Sementara tiket kereta ekonomi bersubsidi, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, selalu habis. Sejak kebijakan yang memungkinkan tiket ekonomi dibeli pada H-90 hari, sulit sekali mendapatkan tiket jika kita membelinya go show, alias hari itu juga. Tak hanya saat akhir pekan, bahkan tengah minggu pun tiket kereta ekonomi bersubsidi kerap kali ludes terjual.
Lagipula, kereta itu kan beda dengan pesawat. Di beberapa stasiun yang dilewati, kereta akan berhenti untuk menjemput & menurunkan penumpang. Sementara satu tempat duduk untuk satu kereta di waktu yang sama tidak bisa dijual untuk 2-3 orang yang berbeda. Jadi sangat mungkin, ketika di survei di stasiun awal, seperti Stasiun Senen, gerbong tidak penuh terisi. Padahal dalam perjalanan, semua gerbong penuh.
3. “Subsidi kereta jarak jauh selama ini tidak tepat sasaran”.
Saya sama sekali tidak paham maksud pernyataan tersebut. Apakah maksudnya selama ini kereta jarak jauh, termasuk kelas bisnis & eksekutif, disubsidi pemerintah? Atau maksudnya yang naik kereta ekonomi harus masyarakat yang benar-benar miskin?
Kalau iya, bagaimana nasib para pekerja yang tiap akhir pekan harus mudik untuk kumpul keluarga? Bisa jatuh miskin mereka jika tiap minggu harus naik kereta non-subsidi pulang-pergi. Belum lagi para mahasiswa yang kuliah di kota atau provinsi berbeda. Juga mereka yang harus bolak-balik berobat ke rumah sakit rujukan di kota besar.
Apakah menurut Kemenhub subsidi tarif kereta api hanya diberikan bagi mereka yang masuk kategori miskin dan sangat miskin?
Setahu saya subsidi kereta ekonomi kan tidak bisa disamakan dengan subsidi BBM. Subsidi angkutan massal adalah kewajiban pemerintah sebagai bentuk pelayanan terhadap kebutuhan transportasi rakyat banyak. Jadi, subsidi diberikan pada moda transportasi, bukan pada individu.
Dalam hal ini subsidi hanya diberikan pada kereta kelas ekonomi, yang memiliki standar pelayanan minimal, seperti yang tertera pada UU No 23 tahun 2007 tentang perekeretapian. Bagi mereka yang butuh pelayanan super nyaman, bangku empuk, ruang duduk luas dan waktu tempuh lebih cepat, ya monggo pilih kelas bisnis dan eksekutif yang lebih mahal.
Bukan begitu ya Pak logikanya?
4. Jika Kemenhub menganggap kereta ekonomi yang disubsidi tidak laku (lihat poin 2), lalu bagaimana mungkin Wamenhub bisa merasa optimis bahwa kebijakan menaikkan harga tiket kereta ekonomi tidak akan berpengaruh dan kereta api akan tetap menjadi pilihan transportasi masyarakat?
Bukankah ini dua pendapat yang bertentangan ya Pak? Pernyataan ini membuat saya jadi semakin bertanya-tanya, sebenarnya ada apa sih di belakang kebijakan ini?