Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Harapan

9 Februari 2024   21:31 Diperbarui: 9 Februari 2024   21:33 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harapanku untuk hidup bersamamu sama dengan harapanku menjadi pahlawan. Harapan kekanak-kanakkan, siapakah yang akan memberitahukan? Padaku, di saat itu?

Aku adalah atlet pencak silat di kampus. Namaku Derren. Seminggu sekali, setiap akhir pekan, aku berlatih di aula sekolah. 

"Hadapi aku, Soni. Kali ini kau pasti kalah." 

"Benarkah?" 

Sabung siang ini ternyata kumenangkan dengan tidak mudah. Soni salah satu teman, sahabat, sekaligus rival tidak begitu saja memberi kemudahan. Beberapa pukulan tepat mengenai ulu hati. Nyeri dan pedih terasa di kedua pipi, pukulannya begitu kuat sehingga pelindung kepala tak mampu meredam serangannya. 

"Sip." Jempol kanannya mengarah kepadaku. Gadis berambut panjang sebahu itu tak pernah absen. Setiap kali aku berlatih dia selalu ada di pojok aula, sendiri. Ialah Rency, teman masa kecil yang terpisah saat lulus SD karena kakeknya pindah ke kota lain dan kini kita sekampus. Rency yatim piatu sejak berusia dua tahun, kedua orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan.

"Harusnya tak sesusah ini," kataku lirih. 

"Ahh, kau terlalu banyak mengeluh." Ia melemparkan handuk kecil dan pergi meninggalkanku begitu saja. 

Seperti biasa, kampus sedikit kosong setiap akhir pekan. Tetapi entah apa yang membuatnya selalu ke kampus, apakah khusus untuk melihatku berlatih atau hanya sekedar mengisi kekosongan hari-harinya?

***

Aku ingin sekali mengumpulkan orang-orang bodoh, termasuk diriku sendiri. Lalu melemparkannya ke sungai. 

Kesempatan selalu diberikan Tuhan, tetapi satu saja keberanian tak kumiliki. Ketika siang ini untuk pertama kalinya kami pulang bersama dari kampus. Bus kota yang penuh di hari-hari sibuk membuat kita dekat, begitu dekat sehingga detak jantung bisa terdengar satu sama lain.

"Kalau lagi berdua, harus ngapain aja," bisik hatiku. "Entahlah ...."

Tiba-tiba bus kota berhenti. Ada anak kecil menyeberang jalan sembarangan sehingga kita yang tidak mendapatkan tempat duduk, saling bertumpu. Tanpa kusengaja satu kecupan bibir mendarat di keningnya. 

"Maaf."

"Eh." Rency mengangguk malu.

"Seperti ini akan lebih aman." Kuambil tangan kanannya dari pegangan bus, kugenggam erat. Pegangan bus tidak nyaman untuk ukuran tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Rency mengiyakan saja. Jarak kita semakin dekat, detak jantungku sendiri menjadi begitu berbahaya, jika tiba-tiba berlompatan dan hal itu diketahui olehnya.

***

Keesokan harinya.

Pagi yang begitu dingin, padahal kemarin begitu hangat. Rency terus berjalan melewatiku menuju gerbang kampus. Sama sekali tak dihiraukan pesan di secarik kertas yang kuselipkan pada lembaran ujian tadi. 

[Aku ingin bicara berdua denganmu, sepulang kuliah nanti, aku suka kamu.]

Ini adalah pernyataan cinta yang pertama bagiku. Bagaimana ini? Tidak hanya ia jawab, bahkan untuk berbicara saja tidak. "Bodoh banget, seenaknya berharap." 

Kuputuskan untuk mengubur perasaan dalam-dalam. Kenapa harus menjadi sepasang kekasih, jika menjadi sahabat sudah cukup menyenangkan?

Kulangkahkan kaki keluar dari gerbang kampus. Belum jauh kaki melangkah tampak kerumunan orang, dengan seorang gadis tengah duduk di trotoar. 

"Rency." 

Kulihat wajahnya pucat berkeringat, menahan sakit. Dari cerita orang-orang ia terjatuh ketika sedang berjalan sendirian. Sebenarnya tidak sekali ini saja kulihat ia terjatuh, ketika berjalan, membawa makanan di kantin, menuang air minum ke gelasnya. Kecerobohan kecil sering dilakukannya. Tak jarang sering ditertawakan mahasiswa yang lain. 

Ia menunduk seraya menahan sakit. 

Darah di lututnya kubersihkan dengan saputangan, meskipun lelaki, ibu selalu memaksa tuk membawanya dan kali ini ada gunanya juga.

"Apa kamu perlu ke dokter?"

"Ah tidak, Ini hanya lecet biasa."

Kita kembali pulang bersama. Sebelum pulang kita singgah di taman kota, duduk di bangku kayu. Tuhan rupanya memberiku kesempatan kedua untuk bicara dengan situasi yang berbeda. 

Ingin kukatakan sekali saja, tentang Rency.

Aku menyukainya. 

Tiba-tiba angin berhembus, menerbangkan dedaunan kering di taman itu. Semua menjadi sunyi, yang terdengar hanya suara detak jantung kita berdua. Ia cukup lama terdiam, menunduk menatap tanah tempatnya berpijak. 

"Walau hanya sekali alangkah menyenangkannya mendengar ia bilang suka padaku," bisik hatiku. 

Cukup lama tak ada yang memulai bersuara. Kita membisu, sampai suara klakson menyadarkan kita.

Akhirnya aku tak perlu mengatakannya. 

Kutarik tangannya, segera kuajak berjalan. Tanpa terasa hari sudah mendekati senja. 

**

"Mana ada suka atau semacamnya?" 

Tiba-tiba ia bersuara di tengah himpitan penumpang bus. 

"Eh,"

"Aku ini seperti dikutuk. Berjalan, berlari, membawa makanan, menuang minuman, duduk selalu tidak pada tempatnya."

"Tak apa. Itu menarik," kataku menghentikan kerisauan hatinya.

"Ketika kamu berjalan, berlari, sedang makan, dan juga kesal. Bagiku itu menarik. Aku menyukai semua." 

Kubawa telapak tangannya ke dalam genggaman. Kali ini tatapannya tepat menghujam ke retina mataku, terasa lebih menegangkan daripada pertandingan 'sabung' setiap minggu.

"Bahkan diriku sendiri berpikir, aku menyukai gadis yang aneh."

Hiks ....

Ia menangis, dua bening air mata jatuh.

"Eh ...," bisikku bingung.

"Menyukaiku? Darren menyukaiku? Darren atlet idola cewek-cewek sekampus menyukaiku?" 

"Eh, Rency jangan menangis." 

Tawa lirih keluar dari bibirku, melihat rona wajahnya mulai berubah. Senyum di antara lelehan air mata sudah cukup mewakili satu kata yang tak pernah ia ucapkan, bahwa ia pun memiliki rasa yang sama. 

"Bagaimana kalau kita makan es krim, nanti malam. Aku tahu tempat makan es krim yang enak." 

"Oke." Ia mengangguk cepat. 

Genggaman tangan ini terasa semakin erat dan hangat. Kebisingan suara bus kota, suara kondektur yang fals, teriakan marah penumpang yang diberhentikan jauh dari halte tujuan, sama sekali tak mengusik kebahagiaan kami. 

***

Kebahagian-kebahagian tak sabar untuk kita cecap berdua. Meskipun kecerobohan kecil sering hadir di antara kita dan hal itu membuatnya begitu menarik untuk kupelajari.

Sampai siang itu, ketika ia terjatuh di dalam rumah saat mengambil sebotol minuman untukku. Kedua kakinya tak bisa lagi bergerak, aku dan kakeknya berusaha membantu berdiri. Namun tetap saja tidak bisa. 

"Kenapa? Kakiku tidak bergerak?"

"Apakah itu sakit?"

"Ah ...." Ia hanya meringis kesakitan.

Dokter cukup lama memeriksanya. Cemas memenuhi ruang hati dan pikiranku. 

"Bagaimana hasilnya?" 

Kakek Rency tertunduk dan keluar ruangan dokter.

"Semua baik-baik saja. Apa yang perlu dikhawatirkan?" katanya sambil terus berjalan.

"Nih, aku bisa berjalan dan bahkan berlari." 

Seperti anak kecil yang baru sembuh, ia berlari keluar rumah sakit dan menari di bawah guyuran hujan. 

"Ia memang selalu menarik," pikirku.

***

Untuk kedua kalinya Rency tidak dapat menerima stopwatch yang kuberikan. 

"Hei, kau baik-baik saja kah?" 

"Bisa jadi." Ia berjalan dengan santai.

Kutatap punggungnya menjauh. Fokus pertandingan tiba-tiba hilang, berkali-kali pukulan lawan tidak dapat kuhindari. Dari tempat berlatih pandanganku tak lepas darinya. Sesekali gadis itu tampak menunduk; murung dan kembali tersenyum ketika menyadari gerak-geriknya kuawasi. 

***

"Bagaimana dengan kondisimu?"

"Baik-baik saja seperti yang kau lihat." 

Ia kembali menari mengitariku dengan terus saja menyanyi. Tak tampak sesuatu yang salah dengannya, namun demikian sebagai orang yang menyayanginya kurasa ada sesuatu yang disembunyikannya.

"Benarkah?"

"Darrenku, seorang pencemas sejati rupanya?"

"Aku ... merasakan keanehan?" Kupeluk tubuhnya erat-erat.

"Bukankah keanehan diriku inilah yang membuatmu tertarik?" jawabnya dengan membalas pelukkan erat dariku.

"Aku ... merasa bukan menjadi diriku sendiri, ketika bersama Rency."

Rasa khawatir, kecemasan, sayang, inginnya perlindungan membuat kita berdua lupa sedang berada di mana. Aula tempat latihan mendadak begitu hangat, bunga-bunga tumbuh di kanan-kiri. Kucium bibirnya lembut, dan ia pun membalas. Entah keberanian dari mana yang membuatku melakukannya untuk pertama kali, kurasa pun demikian dengannya. Mata yang terpejam menampakkan kepolosan Rency yang unik, sedikit aneh, dan kucintai. Ia tersenyum manis, senyum yang terakhir kalinya sebelum ia terjatuh dan dua kakinya lemas tak berdaya. 

"Ah, kakiku. Tak bergerak."

"Maaf."

"Apakah itu sakit sekali."

"Ah, tak apa karena Darren. Adalah kekasihku."

Itu terakhir kali aku melihatnya. Sebelum kakeknya membawa ke Amerika guna pengobatan. Dia didiagnosa dokter mengidap suatu penyakit neuroleptik yang berbeda. 

ALS(amyotrophic lateral sclerosis)  Sederhananya penyakit yang menyebabkan tubuh tidak bisa bergerak, hal ini disebabkan sinyal otak tidak dikirim ke otot dengan benar.1 dari 100.000, penyakit ini ditetapkan pemerintah sebagai penyakit yang berbahaya dan langka. 

Dengan gejala awal seperti yang dialaminya, menjatuhkan barang tanpa sengaja, kesulitan menangkap benda dengan jarak dekat, berdiri dengan benar. Secara bertahap gerakan, berbicara, mengingat melemah, bahkan akan mengalami kesulitan untuk makan. Pada akhirnya pasien akan sulit bernapas dengan sendirinya. 

Belum ada pengobatan dengan pasti hingga saat ini ....

****

Dari siang itu tiga bulan telah berlalu. Di bus kota yang lengang, aku duduk seorang diri. Kuambil sebuah notebook dari dalam tas. 'Kan kutulis apa saja yang kumau.

Aku sering sekali ingin berkencan dengan Rency

Akan kubelikan kado teristimewa untuk kakek

Melihatnya berlari, menari, mengitariku di bawah deras hujan

Melihatnya banyak makan

Aku ingin merayakan ulang tahun Rency dengan makan es krim di toko langganan

Menatapnya melakukan kegaduhan dengan mata cemas yang kumiliki

Memakai baju toga berbaris rapi sebagai simbol kelulusan 

Aku ingin melihatnya mengenakan gaun pernikahan 

Berdiri disampingku dan berkata,

"Semua tak seindah yang kaulihat. Selain daripada cintaku."

Bus kota berhenti, dan aku pun berhenti menulis. Namun tidak akan pernah berhenti untuk menunggu satu persatu dari seribu harapanku terwujud.

Hujan tiba-tiba turun. Setiap orang yang ada di jalan menepi, mencari tempat berteduh. Namun tidak denganku, dersik angin membawa nyanyian hujan sampai ke telinga.

Aku berdiri, dengan merentangkan dua tangan. Kurasakan keberadaannya, ia menari; mengitariku. Senyum wajah polos masih selalu memberi ketenangan. 

"Aku menyukaimu ...," bisiknya lirih.

Tampak ia tersenyum, melambaikan tangan lalu pergi menjauh.

 

"Mencintaimu adalah satu dari seribu harapanku."

Surabaya, 28 Juni 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun