"Baik-baik saja seperti yang kau lihat."Â
Ia kembali menari mengitariku dengan terus saja menyanyi. Tak tampak sesuatu yang salah dengannya, namun demikian sebagai orang yang menyayanginya kurasa ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Benarkah?"
"Darrenku, seorang pencemas sejati rupanya?"
"Aku ... merasakan keanehan?" Kupeluk tubuhnya erat-erat.
"Bukankah keanehan diriku inilah yang membuatmu tertarik?" jawabnya dengan membalas pelukkan erat dariku.
"Aku ... merasa bukan menjadi diriku sendiri, ketika bersama Rency."
Rasa khawatir, kecemasan, sayang, inginnya perlindungan membuat kita berdua lupa sedang berada di mana. Aula tempat latihan mendadak begitu hangat, bunga-bunga tumbuh di kanan-kiri. Kucium bibirnya lembut, dan ia pun membalas. Entah keberanian dari mana yang membuatku melakukannya untuk pertama kali, kurasa pun demikian dengannya. Mata yang terpejam menampakkan kepolosan Rency yang unik, sedikit aneh, dan kucintai. Ia tersenyum manis, senyum yang terakhir kalinya sebelum ia terjatuh dan dua kakinya lemas tak berdaya.Â
"Ah, kakiku. Tak bergerak."
"Maaf."
"Apakah itu sakit sekali."