Â
Laki-laki itu terkejut. Sebuah suara lembut bergema terdengar tak jelas dari mana arahnya. Ia melirik ke kiri-ke kanan, berbalik, melihat ke atas dan ia tak menemukan siapapun. " Si...siapa, Anda?" suaranya gemetar dan sepertinya ia mau menangis. "Di mana saya..?"
Â
Sebenarnya pertanyaan terakhir menurutnya  tak ada gunanya.
Â
 "Engkau berada di rumah, Anakku."
Â
Jelas, Ini bukan rumahnya. Tak ada ruangan di rumahnya yang akan ia  berwarna putih. Itu warna mengerikan baginya. Kalau saja ia sekarang berada di suatu tempat yang  akrab dan nyaman, di dunianya,  laki-laki itu akan menertawai selera tuan rumah mengenai warna pilihannya.  Tapi yang ia lakukan hanya  menelan ludah. Kerongkongannya benar-benar kering. Ia. takut,  panik dan....apa saja yang tak ia senangi. " Di mana saya..?" ujarnya gemetar, " Kenapa ini bisa terjadi, Tuhan? Kenapa?"
Â
Tangisnya pecah begitu saja. Rasa pilu dan sedih yang mendalam -- yang tak pernah ia rasakan sebelumnya -- menghujam deras di ulu hatinya. Kenangan tentang pengalaman yang pernah ia jalani  tiba-tiba membuat ia merindukan hal-hal sederhana : minum kopi, memandang Barasi, istrinya atau sekedar duduk di teras sambil membaca koran. Ia merindukan itu.  Semuanya.
Â