A'mal, 

Syirkah Wujuh. 

Masing-masing dari ketiga bentuk itu terbagi menjadi mufawadah dan inan. Adapun menurut KHES Pasal 134-135 bahwa syirkah dapat dilakukan dalam 3 bentuk yaitu syirkah amwal, syirkah abdan dan syirkah wujuh. Sedangkan syirkah amwal dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam bentuk syirkah inan, syirkah mufawadhah dan syirkah mudharabah.

BAB XV

MUZARA'AH, MUKHABARAH, DAN MUSAQAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Menurut bahasa Al-Muzara'ah memiliki dua arti, pertama adalah Tharh Al-Zur'ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah Al- Hadzar (modal). Makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah BAB II Pasal 20 muzara'ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk memanfaatkan lahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa muzara'ah adalah suatu usaha atau kerja sama untuk mengerjakan tanah, baik sawah maupun ladang dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dan penggarap tanah bahwa biaya (modal) penggarap tanah ditanggung oleh pemilik tanah dan hasilnya dibagi menurut ketentuan yang telah disepakati bersama serta bibit yang ditanam berasal dari penggarap tanah. Sedangkan Mukhabarah adalah suatu usaha atau kerja sama untuk mengerjakan tanah, baik sawah maupun ladang dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dan penggarap tanah, di mana biaya (modal) penggarapan tanah ditanggung oleh penggarap tanah dan hasilnya dibagi menurut kesepakatan bersama serta bibit yang ditanam berasal dari penggarap tanah.

Secara bahasa musaqah diambil dari kata dasar as-saqyu yang berarti pengairan. Menurut istilah musaqah adalah kerja sama perawatan tanaman seperti menyirami dan sebagainya dengan perjanjian bagi hasil atas buah atau manfaat yang dihasilkan. Adapun pengertian musaqah dalam KHES Bab II Pasal 20 ayat 7 adalah kerja sama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat. Landasan hukum muzara'ah, mukhabarah dan musaqah terdapat dalam hadist Nabi SAW. Bagi hasil dengan sistem muzara'ah itu dibolehkan (mubah). Selain itu, dalam KHES muzara'ah diatur dalam Pasal 211-226. Akad muzara'ah ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dan pemilik lahan pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan petani tidak memiliki lahan pertanian. Oleh sebab itu, adalah wajar apabila antara pemilik lahan bekerja sama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasil yang mereka dapatkan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah musaqah diatur dalam Pasal 222-226 yang menunjukkan bahwa kedudukan hukum musaqah pada dasarnya adalah boleh.

Rukun syarat muzara'ah dan mukhabarah adalah:

Pemilik tanah atau lahan, harus menyerahkan lahan kepada pihak yang akan menggarap, 

Penggarap tanah, dalam hal ini di syaratkan baligh dan berakal (mumayyiz) serta penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan yang diterimanya, 

Tanah garapan, dalam hal ini disyaratkan: jelas dan tidak bermasalah (sengketa), memungkin untuk digarap, 

Modal atau biaya penggarapan (pengolahan tanah), dalam hal ini disyaratkan: jelas nilainya, dapat dimanfaatkan,

Ijab Kabul (Akad): dilakukan atas kesepakatan bersama, tidak ada pihak yang dirugikan, dapat diterima kedua belah pihak. 

Adapun menurut KHES Pasal 211 rukun muzara'ah adalah pemilik lahan, penggarap, lahan yang digarap dan akad. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, muzara'ah terbagi 2 dalam Pasal 215-217 KHES, yaitu Muzara'ah Mutlak dan Terbatas. Menurut KHES Pasal 222 rukun musaqah adalah: 

Pihak pemasok tanaman, 

Pemeliharaan tanaman, 

Tanaman yang dipelihara, dan 

Akad. 

Adapun syaratnya berdasarkan Pasal 223-226 KHES adalah bagi pemilik wajib menyerahkan tanaman kepada pihak pemelihara, sedangkan pemelihara wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya. Pemelihara tanaman disyaratkan memiliki keterampilan untuk melakukan pekerjaannya dan pembagian hasil dari pemeliharaan tanaman harus dinyatakan secara pasti dalam akad. Pemelihara tanaman wajib mengganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.

Masa batal dan berakhirnya muzara'ah, mukhabarah, dan musaqah adalah: 

Masa perjanjian dalam muzara'ah, mukhabarah, dan musaqah telah berakhir sesuai dalam KHES Pasal 221 atau kedua belah pihak menyepakati untuk mengakhiri akad, 

Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad muzara'ah, dapat mengakibatkan batalnya akad itu, 

Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia, akan tetapi dalam Pasal 219 dinyatakan bahwa penggarap berhak melanjutkan akad muzara'ah jika tanamannya belum layak dipanen, meski pemilik lahan telah meninggal dunia, dan ahli waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerja sama muzara'ah yang dilakukan oleh pihak yang meninggal, sebelum tanaman pihak penggarap bisa dipanen, 

Adanya uzur, misalnya tanah garapan terpaksa dijual oleh pemilik tanah, penggarap tanah tidak dapat atau tidak sanggup lagi mengelola tanah, baik karena sakit maupun uzur lainnya.

Hikmah adanya akad muzara'ah, mukhabarah, dan musaqah adalah:

Lahan yang awalnya tidak atau kurang produktif dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, 

Dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang menganggur untuk memelihara serta memberdayakan lahan dan memperoleh hasilnya, 

Lahan yang semula tidak terawat dan tidak terpelihara oleh pemiliknya dapat dipelihara dan dikelola dengan baik, 

Dapat menumbuhkan sikap tolong-menolong dan kepedulian antar sesama manusia, 

Dapat menciptakan hubungan persaudaraan yang baik antara pemilik tanah dan penggarap tanah,

Dapat menciptakan profit secara ekonomi bagi pihak penggarap maupun pemilik lahan.

BAB XVI

MUDHARABAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Secara bahasa mudharabah diambil dari kata al-dharb fi al-Ardh, yang berarti perjalanan untuk berniaga. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Muzammil: 20. Secara istilah, mudharabah berarti seorang malik atau pemilik modal menyerahkan modal kepada seorang amil untuk berniaga dengan modal tersebut, di mana keuntungan dibagi di antara keduanya dengan porsi bagian sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam akad. Sedangkan menurut Pasal 20 KHES mudharabah adalah kerja sama antar pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah. Dasar hukum mudharabah terdapat dalam Al-Qur'an, hadis maupun didukung kaidah lainnya yaitu QS. Al-Muzammil: 20. Dalam konteks hukum, di Indonesia telah ditemukan beberapa produk yang berkaitan dengan mudharabah ini, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia No.07/DSN MUI/2000 tentang pembiayaan mudharabah (Qiradh). Undang-undang pertama yang menyebutkan istilah mudharabah adalah UU Nomor 10 Tahun 2008. Dalam undang-undang ini, mudharabah disebutkan sebagai salah satu bentuk pembiayaan bagi hasil. Yang kemudian hari ini berubah dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Selain itu, akad mudharabah pun diatur dalam KHES dalam Pasal 187-120 tentang Mudharabah.

Rukun mudharabah terdiri dari dua orang yang melakukan akad ('aqidayn) yang terdiri dari pemilik modal (rab al-mal), pengelola modal ('amil atau mudharib), modal (ra's al-mal) dan keuntungan (ribh). Bagi 'aqidayn disyaratkan cakap dalam tawkil dan wakalah, karena melakukan daya upaya dalam urusan rab al-mal. Sedangkan bagi Ra's al-mal ditetapkan empat syarat, yaitu:

Mesti berupa mata uang (nuqud) yang berlaku dalam muamalah, 

Diketahui ukurannya, 

Mesti sesuatu yang hadir bukan berupa utang, 

Diserahkan kepada amil agar dapat berusaha dengan ra's al-mal tersebut. 

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 188 bahwa rukun kerja sama modal dan usaha (mudharabah) adalah:

Pemilik modal, 

Pelaku usaha, 

Akad. 

Dalam Pasal 189 KHES terkait kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan dapat bersifat mutlak/bebas dan muqayyad/terbatas pada bidang usaha tertentu, tempat tertentu dan waktu tertentu. Adapun kerugian usaha dan kerusakan barang dagangan dalam kerja sama mudharabah yang terjadi bukan karena kelalaian mudharib, dibebankan pada pemilik modal.

Masa berakhirnya mudharabah menurut Wahbah al-Zuhayli, yaitu: 

Pembatalan dan larangan tasharruf atau pemecatan, 

Salah seorang yang berakad meninggal dunia, 

Salah seorang yang berakad gila, 

Rab al-mal murtad dari Islam, 

Modal rusak di tangan amil. 

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, masa berakhirnya akad kerja sama mudharabah adalah ketika: 

Apabila waktu kerjasama yang disepakati dalam akad telah berakhir, 

Jika terjadi pelanggaran kesepakatan yang dibuat dalam akad kerja, 

Dapat berakhir jika pemilik modal atau mudharib meninggal dunia atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

BAB XVII

GADAI DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Dalam fiqh muamalah, perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn secara bahasa berarti menahan. Maksudnya adalah menahan sesuatu untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Menurut bahasanya (dalam bahasa Arab), rahn adalah tetap dan lestari, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan. Seperti dikatakan Ni'matun Rahinah, artinya karunia yang tetap dan lestari. Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Dalam Islam ar-rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa. Gadai menurut Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Gadai (rahn) hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-Qur'an, Sunah, dan Ijma. Diantaranya terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 283. Para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh (mubah). Mereka tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur Ulama berpendapat, disyari'atkan pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, beragumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW, terhadap orang yahudi tadi di Madinah. Kebolehan akad gadai diatur juga dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 329-Pasal 369 dan dalam Fatwa DSN MUT Nomor: 25/DSN-MUI/III.2002 tentang Rahn. Dalam Pasal 329 KHES yaitu rukun gadai adalah 

Ijab qabul (sighat), 

Pihak yang menggadaikan (rahn), 

Pihak yang menerima gadai (murtahin), 

Objek yang digadaikan (marhun), 

Hutang (marhun bih). 

Adapun syarat gadai atau rahn, yaitu: 

Syarat yang terkait dengan aqid (orang yang berakad) adalah ahli tasharuf, 

Lafadz ijab qabul dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai, 

Syarat marhun bih (utang): merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berutang, utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu, utang itu jelas dan tertentu, 

Syarat marhun (barang yang dijadikan agunan): boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, bernilai harta dan boleh dimanfaatkan, jelas dan tertentu, milik sah orang yang berutang, merupakan harta yang utuh, boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.

Pembatalan akad gadai dapat dilakukan apabila harta gadai belum dikuasai oleh penerima gadai. Ataupun penerima gadai dengan kehendaknya sendiri membatalkan akad gadainya. Akan tetapi, pemberi gadai tidak dapat membatalkan akad gadainya tanpa persetujuan dari penerima gadai, pada intinya harus ada kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, dalam Pasal 340 poin (2) penerima gadai boleh menahan harta gadai setelah pembatalan akad gadai sampai utang yang dijamin oleh harta gadai itu dibayar lunas. Dalam Pasal 363-364 KHES bahwa apabila telah jatuh tempo, pemberi gadai dapat mewakilkan kepada penerima gadai atau penyimpan atau pihak ketiga untuk menjual harta gadainya. Apabila jatuh tempo, penerima gadai harus memperingatkan pemberi gadai untuk segera melunasi utangnya. Apabila pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya maka harta gadai dijual paksa melalui lelang syariah. Hasil penjualan harta gadai digunakan untuk melunasi utang, biaya penyimpanan dan pemeliharaan yang belum dibayar serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik pemberi gadai dan kekurangannya menjadi kewajiban pemberi gadai. Pasal 365 KHES disebutkan, jika pemberi gadai tidak diketahui keberadaannya, maka penerima gadai boleh mengajukan kepada pengadilan agar pengadilan menetapkan bahwa penerima gadai boleh menjual harta gadai untuk melunasi utang pemberi gadai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun