"Jangan pergi lagi dariku." Anggukan Ais meyakinkan pendengaranku, bahwa tak ada yang salah di telingaku.
"Apa?" tanyaku.
"Sudahlah, terima kasih." Senyum kuhadiahkan kepadanya.
Kita berjalan beriring. Seperti kata orang, terkadang satu kalimat cinta tak cukup untuk mengungkapkan segala perasaan. Saat ini yang sedang kulakukan kepadanya hanyalah saling menjaga.
Hijau dedaunan, embusan angin menghadirkan gemerisik suara ranting-ranting kering. Â Matahari mulai beranjak ke peraduan, semburat merah menandakan bahwa hari mulai senja.
"Kami harus pergi," kata pemuda yang biasa kulihat bersama Arin di dalam bayangan.
"Kalian? Kalian akan membawa pergi seseorang lagi." Ais bersuara tegas.
"Kami tidak akan membawa siapapun, kami cuma tak ingin dilupakan."
"Tak ingin dilupakan?" Aku bersuara.
"He'eh, kami hanya ingin kalian ingat bahwa kisah cinta kita pernah ada di sini."
Setelah berkata pemuda itu berjalan menjauh, lalu menghilang. Semenjak kejadian itu Arin tak pernah menemuiku lagi. Tak ada yang berbeda dengan sekolah ini. Rutinitas sekolahan, teman-teman bermain dan bercanda, masih sama. Hanya yang berbeda adalah, aku tidak lagi bermain gitar seorang diri. Di ruang kesenian, Aula, dan di bawah pohon belakang sekolah menjadi satu-satunya kegiatan di luar pelajaran semenjak hari pertama kujejakkan kaki di sekolah ini.