"Kamu tahu kenapa aku mengajakmu ke sini," tanyanya sekali lagi.
"Em ...," aku menggeleng kembali.
"Suara gemericik air menimpa bebatuan, kupu-kupu dengan siraman cahaya. Merupakan tempat singgah para peri, dan jika kita berada di sini, ikut bersama mereka menjadi cahaya."
"Ayo peluk aku. Kita akan bersama mereka selamanya." Kedua tangan Arin terulur kepadaku.
Aku tak tahu apa yang menggerakkannya tiba-tiba kedua tanganku telah menyambut uluran tangannya.
"Seru kan, tangan ini adalah satu ikatan. Tak akan terputus, bila hati kita terhubung. Aku sering bermain bersamanya di sini."
"Tapi aku bukanlah orang yang kau maksud." Kulihat wajah Arin berubah sendu. Kilat-kilatan kecil di sudut matanya terlihat jelas karena pantulan sinar matahari.
"Tak apa ... aku hanya ingin dipikirkan, diingat," katanya pelan, "dan kamulah orang yang selalu mengingatku."
"Entahlah, aku tidak tahu."
"Aku tahu," sergahnya. "Kamulah yang selalu menemukanku. Ayo, pergi bersamaku."
"Kamu sangat menyayanginya, tapi aku bukan dia," tegasku sekali lagi.