Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A devoted researcher with regards to foreign languages, memory, and cognitive function

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Santri Pendosa yang Mengajarkan Makna Kehidupan

25 Desember 2023   12:11 Diperbarui: 25 Desember 2023   15:14 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Janji, Tere Liye: ILustrasi|www.Freepik.com

Kemarin saat hendak membeli buku untuk anak, mata saya tertuju pada sebuah novel berjudul "Janji". Lama sudah saya tidak membeli sebuah novel.

Tanpa berpikir panjang, saya memutuskan untuk membeli novel karya Tere Liye tersebut. Sudah lama saya ingin membaca setidaknya satu saja novel dari penulis fenomenal ini. Pasti isinya menarik dan penuh pelajaran berharga.

"241 ribu, pak" ucap resepsionis ketika hendak membayar.

"ok, transfer saja ya, buk". Saya menyelesaikan pembayaran. Total 6 buku cerita anak dan satu novel yang belum sepenuhnya saya tahu alur ceritanya. Hanya  sebuah insting mengarahkan saya untuk mengambilnya.

Tiba di rumah, saya mulai membuka halaman pertama. Cukup menarik! ujar saya dalam hari. Tere Liye memang pintar memainkan perasaan dan rasa ingin tahu akan kelanjutan cerita. 

Novel Janji mengisahkan lika-liku kehidupan tiga orang anak yang mengenyam pendidikan di sebuah sekolah agama. Tiga anak ini berasal dari latar belakang keluarga yang kurang "beruntung".

Orang tua mereka memilih untuk menempatkan mereka di sebuah sekolah agama berasrama yang terletak jauh dari hiruk pikuk duniawi. Tujuannya satu, agar anak-anak ini tidak "merepotkan" orang tua. Cara mudah yang ampuh!

Ya, cap nakal melekat pada ketiga anak ini. Inilah alasan kuat mereka 'dilempar' kesini agar kelak bisa lebih baik. Padahal, dibalik semua itu orang tua mereka juga bermasalah karena tidak mampu mendidik anak dengan baik.

Perjalanan ketiganya menuntut ilmu di pondok tidaklah semulus harapan orang tua mereka. Berbagai macam tindakan usil sudah mereka lakukan dengan rentetan hukuman dari para guru.

Sampai suatu ketika, mereka melakukan kesalahan fatal, yaitu sengaja menabur garam ke minuman tamu penting pimpinan pondok. Sebenarnya, tidak ada yang mengetahui perbuatan mereka, namun Buya, sang pimpinan pondok,  dapat membaca gerak gerik perilaku nakal muridnya. 

Singkat cerita, mereka bertiga dipanggil dan diminta untuk mengakui apa yang sudah diperbuat. Ketiga anak ini pada awalnya tidak ingin mengakui perbuatan jahil mereka.

Buya berhasil memandu mereka untuk mengakuinya. Apa boleh buat, salah satu dari mereka terpaksa segera berkata jujur. 

Walaupun dicap sebagai santri paling nakal di pondok, Buya berjanji tidak akan mengeluarkan mereka dan memberi satu hukuman yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh ketiga bocah ini.

"kalian bertiga saya tugaskan untuk mengemban satu misi yang belum diselesaikan ayahku" begitulah pinta Buya.

Buya mulai bercerita jika dulunya ada seorang murid yang sangat nakal, bahkan melebihi kenakalan yang sudah diperbuat ketiga santri ini.

Nama lengkapnya Bahar Safar, seorang anak yatim piatu yang diantar neneknya untuk mengenyam pendidikan di pondok yang dikelola Buya puluhan tahun silam. 

"jika kalian bisa menyelesaikan misi yang diamanahkan ayahku, maka kalian saya anggap telah menyelesaikan sekolah disini dan saya ijinkan pergi" tambah Buya meyakinkan.

Ketiga anak ini merasa senang. Bukan tanpa alasan tentunya, sudah lama mereka ingin keluar dari pondok karena tidak betah dengan aturan. Itu juga alasan mengapa mereka terus menerus berbuat ulah.

Ini merupakan misi spesial yang tidak pernah ditugaskan kepada siapapun. Tidak pernah dibayangkan, seorang pimpinan pondok yang begitu dihormati mempercayai ketiga anak nakal ini untuk menyempurnakan amanah ayahnya.

Sebuah amplop diserahkan, lengkap dengan sejumlah uang dan daftar alamat alumni. "Ambil ini untuk memandu kalian. Hubungi nama-nama yang ada di daftar ini dan gunakan uang ini untuk keperluan diperjalanan" begitulah amanah Buya.

Sempat terbesit dalam hati seorang anak untuk mengambil uang dalam amplop dan kabur, tapi dua lainnya tidak setuju. "Buya akan tahu apa yang kita lakukan" kata mereka. 

Perjalanan Dimulai

Misi menemukan Bahar Safar dimulai, ketiga santri ini menumpang mobil untuk mencari tahu keberadaan Bahar. Anak-anak nakal ini tidak memilih cara yang dulunya dilakukan ayahnya Buya.

Insting mereka berkata lain dan misi itupun dimulai. Mereka terus melacak keberadaan Bahar dari satu tempat ke tempat lainnya. Dimulai dari alamat tempat tinggal neneknya

 Hasilnya NIHIL.

Perjalanan dilanjutkan ke sebuah tempat yang mereka percayai memberi titik terang keberadaan Safar. Sasaran mereka adalah markas pemabuk.

Mereka tahu, Bahar adalah pemabuk dan suka melakukan hal semacamnya, semisal mengadu ayam dan bertaruh. 

Dua markas pemabuk tidak memberi petunjuk yang diinginkan. Bahar tidak mungkin berada disana karena kedua tempat itu baru seumur jagung, sedangkan Bahar kesana puluhan tahun sebelumnya. 

Akhirnya, kejelian firasat ketiga anak ini mengantakan mereka pada sebuah markas pemabuk yang sangat terkenal di kota itu. Awalnya mereka bingung bagaimana harus mencari tahu informasi Bahar. 

Ternyata sesuatu yang ajaib terjadi. Seorang yang sedang bermain kartu sambil menegak minuman beralkohol mengetahui siapa itu Bahar. Walaupun demikian, informasi tentang dimana Bahar saat ini masih belum terkuak. 

Yang mereka temui itu rupa-rupanya teman minum Bahar puluhan tahun silam. Darinya terbuka informasi berharga tentang siapa Bahar, seorang pemabuk yang spesial dan mempunyai tabi'at berbeda.

Betapa tidak, Bahar memang dikenal sebagai pemabuk, tapi nyatanya ia tidak pernah berbuat usil. Uniknya lagi, dia malah membantu orang lain yang sama sekali menganggapnya orang jahat.

Ya, Bahar puluhan kali menolong orang lain dari pemerasan, pemukulan, dan penganiayaan. Orang-orang itu tidak ada hubungan darah dengannya atau bahkan mengenalnya. 

Lalu, kenapa Bahar menolong mereka dalam tabi'atnya yang suka mabuk?

Inilah mengapa Buya menugaskan ketiga anak nakal ini untuk mencari Bahar, seorang santri nakal yang puluhan tahun lalu pernah tanpa sengaja berbuat usil membakar meriam bambu dan menghanguskan satu bangunan dan memanggang satu santri.

Bahar menyimpan memori kebakaran hebat itu dalam pikirannya kemanapun ia pergi. Rasa bersalah menghantuinya, sehingga ia ingin menebus kesalahannya dengan bertaubat.

Sayang beribu sayang, nalurinya belum sepenuhnya mengarahkan ia pada jalan yang benar. 

Meskipun rasa bersalah dan penyesalan mendalam menghantui setiap langkah kakinya, Bahar masih menyalahkan keadaan dan bertanya-tanya kenapa takdir hidupnya seperti ini.

Sebentar...... saya akan melanjutkan cerita ini. Novel Janji terdiri dari 488 halaman dengan kisah maju mundur, satu perjalanan ke tujuan berbeda dengan pesan yang selalu meninggalkan jejak mendalam. 

Baru kali ini saya membaca novel setebal ini dalam satu hari. Ya, seumur hidup, saya bangun jam 2:30 dini hari hanya untuk meyelasaikan sisa 280 halaman yang belum tuntas kemarin. Ah, Tere Liye berhasil membuat tidurku singkat kali ini.

Ayo, kita lanjut kembali.... 945 kata sudah saya menulis!

Ketika kisah hidup bahar mulai terkuak, ketiga anak nakal ini pun mendapat pelajaran berharga. 

Setiap perjalanan dan kisah hidup Bahar membawa mereka pada lembaran pelajaran hidup yang jauh lebih berharga dari buku-buku yang mungkin mereka baca di pondok. 

Bahar adalah sosok santri nakal yang spesial. Sangking spesialnya, seorang pimpinan pondok selevel Buya mencarinya. Ya, Bahar memang istimewa!begitulah faktanya.

Bahar bukan hanya membantu orang lain dengan ikhlas. Tidak pernah sekali pun ia berharap belas kasihan orang.

Semua orang yang mengenalnya hampir tidak pernah meninggalkan jejak negatif tentang Bahar, kecuali sebagai pemabuk yang belum insaf.

Uniknya, meskipun seorang pemabuk, Bahar tidak pernah berbuat jahat. Jalanan menjadi tempat bernaungnya, hingga sebuah kontrakan kecil di sebelah seorang tuna netra menjadi saksi kebaikan Bahar.

Dari sanalah kisah lembaran kebaikan Bahar terbuka lebar. Ribuan kebaiakan telah dilakukannya tanpa sorotan.

Ia rela mengaku telah membakar sebuah pasar induk hanya demi menolong seorang tetangga sebelah kontrakan yang belum dikenal baik olehnya. 

Tidak masuk akal! 

Begitulah anggapan orang. Bahar sudah gila! ia menolong siapapun demi menebus dosa masa silam. 

Tak perduli siapa dan apa resiko yang akan menimpanya. Semua ia lakukan diluar nalar orang sehat.

Sampailah ia ke sebuah penjara. Disana, ia bertemu seorang sipir baru yang kemudian menjadi teman akrab. 

Kehidupan penjara jelas berbeda! sipir-sipir buas siap memukul, narapidana siap memangsa tahanan baru.

Bahar perlahan terbiasa dengan kehidupan brutal dalam penjara. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk dikenal luas oleh para tahanan. 

Semua tahanan mengenalnya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. 

Ia membantu siapa saja yang dianiaya, baik oleh sipil atau tahanan senior yang dikenal kejam. Tidak terhitung puluhan perkelahian yang sudah dilalui dalam sel. 

Para sipil pun mengenalnya sebagai pengacau, karena kehadirannya mengurangi jatah uang yang mereka terima.

Bahar disiksa disana dengan perlakuan sangat buruk. Masa remisi tidak pernah diterima, padahal ia tahanan terbaik yang suka membantu napi teraniaya. Sementara napi lainnnya diperlakukan bak raja, terlebih napi koruptor.

Satu alasan, karena uang berbicara. Sedangkan Bahar tidak memiliki uang untuk menyogok para sipir, apalagi tahanan senior yang menguasai sel.

Yang Bahar punya hanya tenaga dan postur tubuh sangar untuk menghadapi napi-napi pemeras.

Lima tahun ia jalani dengan ikhlas dan sabar tanpa sepatah kata penyesalan ia lontarkan. Disaat napi lain ingin bebas, ia rela berlama-lama disana dengan satu tujuan, menebus kesalahan masa silam yang terkubur lama dalam memorinya. 

Selama lima tahun itu pun ia jalani dengan mempelajari skil reparasi elektronik dan mobil, termasuk skil memasak. 

Lucu memang! Tahanan lain tidak habis pikir apa yang diperbuat Bahar. Dari membela orang yang tidak ia kenal, sampai larut mendalami berbagai macam keahlian. 

Bahar sama sekali bukan penjahat. Lebih cocoknya, ia hanya tamu yang hadir untuk memberi pelajaran berharga bagi penghuni sel dan para sipir bejat.

Kehidupan di Luar Penjara

Ingin menutup masa kelam di penjara dan memulai hidup baru, Bahar telah menyelesaikan sebuah hukuman selama lima tahun dalam penjara. Hukuman yang sebenarnya bukan hak tanggungannya. 

Bahar menuju sebuah tempat jauh untuk mengadu nasib. Ia tiba di sebuah provinsi yang belum pernah diketahuinya. 

Sesampainya disana, ia langsung menyewa sebuah rumah kecil dengan sisa uang yang ia kumpulkan dari tahanan.

Sisanya digunakan untuk menyewa setengah toko dari pemilik yang juga berniaga. Skil reparasi menjadi andalannya. Siapa sangka, usaha reparasinya manjur.

Disanalah bibit cinta mulai tersemai! Seorang gadis keturunan Tionghoa berhasil mengambil separuh hatinya. Nasib baik belum memihak padanya. 

Gadis cantik itu akhirnya duluan dipinang lelaki lain. Pupus sudah kisah cinta dalam diam! 

Bahar tidak pernah menyesal. Lagi pula, ia tidak buta dengan cinta. Gadis pujaan pergi bersama orang lain ke kota yang tidak pernah diketahui Bahar.

Usaha reparasi Bahar mulai membuahkan hasil. Nasib baik memihak padanya! Pelanggan demi pelanggan mengenal Bahar sebagai tehnisi handal.

Sikapnya yang ramah dan kejujurannya adalah modal besar keberuntungannya.

Tidak sampai disitu, service center ternama di kota itu menjalin kerjasama dengan Bahar. Usahanya terus melesat maju, melebihi pelaku usaha di sekelilingnya. 

Suatu hari kabar burung datang, gadis idamannya kembali ke kota. Bahar tidak terlalu berhasrat untuk tahu, toh itu istri orang. 

Namun, gadis cantik yang dikenalnya tetap tidak mampu membuat tatapan Bahar berpaling.

Ternyata, kabar angin perceraian terbang kemana-mana. Itu kabar baik untuk Bahar, sekaligus kabar buruk bagi gadis cantik berperawakan Tionghoa.

Betapa tidak, belum lagi genap setahun menikah, gadis cantik Nan putih ini sudah bercerai. Ada kisah kelam dibalik semua itu.

Cinta Bahar bersemi kembali, seakan nasib baik kini memihak padanya. Lantas, apa yang terjadi? apakah Bahar berani mengungkapkan perasaannya?

TIDAK!

Beberapa kali Bahar mengajak gadis cantik ke pustaka dan menikmati makan bersama, tapi lidahnya tetap kaku untuk mengungkapkan apa yang dipendam.

Sampai suatu ketika, sang pujaan hati datang ke toko Bahar sambil menangis dan mengadu jika ia bakal dilamar. Bahar tetap dingin, tidak berani mengeluarkan harta karun yang dipendamnya.

"lalu kenapa kamu datang kemari"? tanya Bahar seakan bingung!

"Bukankah kamu mencintaiku, Bahar?" tanya gadis putih manis itu.

"ya, benar" jawab Bahar singkat dan padat.

"lalu, kenapa tidak melamarku segera" gadis itupun kembali berlari pulang.

Sungguh sebuah dilema bagi Bahar. Ia terlihat ragu tapi mau. Asistennya meyakinkannya untuk segera mengambil kesempatan langka ini. "cepat Bahar, buat keputusan sekarang", ucapnya.

Dukungan datang dari seluruh pedagang sekitar. Mereka tahu persis Bahar menyukai gadis itu.

Bahkan, mereka akan mempersiapkan lamaran bersama saling membantu. Kebaikan Bahar kini berpulang padanya. 

Lamaran itu dilakukan tepat malam itu. Eh, jawaban sang ayah berbalik haluan. TIDAK!

Seakan seperti halilintar, ayang sang Gadis cantik menolak lamaran Bahar. Alasannya satu, kerabat terdekat akan melamar anaknya. 

Sedangkan Bahar belum dikenal baik olehnya. Lagi-lagi, sang ayah tidak menginginkan kejadian buruk terulang lagi pada anaknya. 

Bahar tidak bisa berbuat banyak. Nasib tidak bisa dirubah. Namun dari itu, sebuah kejadian tak disangka terjadi. Seorang saudagar kaya meminta Bahar memperbaiki mobil tuanya.

Skil reparasi mobil dari penjara memang ajaib. Bahar berhasil menghidupkan mesin mobil yang lama membisu. 

Sebagai imbalan, Bahar mendapat hadiah mobil klasik dari saudagar sebagaimana janjinya.

Dikala mobil hadiah diantar ke alamat Bahar, betapa terkejutnya ia. Sebuah karung berisi emas batangan ditemukan saat membuka kap mesin mobil.

Kejujuran membimbingnya untuk segera mengembalikan uang itu ke saudagar. Sesuatu yang ajaib terjadi ketika ia tiba di rumah saudagar.

Sang calon mertua yang menolaknya sedang bercakap bersama saudagar. Siapa sangka, kejujuran Bahar membuka pintu hati yang keras. Hati seorang calon mertua kini terbuka lebar untuk Bahar.

Kabar gembira! Bahar boleh melamar anaknya segera. Lamaran terjadi dan lengkap sudah, sang gadis pujaan menjadi milik Bahar. Apakah cerita selesai disana? TIDAK!

Apa yang terjadi kemudian malah lebih menyedihkan lagi. Sebuah kerusuhan tahun 90-an menyulut kobaran api. 

Sang gadis terkurung dalam toko demi menyelamatkan pekerja di dalam. Api menyala tanpa henti, Bahar tiba terlambat.

Kisah cinta hangus dibalut kobaran api. Gadis nan cantik berhasil diselamatkan dalam keadaan kaku dalam kamar mandi. 

Api tidak membakarnya, namun nafasnya tak lagi bisa dirasa. Ia pergi selamanya meninggalkan rasa bersalah di benak Bahar.

Istri tercintanya meninggal tidak lama setelah mereka sah menjadi suami istri. Semua merasa sedih, apalagi Bahar.

Ia memutuskan untuk pergi dari sana karena tak sanggup mengenang kisah pilu itu. 

Tiada yang tahu kemana Bahar pergi, namun ketiga santri nakal yang mencari jejaknya tetap tidak putus asa mencari jejak Bahar. 

Kabar terbaru terengus, Bahar pernah berkerja di tambang emas. 

Ternyata Bahar kesana untuk mengubur kisah cinta yang tidak ingin dikenang. Bukan karena benci, tapi rasa cinta yang mendalam membuatnya tak ingin menahan rasa pilu itu. 

Kejadian puluhan tahun lalu kembali datang. Kisah seorang santri terbakar akibat ulahnya seakan meminta tanggung jawab. 

Mungkin Bahar mengira ini dosa yang harus ia pikul. Tapi kenapa orang yang ia amat cintai yang diambil. Ia tak terima dengan takdirnya. 

Di pertambangan itu, ia mengenal seorang anak muda yang mengajarkannya makna hidup. Singkat cerita, gempa terjadi sesaat Bahar dan puluhan lainnya sedang menambang emas di kedalaman 180 meter.

Mereka terkurung bebatuan yang runtuh, disana Bahar terlihat kuat memandu yang lainnya. Sedikit yang bertahan, hanya beberapa saja. 

Teman yang mengajarkan arti kehidupan itu pun tewas setelah berminggu-minggu bertahan dalam reruntuhan tanpa bantuan dari atas. Mereka kehabisan oksigen dan sisa makanan untuk bertahan.

Nasib baik masih menyapanya. Bahar dan beberapa lainnya berhasil diselamatkan. Bahar memutuskan untuk pergi dari pertambangan dan mulai menerima takdirnya. 

Babak kehidupan baru dimulai!

Bahar menuju kota tujuan terakhir. Ia berjanji untuk menjalankan amanat Buya yang pernah diterima sebelum meninggalkan pondok. Pusaka yang mengajarkan arti takdir kehidupan.

Bahar tiba di kota besar, memulai kehidupan baru. Bacaan Al-Quran yang merdu membuatnya mudah dikenal di tempat tinggal baru. 

Sebuah kota besar di selah-selah bangunan tinggi menjulang tinggi ke langit.

Dengan modal uang dari hasil bekerja di pertambangan emas, ia membuka rumah makan.

Ia menamai rumah makan itu DELIMA. Itulah nama istri tercinta yang tidak pernah dilupakannya walau dalam reruntuhan batu yang hampir merenggang nyawanya.

Rumah makan Delima tidak butuh waktu lama untuk terkenal. Racikan bumbu dan skil memasak yang ia miliki mengantarkan ia pada sebuah keberuntungan.

Sekali lagi, nasib baik datang di penghujung kisah hidupnya. Sebagaimana amanat Buya yang diterima, Bersedekahlah! Bahar tidak pernah menyimpan uangnya, kecuali untuk niat berhaji. Itupun hanya 10 ribu perhari.

Sisanya ia sedekahkan dan memberi makan siapa saja yang mampir di rumah makan miliknya. Tak terhitung, dari pengamen sampai peminta-minta rajin menghampiri warung nasinya. 

Tidak perduli siapa mereka, Bahar akan selalu melayani dengan sabar dan tanpa meminta bayaran. Itulah Bahar, lelaki paruh baya yang berhasil merubah siapapun yang berada didekatnya.

Tak terkecuali kota terakhir persinggahannya, semua orang mengenal Bahar sebagai seorang pemurah, ta'at beragama dan tak segan membantu siapapun. 

Sampai tabungan yang Bahar kumpulkan selama tujuh tahun untuk naik haji ia serahkan pada dua orang yang tidak sengaja meminta belas kasihnya. 

Bahar menyerahkan semua tabungannya untuk menyewa sebuah rumah demi anak-anak yatim. Niat berhaji pun hilang, namun ia tidak pernah menyesal. 

Baginya, membantu orang lain adalah harga mati. Apapun konsekuensinya akan dilakukan. 

Itulah Bahar, seorang santri istimewa yang penuh misteri. Akhir hayatnya sungguh indah. 

Bahar meninggal dalam keadaan bersujud di shalat subuh terakhirnya. 

Kabar meninggalnya Bahar tersiar cepat. Semua tetangga datang membesuk, ribuan membesut jenazahnya untuk terakhir kali. Kebaikannya datang menghampiri dalam wujud ribuan orang asing. 

Ketiga santri telah menyelesaikann misi yang diemban dari guru mereka. Lengkap dengan perjalanan hidup yang memberi pelajaran berharga untuk mereka. 

Bahar bukan hanya berhasil memberi ketiganya pelajaran tentang takdir kehidupan, namun juga makna perjalanan.

Bahar Safar, sebuah nama yang sugguh memberi makna hidup. Seorang santri pemabuk, pembuat onar, meninggal dalam keadaan terindah. 

Bahar bertaubat dalam gua ketika terkubur, tangisnya mungkin tak terdengar karena tertutup bebatuan.

Namun, ribuan malaikat menyaksikan. Kisah taubat pendosa penuh hikmah. 

Bagi yang membuka hati dan mampu mengambil pelajaran. Tidak ada yang bisa menebak garis kehidupan, siapapun itu!

Banda Aceh, 25 Desember, 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun