Mohon tunggu...
Muhamad Misbah Al Amin
Muhamad Misbah Al Amin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi Hukum Pidana Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia: Tantangan dan Peluang

8 Maret 2023   09:08 Diperbarui: 8 Maret 2023   09:09 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan, dan 

Tidak diketahuinya berapa kali terjadinya peristiwa talak dan rujuk yang akan berakibat pada keabsahan perkawinan tersebut jika menyalahi aturan.

Isbat nikah secara bahasa adalah penetapan perkawinan. Adapun secara istilah, yaitu menetapkan melalui pencatatan bagi perkawinan atau pernikahan yang belum tercatatkan atau karena sebab lain yang telah ditentukan dalain peraturan terkait. Terkait isbat nikah tidak ditemukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Namun ada dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (2) dan (3) dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Isbat nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: 

Dalam rangka penyelesaian perceraian,

Hilangnya akta nikah, 

Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, 

Perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan 

Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No.1/1974. Setidaknya terdapat dua alasan Pengadilan Agama dapat menerima dan memutus perkara isbat nikah terhadap perkawinan pasca berlakunya Undang-Undang Perkawinan.

Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit, yakni hakim dianggap mengetahui hukum isbat nikah, dan asas kebebasan hakim untuk menemukan hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak terdapat peraturan hukumnya (rechtsvacuum). Kedua, pendekatan sosiologis yang mendorong hakim menganalis suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran teleogis (penafsiran sosiologis) terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang (living law) di masyarakat.

BAB VI

PERCERAIAN, POLIGAMI & HARTA BERSAMA DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun