Harapanku untuk hidup bersamamu sama dengan harapanku menjadi pahlawan. Harapan kekanak-kanakkan, siapakah yang akan memberitahukan? Padaku, di saat itu?
Aku adalah atlet pencak silat di kampus. Namaku Derren. Seminggu sekali, setiap akhir pekan, aku berlatih di aula sekolah.Â
"Hadapi aku, Soni. Kali ini kau pasti kalah."Â
"Benarkah?"Â
Sabung siang ini ternyata kumenangkan dengan tidak mudah. Soni salah satu teman, sahabat, sekaligus rival tidak begitu saja memberi kemudahan. Beberapa pukulan tepat mengenai ulu hati. Nyeri dan pedih terasa di kedua pipi, pukulannya begitu kuat sehingga pelindung kepala tak mampu meredam serangannya.Â
"Sip." Jempol kanannya mengarah kepadaku. Gadis berambut panjang sebahu itu tak pernah absen. Setiap kali aku berlatih dia selalu ada di pojok aula, sendiri. Ialah Rency, teman masa kecil yang terpisah saat lulus SD karena kakeknya pindah ke kota lain dan kini kita sekampus. Rency yatim piatu sejak berusia dua tahun, kedua orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan.
"Harusnya tak sesusah ini," kataku lirih.Â
"Ahh, kau terlalu banyak mengeluh." Ia melemparkan handuk kecil dan pergi meninggalkanku begitu saja.Â
Seperti biasa, kampus sedikit kosong setiap akhir pekan. Tetapi entah apa yang membuatnya selalu ke kampus, apakah khusus untuk melihatku berlatih atau hanya sekedar mengisi kekosongan hari-harinya?
***