"Kamu salah, pemuda di foto itu bukan aku. Aku adalah aku, bukan yang di foto itu."
Satu butir air mata jatuh di pipiku, aku tak peduli jika Arin melihatku cengeng. Karena sesungguhnya berat apa yang harus kukatakan selanjutnya.
"Namun gadis yang di foto adalah kamu, kamu berasal dari dunia lain. Kamu sudah mati," teriakku
Arin menatapku tajam. Kedua bibirnya mengatup rapat, entah apa yang saat ini ada di dalam pikirannya. Sekilas ada rasa marah, namun rasa sayang masih lebih besar dari kemarahannya itu.
Arin mengambil kedua tanganku lalu berkata, "ayo ikut aku. Banyak yang harus kita lewati berdua."
"Ke duniamu?" tanyaku.
"Ayo ...." Arin menarik saja kedua tanganku. Mengajakku berlari menuju halaman belakang terus keluar menjauhi sekolahan. Melewati semak belukar dan beberapa pepohonan. Hingga sampai di sebuah taman dengan banyak bunga dan kupu-kupu, suara gemericik air menimpa batu, kami berhenti. Entah saat ini aku berada di mana.
"Aku ingin kau mengobati rasa rinduku." Arin kembali bersuara.
"Kamu tahu kenapa aku selalu ada di sini."
Aku menggeleng mendengar pernyataannya.
"Karena selalu menunggunya di sini, dengan mengamati jarum jam mengukir waktu."