Mohon tunggu...
Marselinus Lilo
Marselinus Lilo Mohon Tunggu... Jurnalis - Misionaris

MSC

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggali Kepemimpinan Pater Jules Chevalier Pendiri Tarekat MSC

4 Desember 2019   12:24 Diperbarui: 4 Desember 2019   12:50 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Berdasarkan pada uraian terdahulu yang berbicara tentang kepemimpinan Pater Jules Chevalier dengan berbagai seluk beluknya, maka pada bagian penutup ini penulis menggali lebih komprehensif mengenai pengaruh / dampak pemahaman dan penghayatan kepemimpinan Pater Jules Chevalier yang sangat signifikan dalam kehidupan anggota MSC.

Dampak yang sangat menonjol dari kepemimpinan Pater Jules Chevalier terhadap kehidupan anggota MSC Provinsi Indonesia yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • Kepemimpinan Dalam Komunitas

Kepemimpinan komunitas harus terarah pada sikap penuh hormat terhadap setiap pribadi anggota komunitas. Sikap hormat kepada pribadi ini menuntut kewibawaan pemimpin dilaksanakan dalam semangat kepercayaan, kesetiaan, ketulusan hati dan kesabaran. Landasannya adalah, bahwa Allah membimbing manusia dari dalam, menggerakkan kehendak-Nya, sehingga memampukan manusia menjawab panggilan-Nya justru lahir dari kedalaman hatinya (inner being).  Karena itu kewibawaan seorang pemimpin terwujud secara penuh, ketika seorang pemimpin mampu membangkitkan dalam diri anggotanya ketaatan secara sukarela. Hal ini dapat terwujud jika seorang pemimpin mampu menyentuh hati dan pikiran anggota, sehingga mereka mampu mengerti suatu perintah dan anjuran atas cara yang tenang, penuh respek dan bersahabat. Persetujuan itu merupakan keputusan yang lahir dari kedalaman diri yang dimotivasikan oleh iman, kepercayaan dan cinta. Pada titik ini ketaatan seorang dapat dimanifestasikan secara penuh dan melimpah. Dimensi lain dari kepemimpinan komunitas adalah unsur dialog. Dialog yang dipahami dan dijalankan dalam konteks ini berbasis pada adanya rasa hormat terhadap pribadi manusia, kesadaran bahwa keutamaan ketaatan terhadap seorang pemimpin tidak lain dari pada mendengarkan Allah dan saudara-saudaranya. Kesadaran ini berlandaskan pada iman bahwa Roh Allah bekerja dalam dan melalui setiap pribadi untuk mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bersama dalam komunitas religius dan komunitas Gereja. Bagi anggota komunitas, dituntut pula suatu sikap mendengarkan dalam kerendahan hati dan penuh iman. Para anggota komunitas harus tiba pada suatu kesadaran dan kepercayaan bahwa dialog yang dibuat dengan pemimpin berakhir pada suatu penyerahan diri dan membiarkan otoritas pemimpin komunitas atau tarekat memutuskan sesuai konstitusi. Sikap anggota komunitas adalah memandang keinginan atau kehendak atasan (otoritas) sebagai kehendak yang lebih luas yang terarah pada perutusan dan kepentingan Gereja dan masyarakat yang dilayani. Penegasan ini berarti bahwa dalam sikap mendengarkan atau sikap taat, seorang religius harus secara rendah hati mengubah pandangan atau keyakinan dirinya dan memutuskan secara objektif baik bagi dirinya dan komunitasnya. Keinginan atau kehendak pribadi yang bersifat egosentris (berpusat pada diri) harus diarahkan kepada tujuan umum atau tujuan bersama yakni perwujudan Kerajaan Allah.

Otoritas seorang pemimpin adalah mengambil keputusan dan memerintahkan apa yang harus dilaksanakan oleh anggota komunitas. Perspektif ini berarti seorang pemimpin perlu berdialog dengan anggota komunitas sebelum mengambil keputusan. Pemimpin harus membuka diri bagi kehendak Allah dan meminta pertimbangan dan pendapat dari anggota-anggota komunitas. Semua ini merupakan bantuan yang dibutuhkan seorang pemimpin untuk mengambil keputusan secara bijaksana. Keputusan itu hendaknya terarah pada komunitas, kebaikan tarekat dan Gereja. Karena itu terdapat suatu kewajiban bagi seorang pemimpin dalam memajukan peran serta setiap anggota komunitas untuk mencurahkan segala energi, kekuatan anggota komunitas demi perwujudan tujuan itu. "Fungsi otoritas harus terarah pada upaya pelayanan secara menyeluruh dan menggapai pribadi-pribadi supaya tidak ada kesan bahwa domba-domba tertentu terlantar tanpa gembala atau pemimpinnya."

Dalam kaitan dengan para anggota yang dipercayakan kepadanya, pemimpin komunitas juga harus "mengusahakan ketaatan sukarela dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peran serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan". Hal tersebut terinternalisasi dalam dimensi penghayatan ketaatan pada kepemimpinan komunitas seperti yang diuraikan di bawah ini:

  • Hakikat dan makna ketaatan dalam kepemimpinan komunitas

Secara etimologis kata ketaatan berasal dari kata latin "abaudiere" yang berarti mendengarkan penuh perhatian (listen attentively). Kata "ketaatan" baik dalam bahasa semitik dan Indo-Eropa berasal dari kata "to hear" yang berarti "mendengar". Kata ini selalu menunjuk pada kesediaan untuk mendengar apa yang orang lain katakan dan mengerjakan apa yang mereka inginkan. Tetapi suatu perbedaan yang jelas perlu dibuat antara kesediaan untuk taat kepada Tuhan dan ketaatan kepada manusia. Ketaatan kepada Tuhan adalah ketaatan tanpa syarat. Ketaatan kepada manusia adalah ketaatan kondisional. Jacobs, Tom (1990:143) menyatakan bahwa "ketaatan itu ada dalam diri manusia, karena secara natural-instingtif manusia membutuhkan suatu otoritas". Dalam masing-masing agama ketaatan hanya penting dalam tingkatan keagamaan, di mana relasi dengan Tuhan dipraktikkan dalam cara yang personal. Dalam tingkat keberagamaan yang tinggi, ketaatan kepada Tuhan berpusat pada tingkah laku religius. Karena itu ketaatan tampak sebagai jawaban atas klaim tentang "Yang Kudus" dan mengekspresikan penyerahan totalitas diri pada kehendak Tuhan. Dalam Perjanjian Lama (PL), moralitas secara esensial terkandung dalam ketaatan kepada kehendak Tuhan. Agama diekspresikan melalui ketaatan kepada pewahyuan Allah dalam sabda, hukum dan nabi-nabi (bdk. Yes 1:2-10; Yer 2:4;7:21-28). Konsekuensi dari ketaatan terhadap pewahyuan diri Allah adalah manusia wajib menerima dan menjalankan segala sabda dan perintah-perintah Tuhan. Konsekuensi dari ketidaktaatan adalah kutukan. Dalam iman kekristenan juga diakui bahwa esensi dosa tidak lain dari ketidaktaatan manusia terhadap Tuhan. Umat Perjanjian Lama (bangsa Israel) meyakini hal itu. Pengalaman keagamaan umat Israel membuktikan bahwa ketaatan melaksanakan perintah dan sabda Tuhan akan menguatkan mereka dan menghindarkan mereka dari malapetaka dan kutukan Tuhan.

Dalam Perjanjian Baru (PB), kategori lain selain ketaatan masih sering dipakai untuk melihat hubungan antara manusia dan Tuhan seperti, cinta, iman dan harapan. Namun konsep ketaatan tetap penting dalam mengekspresikan relasi manusia dan Tuhan. Menurut Injil Sinoptik, Yesus menyerahkan seluruh hidup-Nya secara taat kepada Bapa (Mat 5:17;17:24). Dan sungguh sangat tepat bahwa melalui ketaatan muncul dan lahirlah percobaan (Mat 4:1-11; Mrk 8:33; Luk 2:51). Penerimaan pesan-Nya menuntut bahwa kehendak Tuhan harus dipenuhi di surga dan di bumi (Mat 6:9-13). Karena itu Yesus sungguh-sungguh menghayati ketaatan-Nya sebagai santapan sehari-hari. "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya"(Yoh  4:34). Ketaatan Kristus harus dipahami dalam kerangka loyalitas ketaatan-Nya pada kehendak Allah demi perwujudan misi keselamatan yang tidak bisa dipisahkan dari ketaatan itu. Ketaatan Kristus pada Allah adalah sumber yang dari padanya keselamatan bagi manusia diwujudnyatakan secara aktual. Kristus menjadi taat karena cinta kepada Allah dan manusia. Cara mencintai yang utuh dan sempurna adalah pilihan melalui salib, penderitaan bahkan kematian. Di sinilah wibawa ketaatan Kristus dan ketaatan para pengikut Kristus mendapat pengakuannya.

  • Ketaatan Injili

Menghubungkan ketaatan dengan Injil "ketaatan Injil" langsung menunjuk pada hubungan yang esensial antara ketaatan dengan kehidupan dan misi Kristus. Hidup Yesus dan misi-Nya ke dunia dijadikan sebagai prasetia ketaatan. Konsili Vatikan II dalam dekrit Perfectae Caritatis mengungkapkan unsur-unsur hakiki ketaatan Injili:

Dengan kaul ketaatan, biarawan-biarawati menyerahkan kepada Allah kehendaknya sendiri secara penuh sebagai korban. Lewat ketaatan itu mereka dipersatukan lebih tegas dan lebih pasti pada kehendak Ilahi yang menyelamatkan. Maka sesuai teladan Kristus yang datang untuk melakukan kehendak Bapa (bdk, Yoh 4:34;5:30; Ibr 10:7; Mzm 39:9) dan "yang menerima rupa hamba" serta belajar taat (Ibr 5;8), hendaknya para religius atas dorongan Roh Kudus, dalam iman mematuhi para pemimpin yang mewakili Allah. Hendaknya melalui mereka itu para religius dituntut untuk melayani semua saudara dalam Kristus, seperti Kristus sendiri demi kepatuhan-Nya kepada Bapa telah melayani para saudara-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (lih. Mat 20:28; Yoh 10:14-18). Begitulah mereka semakin erat terikat untuk melayani Gereja, dan berusaha mencapai "tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus" (lih.Ef 4:13).

  • Makna Kristologis Ketaatan Religius

Ketaatan yang dibaktikan berdimensi kristologis, artinya ketaatan para religius yang mengikat dirinya dengan kaul mendasarkan ketaatannya pada ketaatan Kristus. Makna terdalam dari ketaatan yang dibaktikan harus segera dihubungkan dengan sumbernya, yaitu ketaatan Kristus kepada Allah. Di atas landasan ketaatan Kristus inilah ketaatan kaum religius mempunyai arti, punya daya pikat, punya kekuatan yang mampu mengubah setiap pribadi yang hendak hidup menurut keteladanan ketaatan Kristus.

  • Ketaatan Terhadap Pemimpin Komunitas

Memahami pokok ini, kiranya LG 44, 45 dan KHK. Kanon, 590 dan KHK. Kanon, 601, secara eksplisit menunjukkan hubungan antara ketaatan dengan otoritas pemimpin tarekat. Pendasarannya jelas bahwa ikatan ketaatan antara seorang religius dengan pimpinan tarekat maupun pemimpin komunitas berbasis pada ikatan ketaatan suci. Melalui kaul-kaul atau ikatan suci lainnya, setiap religius mewajibkan dan mengikat diri dengan nasihat-nasihat Injil, serta manifestasi yang dituntut dari pelaksanaannya. Landasan ketaatan religius berdasar pada kaul yang dibaktikan dengan penuh cinta kepada Allah dan segera menghubungkan dirinya secara istimewa dengan Gereja dan misterinya. KHK 601, mengungkapkan dengan jelas landasan kanonis ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun