Rumah makan Delima tidak butuh waktu lama untuk terkenal. Racikan bumbu dan skil memasak yang ia miliki mengantarkan ia pada sebuah keberuntungan.
Sekali lagi, nasib baik datang di penghujung kisah hidupnya. Sebagaimana amanat Buya yang diterima, Bersedekahlah! Bahar tidak pernah menyimpan uangnya, kecuali untuk niat berhaji. Itupun hanya 10 ribu perhari.
Sisanya ia sedekahkan dan memberi makan siapa saja yang mampir di rumah makan miliknya. Tak terhitung, dari pengamen sampai peminta-minta rajin menghampiri warung nasinya.Â
Tidak perduli siapa mereka, Bahar akan selalu melayani dengan sabar dan tanpa meminta bayaran. Itulah Bahar, lelaki paruh baya yang berhasil merubah siapapun yang berada didekatnya.
Tak terkecuali kota terakhir persinggahannya, semua orang mengenal Bahar sebagai seorang pemurah, ta'at beragama dan tak segan membantu siapapun.Â
Sampai tabungan yang Bahar kumpulkan selama tujuh tahun untuk naik haji ia serahkan pada dua orang yang tidak sengaja meminta belas kasihnya.Â
Bahar menyerahkan semua tabungannya untuk menyewa sebuah rumah demi anak-anak yatim. Niat berhaji pun hilang, namun ia tidak pernah menyesal.Â
Baginya, membantu orang lain adalah harga mati. Apapun konsekuensinya akan dilakukan.Â
Itulah Bahar, seorang santri istimewa yang penuh misteri. Akhir hayatnya sungguh indah.Â
Bahar meninggal dalam keadaan bersujud di shalat subuh terakhirnya.Â
Kabar meninggalnya Bahar tersiar cepat. Semua tetangga datang membesuk, ribuan membesut jenazahnya untuk terakhir kali. Kebaikannya datang menghampiri dalam wujud ribuan orang asing.Â