Aku ingin sekali mengumpulkan orang-orang bodoh, termasuk diriku sendiri. Lalu melemparkannya ke sungai.Â
Kesempatan selalu diberikan Tuhan, tetapi satu saja keberanian tak kumiliki. Ketika siang ini untuk pertama kalinya kami pulang bersama dari kampus. Bus kota yang penuh di hari-hari sibuk membuat kita dekat, begitu dekat sehingga detak jantung bisa terdengar satu sama lain.
"Kalau lagi berdua, harus ngapain aja," bisik hatiku. "Entahlah ...."
Tiba-tiba bus kota berhenti. Ada anak kecil menyeberang jalan sembarangan sehingga kita yang tidak mendapatkan tempat duduk, saling bertumpu. Tanpa kusengaja satu kecupan bibir mendarat di keningnya.Â
"Maaf."
"Eh." Rency mengangguk malu.
"Seperti ini akan lebih aman." Kuambil tangan kanannya dari pegangan bus, kugenggam erat. Pegangan bus tidak nyaman untuk ukuran tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Rency mengiyakan saja. Jarak kita semakin dekat, detak jantungku sendiri menjadi begitu berbahaya, jika tiba-tiba berlompatan dan hal itu diketahui olehnya.
***
Keesokan harinya.
Pagi yang begitu dingin, padahal kemarin begitu hangat. Rency terus berjalan melewatiku menuju gerbang kampus. Sama sekali tak dihiraukan pesan di secarik kertas yang kuselipkan pada lembaran ujian tadi.Â
[Aku ingin bicara berdua denganmu, sepulang kuliah nanti, aku suka kamu.]