Mohon tunggu...
Marselinus Lilo
Marselinus Lilo Mohon Tunggu... Jurnalis - Misionaris

MSC

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggali Kepemimpinan Pater Jules Chevalier Pendiri Tarekat MSC

4 Desember 2019   12:24 Diperbarui: 4 Desember 2019   12:50 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Abstrak

This article present and reanimate the leadership of Father Jules Chevalier, the Founder of the Missionary of the Sacred Heart (MSC) Congregation. Inspired by the MSC Congregations papers, i.e Constitution and Statutes of MSC Congregation and some other inspiring books by Tostain, Jean. (1997) Pater Jules Chevalier: Siapakah Dia? Bogor: Percetakan Yayasan Gapura. (2004). Jules Chevalier, Latar Belakang Jaman dan Tradisi Rohaninya. (G. Untu. Viany. MSC. Penerjemah). Jakarta: Provinsialat MSC Indonesia. 

In order to deepen the comprehension about leadership of Father Jules Chevalier, there are observation considering some perspectives of leadership according to general and Christian perspectives. 

The supreme values of leadership in this article may become references, a torch which will enlighten whomever will be and has been entrusted by God to become the good leader for some specific groups of society: families, government and private institutions or above all for the ministries of the Church. The main purpose is to manifest a well-arranged life by virtue of the leadership principles and value tough by the Prime teacher, Jesus Christ.

Pendahuluan  

Gereja sebagai suatu lembaga keagamaan selalu berusaha untuk memperbaharui kehidupan religius yang dirumuskan secara jelas dalam dekret Perfectae Caritatis adalah renovatio acommondat mengajak Gereja semesta mengevaluasi kembali kehidupan serta pelaksanaan misinya. 

Ada tiga sasaran yang mau dicapai, yakni: pembaharuan rohani dalam terang Injil, penyesuaian dengan masa sekarang "aggiornamento" untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern, dan pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat Kristen.  

Pembaharuan ini menyerukan untuk kembali pada sumber-sumber asal, karisma tarekat, dan inspirasi pendiri, digali kembali, ditelusuri lewat perkembangan sejarah untuk ditemukan keasliannya, diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang ini (Dokumen Konsili Vatikan II, 1993: vi).

Paus Paulus VI pada sidang Konsili terakhir pada tanggal 14 September -- 8 Desember 1965 mengartikan "aggiornamento" sebagai usaha untuk semakin mendalami semangat Konsili dan penerapan setia norma-norma yang digariskan demi penyesuaian dengan masa sekarang untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern serta pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat Kristen. 

Melalui seruan ini, semangat kepemimpinan pun juga harus diperbaharui dengan pengertian akan pembaharuan yang dituntut oleh Konsili Vatikan II. Kalau ini dilakukan di dalam tarekat, maka tugas kepemimpinan diperbaharui sesuai dengan seruan Konsili Vatikan II. Peranan pemimpin dalam tarekat adalah sebagai tokoh yang memotori para anggota untuk hidup seturut karisma atau semangat awal yang diwariskan oleh pencetus berdirinya tarekat religius.

Sebagai upaya untuk menjawab seruan Gereja yang dimaksud, tarekat MSC telah berupaya untuk kembali pada karisma awal tarekat. Usaha itu terlihat dengan ditemukannya konstitusi awal tarekat MSC yang telah ditulis oleh pendiri kongregasi Pater Jules Chevalier ketika mengajukan formulasi tarekat ke hadapan Takhta Suci di Roma. 

Perjalanan panjang Jules Chevalier dalam memperjuangkan kongregasi dalam usaha melaksanakan panggilan hidup membiara tampak dalam seluruh hidupnya dan semangat yang menjiwainya. Menurut Pater Jules Chevalier, cinta kasih merupakan tali pengikat dalam kehidupan tarekat, yang nyata dengan saling mendukung, dalam karya kerasulan dan keterbukaan bagi semua orang. Cinta kasih dan persaudaraan ini akan membuat kita menjadi alat perdamaian dalam semangat Hati Kudus Yesus, dengan demikian hidup MSC senantiasa menjadi suatu harapan dunia.

Dalam Konstitusi dan Statuta terlihat jelas yang menjadi dasar hidup bagi para anggota MSC adalah hidup Yesus Kristus, melalui ajaran-Nya yang diwartakan dalam Injil. Yesus Kristus merupakan contoh teladan dan pedoman bagi tarekat MSC dalam menanggapi kehendak Bapa. 

Melalui hidup yang sesuai dengan nasihat Injil, para anggota MSC adalah peziarah dan orang asing di dunia ini, bebas demi pelayanan dalam Gereja dan saksi Kerajaan Allah. Hal ini menuntut pertobatan terus menerus, maka lewat kesaksian hidupnya anggota MSC bekerja sama dengan mitra kerjanya untuk membaharui Gereja dan masyarakat, memajukan perdamaian, keadilan dan menciptakan keutuhan ciptaan melalui hidup Injili dalam bentuk-bentuk yang memenuhi tuntutan zaman.

Pater Jules Chevalier seorang tokoh karismatis diyakini banyak orang sebagai salah satu anugerah khusus yang patut disyukuri, ditiru, dan dibutuhkan dalam menghayati kebijaksanaan Hati Kudus Yesus. Kharisma yang dimiliki oleh Pater Jules Chevalier berpengaruh terhadap kehidupan para anggota MSC hingga kini. 

Melihat dengan perkembangan tarekat yang sangat pesat maka faktor penyebab utama dari keberhasilan itu adalah penghayatan spiritualitas Hati Kudus menjadi hal utama dalam karya pelayanan tarekat. De fakto kesaksian hidup para anggota MSC menjadi pendukung utama dalam mengobati segala penyakit zaman.

Fenomena kepemimpinan yang diuraikan di atas baik menyangkut aspek kinerja dan pelayanan maupun aspek integritas kepemimpinan dalam dunia dewasa ini, juga tampak dan  berkembang dalam kehidupan MSC Indonesia. Merealisasikan kerinduan akan sosok pemimpin yang ideal dalam kaitannya dengan kepemimpinan lembaga hidup bakti, maka penulis mencoba untuk menggali lebih jauh pola kepemimpinan MSC Indonesia dari semangat kepemimpinan Pater Jules Chevalier dengan judul: "MENGGALI KEPEMIMPINAN PATER JULES"

Kepemimpinan Pater Jules Chevalier

  • Fakta

Cusskelly (1975: 132) menyatakan bahwa "Pater Jules Chevalier adalah seorang pemimpin karismatis. Ia membentuk suatu kelompok orang-orang, yang bekerja sama dengan dia dan di sekitar dirinya". Secara alamiah kelompok itu akan mengambil bentuk dalam sejenis struktur yang secara teknis dilukiskan sebagai suatu organisasi yang berbentuk karismatis. Dalam organisasi demikian sebagaimana ditunjukkan oleh para ahli sosiologi, terdapat hal-hal berikut:

  • Titik pusat, yang padanya organisasi itu berpusat, adalah ilham, intuisi dan kendali dari pemimpin karismatis itu.
  • Sifat karismatis dari pemimpin itu menarik orang-orang lain untuk datang bersama dia, dan memungkinkan dia untuk menyampaikan atau mengenakan pikiran-pikirannya kepada para pengikutnya.
  • Pengawasan dalam organisasi berasal dari pelaksanaan sifat-sifat yang sama, dan keputusan-keputusan biasanya diumumkan dalam istilah-istilah yang definitif.

Pada tahap-tahap awal berdirinya kongregasi, Pater Jules Chevalier adalah seorang pemimpin karismatis yang menentukan arah, menjalankan kepemimpinan dan mengambil keputusan-keputusan. Banyak anggota yang tertarik masuk ke dalam tarekat yang didirikan oleh Pater Jules Chevalier disebabkan oleh suatu kepercayaan bahwa Pater Jules Chevalier adalah seorang pemimpin yang inspiratif dan mempunyai intuisi dan yang mampu membentuk kelompok tersebut. Namun ketika kongregasi mulai berkembang dalam Gereja, Pater Jules Chevalier mengambil struktur organisasi yang berbeda. 

"Dari seorang pemimpin karismatis dan sangat pribadi, kepada suatu bentuk pemerintahan yang lebih demokratis, dari suatu kelompok yang berasal dari suatu budaya tunggal kepada suatu kongregasi internasional" (Cuskelly,1975:134). 

Di sinilah kepemimpinan karisma Pater Jules Chevalier mengalami perubahan yang signifikan. Paradigma baru yang berkembang saat itu bahwa yang memainkan peranan yang paling besar dalam tarekat adalah kapitel-kapitel, dewan-dewan, dan konsultasi yang selalu ada dalam kehidupan tarekat. Hukum-hukum Gereja secara perlahan ditaati sehingga kepemimpinan karismatis harus tunduk kepada hukum itu. Mulai saat itu kepemimpinan Pater Jules Chevalier berubah.

  • Pengertian Kepemimpinan Pater Jules Chevalier

Untuk memahami arti kepemimpinan Pater Jules Chevalier secara mendalam, dapat dilihat di dalam aturan hidup religius yang tertuang secara khusus melalui konstitusi tarekat seperti terkutip di bawah ini:

Dalam Konstitusi MSC, (2000: 80) tentang kepemimpinan dinyatakan :

Pemimpin akan berusaha sedapat mungkin agar para konfraternya tidak merasa dikuasai. Ia tidak akan memperlakukan mereka seperti seorang majikan yang berkuasa, tetapi memimpin dengan keramahan, kelembutan hati dan cinta kasih.

Kepemimpinan Pater Jules Chevalier pertama-tama bersumber dari Yesus Kristus yang dihayati dengan menjadi murid-murid Kristus dalam pelayanan kepemimpinannya. Belajar dari Pater Jules Chevalier sebagai inspirator yang selalu mewartakan Injil melalui teladan hidup dan semangat kepemimpinannya dengan Yesus sebagai sumber hidup.

Adapun semangat kepemimpinan Pater Jules Chevalier yang tertuang dalam konstitusi MSC sebagai  berikut:

  • Selalu mencari kehendak Tuhan dan bersedia dibimbing oleh Roh sebagai pemimpin utama.

Seorang pemimpin berusaha mengarahkan para anggotanya untuk selalu mencari kehendak Tuhan. Para pemimpin harus selalu gelisah apabila belum menemukan kehendak Tuhan dalam hidup dan pelayanannya. Hal ini tampak dalam sejarah panggilan Pater Jules Chevalier yang mengalami kegelisahan dalam mencari kehendak Tuhan yang akhirnya dituntun Roh Allah untuk mendirikan kongregasi MSC.

2) Ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan.

Menjadi pemimpin bukanlah suatu tugas yang gampang. Berbagai tantangan dan cobaan menjadi batu loncatan dalam mengemban tugas kepemimpinan ke arah yang lebih baik. Dalam menghadapi tantangan tersebut seorang pemimpin harus memiliki keuletan dan kesabaran. Semangat keuletan dan kesabaran tersebut ditunjukkan oleh Pater Jules Chevalier dalam awal perjalanan kongregasi yang dirintisnya. Pater Jules Chevalier tetap tabah dalam menghadapi kesulitan secara khusus menghadapi krisis kepemimpinan yang ditujukan anggota kepadanya.

  • Memiliki visi dan misi dan bisa menularkannya kepada anggotanya.

Pater Jules Chevalier mendirikan kongregasi MSC dengan tujuan untuk berdoa bagi Gereja, mengurus orang sakit dan terlantar, dan karya karitatif lainnya. Pater Jules Chevalier mengajak para anggotanya bersikap ramah dan tulus memberi perhatian kepada semua orang tanpa terkecuali (bdk. Kons. art.7).

Seperti dikutip Pater Cornelis Braun, Pemimpin Umum MSC dalam surat pengesahan Konstitusi, (Kons. 2000: x) dinyatakan: "Pater Jules Chevalier sungguh yakin bahwa dengan mendirikan kongregasi, ia tidak memulaikan suatu karya yang semata-mata manusiawi, tetapi ia mengikuti panggilan dari Allah sendiri". Di sinilah anggota MSC diajak untuk mengenal Allah secara mendalam. Setelah mengenal Allah secara pribadi maka misi MSC selanjutnya adalah memperkenalkan kebaikan Kasih Allah itu kepada dunia sehingga Hati Yesus yang Mahacinta itu dikenal, dikasihi, dicintai di dalam kehidupan bersama dalam komunitas, di dalam tugas pelayanan apa pun juga.

  • Memiliki keterbukaan.

Pater Jules Chevalier mengatakan bahwa "hendaklah para pemimpin menjadi pelindung bagi para anggota yang lain"(Kons. art. 133). Karena itu ia harus memiliki keterbukaan untuk menerima dan mengarahkan para anggota MSC lainnya.

  • Penuh perhatian kepada yang lemah.

Pater Jules Chevalier mengatakan "hendaklah para pemimpin menaruh perhatian kepada anggota yang lemah baik jasmani maupun rohani, namun tidak mengabaikan yang kuat" (Kons, art: 134 dan Statuta: 128)

  • Penuh cinta kasih

Para pemimpin hendaknya memiliki semangat cinta kasih dalam menghadapi para anggota yang berdosa-bersalah. Ia harus menegur orang yang bersalah dengan ramah dan sopan.

  • Bersedia menerima kritikan

Pemimpin bukanlah orang yang sempurna. Ia memiliki kelemahan dan kekurangan, karena itu seorang pemimpin harus bersedia dikritik dan dinasihati orang lain (Kons. art. 103).

  • Perwujudan Kepemimpinan Kongregasi MSC dalam Tugas Perutusan Tarekat

            Pemimpin biara diangkat oleh pemimpin provinsi dengan persetujuan dewannya untuk masa bakti tiga tahun setelah mendengar pendapat komunitas yang bersangkutan (Kons, art. 132). Tugas kepemimpinan adalah tugas pengabdian, dia dipanggil demi penyelesaian masalah, demi tujuan, dan cita-cita bersama. 

Pertama-tama dimaksud dengan pemimpin komunitas adalah mereka yang secara formal, resmi, sesuai jalur organisasi tarekat, ditunjuk untuk memimpin suatu komunitas (Reksosusilo, 1983:252). Dari pengertian ini, pemimpin mendapat dasar dan hak kepemimpinan yang jelas dari kongregasi atau ordo yang bersangkutan. Dalam tugasnya pemimpin komunitas pada hakikatnya ingin membuat komunitas ideal sesuai dengan cita-cita kongregasi, komunitas yang tenteram sesuai dengan semangat dan karisma kongregasi atau ordo seperti dalam konstitusi.

            Pemimpin biara yaitu pemimpin komunitas adalah pengabdi dalam kesatuan yang memungkinkan lahirnya komunitas yang hidup atas dasar iman dan kasih. Kesatuan komunitas biara hanya bisa hidup dan berlangsung kalau didasarkan pada penghayatan karisma pendiri secara bersama, lewat pengalaman iman. Tanpa kesatuan iman, kesatuan karisma, tanpa pengalaman bersama yang diarahkan, komunitas tidak bisa lahir, berdiri, atau berlangsung hidup.

            Dari pernyataan tersebut di atas menjadi jelas bahwa pemimpin komunitas adalah pengabdi yang melangsungkan dan membina persatuan komunitas dalam karisma tarekat. Untuk bisa membantu komunitas menghayati hidup bersama dalam komunitas perlu untuk mengetahui karisma awal salah satunya adalah semangat kepemimpinan pendiri. Pemimpin komunitas menjadi salah satu penentu bagi kelangsungan tarekat lewat tugas kepemimpinannya.

            Adapun tugas-tugas kepemimpinan biara berdasarkan Konstitusi MSC. Diuraikan sebagai berikut:

  • Membangun komunitas membutuhkan suatu usaha dan waktu, guna membentuk dan memperbaiki para anggota.

Setiap anggota wajib membangun diri dari dalam, saling membangun dalam kerja sama, pembicaraan, dan pergaulan; dan atas dasar itu semua anggota bersama membentuk kesatuan di bawah pembinaan seorang pemimpin. Kalau banyak waktu diberikan untuk bekerja, maka demi kebahagiaan komunitas dan para anggotanya, demi suksesnya kerasulan atas dasar karisma religius, diperlukan waktu dan usaha juga untuk pembinaan bersama. Setiap komunitas dipimpin oleh seorang pemimpin sesuai dengan tujuan kongregasi yaitu menempati Injil dalam komunitas (Kons, art. 21).

Pemimpin komunitas sebagai penjiwa, inspirator yang mengarahkan gerak maju bersama dengan doa, pembicaraan dan bimbingan rohani, yang dipersiapkan dan dilakukan sepenuh hati sebagai tugas utama seorang pemimpin, melebihi pekerjaan dan pengajaran lain-lainnya. Dengan teladan dalam perhatian, cinta kasih, kerendahan hati, dan pelayanan serta kesabaran, ia mengangkat yang lemah, menahan yang terlalu kuat untuk bersama-sama maju sebagai kesatuan: satu jiwa, satu perjuangan dengan satu tujuan, kemuliaan Allah, kesempurnaan lewat pengabdian demi keselamatan sesama atas dasar triprasetia dan karisma (Soenarja, 1984: 56).

2)   Melayani kebutuhan jasmani dan rohani para anggota

Pemimpin biara berusaha dengan segenap kemampuannya dalam memperhatikan kebutuhan jasmani dan rohani para anggota komunitas. Dalam bidang rohani pemimpin biara hendaknya mengusahakan mengajak anggota untuk mengikuti misa setiap hari, mengadakan rekoleksi bulanan, retret, pendalaman Kitab Suci, dan latihan-latihan pengembangan rohani, perlu dipersiapkan ruang doa khusus untuk meletakan Sakramen Mahakudus sekaligus tempat untuk berdoa. 

Setiap anggota sedapat mungkin berkumpul untuk membuka hari dan menutup hari, mengangkat pujian dan syukur kepada Tuhan, mendoakan ibadat harian bersama dengan umat Allah di seluruh dunia. Setiap komunitas setempat merupakan suatu kelompok dari jumlah anggota yang membentuk satu komunitas dengan hidup bersama dan berdoa bersama. Menurut ukuran, komposisi, dan aktivitas anggota, setiap komunitas setempat mempunyai coraknya sendiri. (Kons, art. 123)

3)   Mengusahakan perkembangan rohani para anggota MSC

Mengingat latar belakang  para anggota yang berbeda-beda, tanggung jawab pemimpin terhadap mereka tidak hanya menyangkut fungsi mereka berlainan, tetapi juga menyangkut gerak keterlibatan dan kematangan rohani yang berbeda-beda. Ia harus bisa membiarkan orang tua yang sudah mantap dengan cara penghayatan kerohaniannya tempo dulu disinkronisasikan dengan peraturan biara, tanpa memojokkan seseorang sesuai dengan kapitel dan Gereja sesudah Konsili Vatikan II. Untuk itu pemimpin harus mempunyai pengertian dan kesadaran cukup untuk menjelaskannya kepada semua anggota. Setiap anggota harus dikenali secara pribadi dengan kekuatan dan kelemahannya, latar belakang, watak, dan perangainya sendiri-sendiri.

4)   Mengadakan pertemuan komunitas

Persatuan hidup dalam komunitas dapat dirasakan bila setiap anggota dengan sadar menghayati spiritualitas dan karisma pendiri secara bersama, lewat pengalaman iman. Pemimpin adalah pengabdi dalam kesatuan para anggota yang berkumpul menjadi komunitas demi perutusan, kerasulan yang diberikan oleh Gereja. 

Maka dalam hal ini pemimpin komunitas perlu mengajak anggotanya untuk mengadakan pertemuan dalam komunitas (Statuta, art.126). Dalam pertemuan ini yang mau dicari adalah kehendak Tuhan. Untuk mencapai kehendak Tuhan orang harus melepaskan  kepentingan sendiri lewat kepentingan komunitas bersama, yang tidak selalu sama dengan yang diharapkan anggota ini atau anggota itu.

Semua anggota komunitas juga pemimpin terbuka terhadap yang ditengahkan dalam pembicaraan, dan obyektif menanggapi apa yang positif, apa yang negatif pada setiap alasan atau alternatif yang diajukan. Semua perbedaan paham harus dikembalikan pada konstitusi kongregasi dan keputusan terakhir berdiri tegak di atasnya. Keputusan harus mengonkretkan azas tujuan, mengembangkan hidup dan karya anggota. 

Dengan demikian pembicaraan komunitas yang dilakukan para anggota bersama merupakan langkah baru dalam perkembangan hidup kerasulan, pembangunan komunitas, dan anggotanya dalam semangat kongregasi. Untuk tugas ini pemimpin komunitas bersama wakilnya berunding secara teratur minimal tiga kali setahun, untuk membahas kepentingan komunitas dan mencoba meningkatkan hidup bersama ( Statuta, art. 146).

5)   Mengurus rumah tangga dalam komunitas

Pemimpin komunitas membentuk dan dibentuk oleh para anggotanya. Dalam tugas-tugasnya pemimpin komunitas tidak lepas dari interaksi dengan sesama anggota di komunitas. Untuk kelangsungan rumah tangga komunitas maka  pemimpin komunitas bertugas untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga dalam komunitas demi kelancaran hidup bersama di komunitas. Hal ini meliputi karya pelayanan provinsi yang ada di komunitas, menjaga harta benda provinsi yang ada di komunitas, mengerjakan dan menandatangani pembukuan kas komunitas bersama wakilnya. Pemimpin komunitas bertindak mewakili komunitas di hadapan instansi-instansi setempat, gerejawi dan sipil.

Hal ini ditegaskan lagi dalam Konstitusi MSC, (Kons.2000: art. 80) seperti terkutip dalam Lukas 22: 26-27 yang menyatakan bahwa:

...Yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan. Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan. 

Karena itu, seorang pemimpin harus bersikap rendah hati, Kelemahlembutan dan Kesabaran, sabar terhadap yang lain, mengampuni orang lain apabila seseorang menaruh dendam terhadap yang lain, dan lebih dari itu ialah kenakanlah kasih sebagai pengikat yang akan mempersatukan dan menyempurnakan. Dengan demikian damai sejahtera Kristus memerintah dalam diri setiap pemimpin karena untuk itulah seorang pemimpin telah dipanggil menjadi pelayan bagi sesama yang lain.

  • Fungsi Kepemimpinan Pater Jules Chevalier

Berdasarkan Statuta MSC 2000: art 133 dinyatakan:

Fungsi pemimpin adalah untuk membimbing dan mengarahkan anggota-anggota komunitas, serta menjamin suasana hidup yang lebih baik dan suatu iklim rohani, yang semuanya dirancangkan untuk menopang dan merangsang kehidupan Injil serta tugas perutusan untuk merasul dari komunitas. Ia tidak akan menerima ikatan lain yang akan merugikan fungsi utama ini.

            Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan secara terperinci fungsi-fungsi kepemimpinan Pater Jules Chevalier sebagai berikut:

1) Membimbing dan mengarahkan anggota komunitas

Posisi sebagai pemimpin komunitas adalah berat bila tidak menempatkan fungsi kepemimpinan itu sendiri sebagai tugas dan tanggungjawabnya. Pada pundak pemimpin komunitas ada tugas, akan membina komunitas ke arah mana. Pemimpin yang biasa-biasa akan mulai dengan menerapkan aturan konstitusi, doa bersama, makan bersama, meditasi bersama, semua dibenahi sesuai aturan harian menurut konstitusi lalu selanjutnya tidak ambil pusing, soal yang berat dilemparkan ke atasan atau Dewan Pimpinan Provinsi (DPP). 

Pemimpin yang lebih kreatif mulai membuka cara-cara baru, mengadakan perubahan kecil-kecil dengan alasan agar hidup komunitas lebih baik. Pemimpin yang menggebu-gebu mengadakan perubahan besar-besaran. Pemimpin yang biasa-biasa yang cuma menjalankan rutin acara harian biasanya membuat komunitas biasa-biasa saja, semua berjalan lancar sedangkan gejolak dan keadaan anggota yang agak mendalam tidak mendapat perhatian. Biasanya pemimpin akan mendapat reaksi dan tantangan dari anggota yang berinisiatif dan ingin berkembang.

Pemimpin yang mengadakan perubahan kecil-kecil pada mulanya disenangi anggota, tetapi biasanya anggota ingin perubahan yang terus lebih. Dalam hal ini pemimpin menghadapi ambisi dan keinginan anggota. Begitu pun pemimpin yang menggebu, yang mengadakan perubahan yang besar-besaran. Reaksi pertama biasanya membawa kejutan, namun kemudian anggota merasa tidak dapat mengikuti arus baru atau yang ikut saja dan ada anggota yang mulai melapor kepada atasan. Duka pemimpin tiba jika ia ditegur atasan dan merasa diremehkan, reaksi yang muncul adalah taat atau memasang kuda-kuda cari pengikut untuk melawan.

Kepemimpinan dalam komunitas-komunitas MSC hendaknya membawa dan mengarahkan anggota kepada persekutuan dengan Kristus untuk menepati Injil Suci dalam komunitas (Konstitusi, 33), tentu tugas ini bukanlah tugas yang gampang, karena pemimpin sendiri hendaknya mempunyai kematangan dan kedewasaan pribadi dan relasi yang akrab dengan Tuhan dan sesama dalam hidup dan karyanya.

2) Menjamin suasana hidup yang lebih baik dan suatu iklim rohani yang bermutu.

a) Hidup doa

Kepemimpinan gaya lain yang dilaksanakan oleh Kristus adalah kepemimpinan berdoa. Sebelum Yesus memilih  para rasul-Nya, sebelum memilih dan memimpin komunitas-Nya yang pertama Yesus berdoa semalam-malaman (Luk 6: 12-16). Dalam hal ini, semangat kepemimpinan yang penting adalah pemimpin berdoa, maka pemimpin akan bersatu dengan Kristus dan menempatkan komunitasnya dalam Kristus. 

Meskipun mungkin dia mengikuti selera kepemimpinan pribadi, meskipun dia menghadapi soal pribadi anggota dan mengemban tugas atasan, dalam doa semua itu akan dipersatukan sebagai melakukan kehendak Kristus setelah pemimpin berdoa dalam Kristus. Apakah itu terjadi sesuai jam-jam aturan atau tidak, pada dasarnya bukanlah hal yang terpenting. Apabila semangat saling mendoakan dapat bangkit maka dengan sendirinya komunitas akan tertib dalam jam-jam doa, walaupun situasi tidak memungkinkan untuk selalu berdoa bersama. Semangat berdoa dan saling mendoakan hendaknya menjadi semangat bagi pemimpin dan anggota komunitas MSC (Kons, art. 138).

b) Membangun persaudaraan dalam komunitas

Kebersamaan dalam biara tua dan muda yang bekerja di dalam atau di luar bebas dari keterikatan suku, bangsa, dan golongan harus ditanamkan dari awal pembinaan dan dilangsungkan terus menerus (on going formation). Pewajahan komunitas yang utuh, dengan keanekaragaman anggota mencerminkan segala suka duka, doa, karya, derita, dalam solidaritas ke dalam di antara anggota, keluar dengan umat di sekitar inilah yang meresapkan semangat kepemimpinan dalam diri anggota, yang membuat anggota mampu dan mau menjadi yang terkecil untuk melayani.

Persaudaraan dalam komunitas yang mendalam dan tidak sekedar teori dan kata yang gampang diucapkan sangat mahal, dan tidak begitu gampang untuk dicapai. Persaudaraan di komunitas bisa diumpamakan ibarat lalu lintas. 

Dalam tertib lalu lintas ini orang-orang lebih memperhatikan tanda-tanda atau rambu-rambu lalu lintas, isyarat lampu merah, kuning, hijau tanpa begitu mengamati siapa yang dijumpai di jalan. Kita hanya dapat melihat dan membedakan pertanda-pertanda dari lampu yang mengatur jalan, menjaga keselamatan jangan sampai ada yang tabrakan atau pun terjadi kecelakaan fatal. 

Apabila kehidupan dalam komunitas tidak dilandasi dengan membangun suasana kebersamaan yang mesra, yang menjadi sumber cinta kasih maka di sana terjadilah kekecewaan dan pudarnya harapan hidup dalam membangun hidup bersama. Apa lagi olah keutamaan yang terwujud dalam doa sudah sangat langka dan terkadang hanya terjadi saat rekoleksi atau retret tiba. Dengan demikian problem inilah yang harus disingkirkan dari komunitas MSC. Kalau ini tidak ada maka komunitas akan kehilangan harta karun dalam biara. Kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah bedanya antara kehidupan awam kebanyakan dengan bentuk kehidupan khusus dalam sebuah biara?

c) Pemimpin sebagai sahabat

Pemimpin sebagai sahabat akan mendorong kepemimpinan yang terbuka, mendorong keadilan. Persahabatan di sini bukan persahabatan cocok atau tidak cocok, tetapi persahabatan yang dilandasi persahabatan Kristus sendiri dengan berani menderita batin demi sahabat-sahabatnya. Tentu ini bukanlah suatu tugas yang mudah bagi para pemimpin komunitas dalam kongregasi MSC. Untuk mewujudkan cita-cita ini dibutuhkan kerja sama dan relasi yang saling mengerti antara pemimpin dan anggota, dan semua konfratres harus melepaskan kepentingan sendiri yang menghambat dalam menumbuhkembangkan kehidupan bersama yang harmonis dan kondusif.

e. Prinsip-Prinsip  Kepemimpinan Pater Jules Chevalier

Kepemimpinan Pater Jules Chevalier dilandasi oleh beberapa prinsip yang menurutnya cocok dengan kongregasi yang didirikannya. Hal ini termaktub dalam Statuta art.101 sebagai berikut:

1) Prinsip Subsidiaritas:

Pihak yang kekuasaannya lebih tinggi mengizinkan pihak yang lebih rendah bertindak dengan bebas dalam batas wewenangnya. Hal ini menjamin bahwa keputusan-keputusan dibuat di tingkat di mana mereka dapat dibuat atas cara yang bertanggungjawab. Hal itu menciptakan juga suasana yang memudahkan para anggota untuk menerima dan mendukung pelaksanaan kekuasaan dengan lebih rela. Sambil tetap mempunyai fungsi aktif, yang bersifat menasihati dan mendukung, pihak yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi hanya akan campur tangan apabila perlu. Pihak yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi, dengan persetujuan dewannya, berhak dan berkewajiban untuk memutuskan kapankah campur tangan itu perlu dan bagaimanakah hal itu harus dilakukan atas cara yang efektif dan mendukung.

2) Prinsip Tanggung Jawab Bersama

Dengan menerima prinsip subsidiaritas secara sungguh-sungguh para anggota ditantang untuk memikul tanggung jawab demi mengembangkan kehidupan dan tugas perutusan tarekat dan memajukan tujuan-tujuan bersama. Hal ini mengandaikan adanya sarana-sarana komunikasi yang memadai, yang menjamin suatu arus informasi yang bebas mengenai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran, antara pihak yang berkuasa dengan para anggota dan sebaliknya. Kekuasaan harus dijalankan sedemikian rupa, sehingga kesadaran akan tanggung jawab bersama dipupuk. Para pemimpin hendaknya mendorong dialog dan menganjurkan para anggota untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, khususnya mereka yang secara langsung berkepentingan dengan keputusan itu. Dari pihak mereka, para anggota hendaknya memasuki dialog dengan jujur dan menerima tanggung jawab atas sumbangan mereka dalam pengambilan keputusan-keputusan itu. Mereka akan dengan setia mendukung dan melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil. (Statuta, art. 102).

3) Prinsip Pertanggungjawaban

Paham tentang pertanggungjawaban (accountability) tersirat di dalam prinsip-prinsip subsidiaritas dan tanggung jawab bersama. Atas pelbagai cara kita harus bertanggungjawab satu kepada yang lain atas keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan yang kita buat berkenaan dengan karya kerasulan kita, atas pemakaian barang dan milik komunitas, dan atas kesetiaan kita pada doa dan hidup rohani. Pimpinan juga bertanggungjawab atas cara dan dalam derajat yang berbeda-beda kepada mereka yang dilayaninya. Pimpinan akan membuka diri bagi tinjauan berkala untuk menjamin suatu kesatuan pikiran dan hati yang sebesar mungkin. Kapitel-kapitel provinsi akan menentukan struktur-struktur untuk tinjauan serupa itu (Statuta, art. 103).

b. Tinjauan Kepemimpinan Pater Jules Chevalier Dilihat dari Kepemimpinan Secara Umum

            Secara eksplisit konsep kepemimpinan Pater Jules Chevalier tidak jauh berbeda dengan konsep kepemimpinan secara umum.

Hal ini dapat dilihat pada model Partisipasi yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton seperti dikutip dalam Veithzal (2006: 56) dinyatakan sebagai berikut:

* Kepemimpinan Pater Jules Chevalier sejalan dengan apa yang diterapkan oleh  Vroon dan Yetron bahwa kepemimpinan partisipatif haruslah luwes untuk mengubah gaya kepemimpinan agar sesuai dengan situasi.

Dalam mengembangkan modelnya mereka membuat sejumlah asumsi:

* Tidak ada gaya kepemimpinan tunggal dapat diterapkan dalam berbagai situasi.

* Perhatian utama terletak pada masalah yang harus dipecahkan dalam situasi di mana terjadi permasalahan.

* Gaya kepemimpinan yang digunakan dalam suatu situasi tidak boleh bertentangan dengan gaya yang digunakan dalam situasi lain.

* Terdapat sejumlah proses sosial yang mempengaruhi kadar keikutsertaan bawahan dalam pemecahan masalah.

            Hanya saja ada sedikit penekanan dalam fungsi-fungsi kepemimpinan Pater Jules Chevalier. Fungsi kepemimpinan Pater Jules Chevalier lebih menekankan pada dimensi bimbingan dan mengarahkan anggota-anggotanya kepada suatu iklim rohani yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Injili sehingga mampu menopang dan merangsang kehidupan anggotanya berdasarkan Injil. Sedangkan kepemimpinan secara umum lebih bersifat hubungan horisontal dan kurang menyentuh dimensi ilahi. Kepemimpinan umum hanya mengatur tatanan kehidupan yang berlandaskan pada nilai humaniora saja. Artinya hanya menekankan pada aspek hubungan antara manusia dengan manusia.

c. Kepemimpinan Pater Jules Chevalier Dilihat Dari Kepemimpinan Kristiani

James D. White Head & Evelyn Eaton White Head (1991: 3) mengatakan bahwa "Kepemimpinan kristiani berarti hidup dalam Yesus". Hal ini mengandung arti bahwa ketika orang hidup dalam Yesus maka imannya semakin dewasa. Dengan menjadi murid/pengikut  Yesus kita disatukan dalam perasaan dan cita-cita yang sama dan pelan-pelan kita belajar untuk memimpin. Belajar memimpin berarti kita hidup dengan orang lain dalam satu komunitas yang memiliki beraneka ragam latar belakang dari masing-masing pribadi. Dengan adanya perbedaan itu kita harus siap menerima risiko untuk bekerja sama dengan orang lain untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Kita tidak bisa menghindari rasa sakit/konflik dalam perbedaan itu di dalam membangun hidup bersama. Dalam perbedaan itu diharapkan kedua belah pihak harus bekerja sama dan saling menguntungkan.

Seorang pemimpin yang dewasa akan mempengaruhi model pelayanan kristiani (Pemimpin Kristiani) yang dahulu kepemimpinan dari atas (top down / from parents) sekarang berubah menjadi kerja sama dalam persaudaraan (partners). Kenyataan ini dapat kita pelajari dari (Gal. 2:9) yang menyatakan:

...maka Yakobus, Kefas dan Yohanes, yang dipandang sebagai soko guru jemaat, berjabat tangan dengan Aku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang....

Kedewasaan pemimpin yang demikian itu mengajak kita untuk membangun komunitas yang merepresentasikan kehidupan Yesus sendiri dalam mewujudkan Kerajaan Allah di muka bumi ini.

Untuk memahami kepemimpinan kristiani secara benar akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut:

1.  Kepemimpinan Kristiani

            Dalam uraian berikut ini penulis hanya membatasi dan memfokuskan pada kepemimpinan religius yang menjadi pedoman untuk memperdalam pemahaman kepemimpinan Pater Jules Chevalier dalam tarekat MSC, karena Pater Jules Chevalier sebagai seorang kristiani yang menghayati hidupnya menjadi seorang religius MSC.

a) Kepemimpinan menurut KHK

Bagaimanakah dan macam apakah profil pemimpin dalam hidup religius yang dikehendaki oleh Bunda Gereja? Di manakah letak keistimewaannya kepemimpinan religius itu? Apakah kepemimpinan dalam lembaga hidup bakti itu bagaikan dalam dunia politik? Apakah ada bedanya? Dalam kepemimpinan religius, juga ada pemilihan, juga ada dukung mendukung, bahkan dalam berbagai kasus yuridis, tidak jarang ada kecurangan dan bahkan pemalsuan kartu pemilihan.

Uraian yang sederhana ini mengacu pada ketetapan yang digariskan oleh Gereja sudah dikodifikasikan  di dalam Kitab Hukum Gereja. Manakah ciri khas kepemimpinan dalam hidup religius itu? Apakah kepemimpinan religius itu dekat dengan kepemimpinan yang telah dirintis oleh Yesus Kristus?

Kepemimpinan dalam lembaga hidup bakti, haruslah mengacu pada tujuan hidup bakti itu sendiri, yakni mengejar kesempurnaan hidup yang injili, yang lebih dekat dengan Kristus; menyerahkan seluruh dirinya dalam bimbingan-Nya; dan Allah sebagai satu-satunya yang perlu, atau Allah sebagai yang paling dicintai. Kalau tujuan hidup bakti itu tidak diperhatikan, maka kepemimpinan religius akan kehilangan maknanya.

Kitab Hukum Gereja menetapkan dalam kanon 618. 1983 sebagai gambaran profil pemimpin religius: Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya itu selaku putera-putera Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peran serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan. Disadari bahwa kuasa yang diembannya adalah kuasa dari Allah. Kuasa itu diterimanya melalui pelayanan Gereja dan haruslah dilaksanakan dalam rangka mengabdi kepada Allah, dan melayani sesama manusia. Kuasa yang diterima berasal dari Allah, mau menunjukkan bahwa tugas perutusannya sebagai pemimpin itu adalah tugas suci, tugas yang melibatkan kuasa Ilahi, dan bukan kuasa politik duniawi saja. Oleh karena itu bobot kuasa yang diemban oleh pemimpin religius adalah kuasa Ilahi yang harus dilaksanakan dan ditunaikan dalam pelayanan yang suci pula.

Dari sini kita dapat melihat bahwa kalau kepemimpinannya itu diperoleh secara tidak wajar entah dengan memalsu kartu pemilihan atau manipulasi yang licik, maka dapatlah dipertanyakan bagaimanakah misi kepemimpinannya itu. Kepemimpinan religius mengemban tugas suci, tugas kesempurnaan dan tugas atau bahkan kewajiban yang semuanya harus bermuara ke kesucian. Kalau ada tindak jahat dengan pemalsuan atau manipulasi, sebenarnya pimpinan itu sudah tidak layak menduduki kursi kepemimpinan. Oleh karena itu nilai kepemimpinan religius sebenarnya terletak dalam kelayakan pimpinan itu melaksanakan tugas sucinya. Arah kepemimpinan religius yang hanya memikirkan masalah program ekonomi, sosial atau pembangunan gedung, rumah-rumah, lalu melupakan berbagai aspek kerohanian dalam hidup religius sendiri, kepemimpinan demikian itu sudah jauh dari yang dikehendaki oleh Allah. Sebab pemimpin religius mengemban tugas Allah sendiri, karena mandatnya berasal dari Allah, yang diterimanya melalui pelayanan Gereja.

Selain mengemban tugas yang suci, berbagai syarat lainnya pun harus dipenuhi untuk dilaksanakannya. Pemimpin religius "dalam melaksanakan tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya itu selaku putera-putera Allah". Tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemimpin religius adalah peka akan kehendak Allah. Hal ini tidaklah dapat ditawar-tawar, sebab ciri khas kepemimpinan religius itu mengarah pada kehendak Allah saja. Peka akan kehendak Allah, berarti mampu membaca tanda-tanda zaman dan mengartikannya dalam terang cahaya Tuhan. Dengan demikian profil pemimpin religius tak lain dari pada sebagai manusia yang harus peka akan kehendak Allah serta melaksanakannya kehendak Allah itu dalam hidupnya, di dalam memimpin para religius lain yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin religius yang kehilangan kepekaan akan kehendak Allah, dapat dinilai sebagai pemimpin yang tidak layak lagi. Dalam sejarah ordo atau kongregasi religius, tidaklah mengherankan kalau ada pemimpin religius yang diturunkan dari jabatannya, atau yang diminta mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya; atau mengundurkan diri karena merasa tidak layak lagi sebagai pemimpin religius. Justru ukuran kepekaan akan kehendak Allah ini sangat penting.

Hidup dan perjuangan lembaga hidup bakti yang pimpinannya sangat peka akan kehendak Allah, dapatlah dipastikan akan ada kepastian arah hidupnya. Sebaliknya, kalau pemimpin religius jauh dari kepekaan akan kehendak Allah, dapat dipastikan tarekat itu dipimpin oleh pemimpin yang keliru. Ukuran akan kepekaan terhadap kehendak Allah ini menjadi indikasi bagaimanakah hidup religius itu sendiri.

Dalam penghayatan iman kristiani, menjadi pemimpin berarti melayani. Ini merupakan sikap batin-rohani, semangat atau spiritualitas seorang pemimpin religius yang harus dimanifestasikan dalam sikap dan pembawaan lahiriah. Yesus sendiri merupakan model dari kepemimpinan kristiani itu. Melalui perumpamaan gembala yang baik, Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai seorang gembala yang memberikan dirinya bagi domba-dombanya (Luk 22:25-27). Dalam Injil Yohanes pelayanan seorang pemimpin ditunjukkan Yesus melalui tindakan pembasuhan kaki para murid (Yoh 10:1-21). Yesus menunjukkan semangat dedikasi dan kerendahan hati dan penuh hormat.

            Menurut Heinrich Arnold (2002: 131) menyatakan bahwa Gereja sejati tidak dapat menjadi organisme yang hidup tanpa adanya kepemimpinan yang jelas. Kapal komunitas ini membutuhkan nakhoda mengarahkannya dan ia harus membiarkan diri dibimbing dari atas dalam kerendahan hati yang mendalam dan harus menghormati persaudaraan yang ia pimpin. Dibimbing dari atas berarti mendengarkan suara Roh Kudus seperti Roh Kudus berbicara kepada seluruh Gereja. Seorang pemimpin tidak harus memisahkan diri. Melalui kerja sama yang erat dengan semua anggota, semua masalah dapat ditemukan dengan petunjuk yang jelas.

b) Fungsi Kepemimpinan Kristiani

1) Kepemimpinan sebagai pelayan

            Menurut Heinrich Arnold (2002: 131) menyatakan bahwa "kepemimpinan sejati berarti berfungsi sebagai pelayan, sebagaimana dilakukan oleh organ tubuh, harus dilakukan dengan penuh kasih, tulus hati, jujur, dan seperti anak kecil". Dalam (Lukas 12: 48) Yesus bersabda  bahwa setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut. Sebagai pelayan berarti pula memberikan diri secara utuh demi terlaksananya tujuan dan cita-cita bersama. Seorang pelayan juga menjadi sahabat bagi yang lain. Ia dapat memberikan cinta dalam pelayanannya sekaligus menghantar orang lain untuk semakin menyadari tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

2)  Kepemimpinan sebagai Pemersatu

            Seperti terkutip dalam Seri Hidup baru I (1993:23) menyatakan bahwa fungsi pemimpin kristiani adalah pertama-tama menjadi pemersatu komunitas kristiani, pengarah hidup bersama dan menjaga komunitas  kristiani yang sehat dengan saling pengertian, saling percaya dan saling menerima. Untuk itu pemimpin diharapkan memberi ruang hidup kepada setiap warga komunitasnya.

3) Kepemimpinan sebagai inspirator

Seorang pemimpin yang inspiratif mempunyai fungsi untuk memberikan motivasi kepada anggota komunitas berdasarkan inspirasi dan pengalaman yang dimilikinya sehingga anggota komunitas dapat mengalami pengalaman akan Allah di dalam kehidupannya.

c) Model-model Kepemimpinan Kristiani

Kepemimpinan kristiani yang mau ditampilkan dalam penulisan ini adalah:

1)  Model kepemimpinan Yesus

Menurut Ken Blanchard dan Phil Hodges (2006: 14) Inti atau konsep dasar dari memimpin seperti Yesus terbungkus dalam perintah "Tidaklah demikian di antara kamu" yang Yesus katakan kepada para murid-Nya mengenai bagaimana mereka akan mencapai dan melaksanakan peran kepemimpinan. Dalam (Matius 20: 25-28) dinyatakan:

Yesus memanggil mereka lalu berkata, "kamu tahu bahwa pemerintahan bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Panggilan dari Yesus untuk menjalani peran kepemimpinan yang melayani sangat jelas dan tidak samar-samar; kata-kata-Nya tidak meninggalkan ruang bagi rencana lain.  Dia tidak menaruh hambatan atau batasan waktu, tempat atau situasi yang membuat kita tidak perlu menjalani perintah-Nya. Kepemimpinan yang melayani sebagai statement hidup dari mereka yang tinggal dalam Kristus, cara kita memperlakukan satu sama lain, dan cara kita memperlihatkan cinta Kristus kepada seluruh dunia.

2)  Kepemimpinan seperti Yesus  merupakan suatu perjalanan transformasi.

            Istilah transformasi berasal dari bahasa Latin trans (= di seberang atau menyeberang/melintasi) dan formatio (dari forma = bentuk, rupa, wujud ) yang berkaitan dengan kata kerja formare yang berarti 'memberi bentuk kepada' 'membentuk'. Maka istilah transformasi memuat makna suatu perubahan bentuk yang selalu terjadi dalam suatu proses.           

            Pada umumnya para pemimpin dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe utama kepemimpinan. Salah satunya adalah tipe kepemimpinan transformasional. Bernard M. Bass seperti dikutip Sunarto dan Jajuk Herawati (2002 :185-186) membedakan kepemimpinan transformasional kharismatis dengan kepemimpinan transaksional. Pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk mengerjakan lebih dari yang diharapkan semula dengan meningkatkan rasa pentingnya bawahan dan nilai pentingnya pekerjaan. Pemimpin transformatif mampu membuat perspektif yang lebih luas, sehingga kepentingan individu akan disub-organisasikan terhadap kepentingan tim, organisasi, atau kepentingan lain yang lebih luas. Pemimpin semacam itu juga mampu meningkatkan kebutuhan bawahan menuju kebutuhan yang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Sebaliknya pemimpin transaksional menentukan apa yang harus dikerjakan oleh karyawan agar mereka dapat mencapai tujuan mereka sendiri atau organisasi, dan membantu karyawan agar memperoleh kepercayaan mengerjakan tugas tersebut.

Memimpin seperti Yesus lebih merupakan suatu komitmen untuk memimpin dengan cara yang berbeda. Kepemimpinan seperti Yesus merupakan suatu siklus transformasi yang mulai dengan kepemimpinan personal dan kemudian bergerak memimpin orang lain dalam hubungan satu-satu (one on one), kemudian memimpin satu tim atau kelompok, dan akhirnya, memimpin satu organisasi atau masyarakat.

2. Tinjauan Kepemimpinan Pater Jules Chevalier Berdasar Kepemimpinan Kristiani

De facto kepemimpinan Pater Jules Chevalier berpusat pada kepemimpinan Yesus. Kepemimpinan Yesus selalu mengusahakan demi kepentingan anggota demikian pula kepemimpinan Pater Jules Chevalier. Hal ini dapat dilihat dalam statuta No. 104 yang menyatakan bahwa memimpin terutama berarti menghidupkan dan mempersatukan suatu komunitas. Kesatuan erat di antara pelbagai tingkatan pimpinan adalah perlu, agar dapat menjiwai dan mengkoordinir hidup dan tugas perutusan bersama, dan untuk menyelenggarakan administrasi dan pelayanan-pelayanan yang diperlukan. Aspek yang penting dalam peranan seorang pemimpin adalah kepemimpinannya, yang dijalankan sedemikian rupa, sehingga komunitas bergerak bersama dia. Dia hendaknya memiliki kemampuan untuk  memulaikan kegiatan dan menyemangati para anggota komunitas yang lain untuk berinisiatif. Pemimpin yang baik membuat para anggota menyambut baik kenyataan bahwa berkat jasa pelayanan dari kekuasaan yang lebih tinggi, usaha-usaha mereka diorganisir, disatukan dan diintegrasikan ke dalam kegiatan tarekat dan Gereja.

Penutup

            Berdasarkan pada uraian terdahulu yang berbicara tentang kepemimpinan Pater Jules Chevalier dengan berbagai seluk beluknya, maka pada bagian penutup ini penulis menggali lebih komprehensif mengenai pengaruh / dampak pemahaman dan penghayatan kepemimpinan Pater Jules Chevalier yang sangat signifikan dalam kehidupan anggota MSC.

Dampak yang sangat menonjol dari kepemimpinan Pater Jules Chevalier terhadap kehidupan anggota MSC Provinsi Indonesia yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • Kepemimpinan Dalam Komunitas

Kepemimpinan komunitas harus terarah pada sikap penuh hormat terhadap setiap pribadi anggota komunitas. Sikap hormat kepada pribadi ini menuntut kewibawaan pemimpin dilaksanakan dalam semangat kepercayaan, kesetiaan, ketulusan hati dan kesabaran. Landasannya adalah, bahwa Allah membimbing manusia dari dalam, menggerakkan kehendak-Nya, sehingga memampukan manusia menjawab panggilan-Nya justru lahir dari kedalaman hatinya (inner being).  Karena itu kewibawaan seorang pemimpin terwujud secara penuh, ketika seorang pemimpin mampu membangkitkan dalam diri anggotanya ketaatan secara sukarela. Hal ini dapat terwujud jika seorang pemimpin mampu menyentuh hati dan pikiran anggota, sehingga mereka mampu mengerti suatu perintah dan anjuran atas cara yang tenang, penuh respek dan bersahabat. Persetujuan itu merupakan keputusan yang lahir dari kedalaman diri yang dimotivasikan oleh iman, kepercayaan dan cinta. Pada titik ini ketaatan seorang dapat dimanifestasikan secara penuh dan melimpah. Dimensi lain dari kepemimpinan komunitas adalah unsur dialog. Dialog yang dipahami dan dijalankan dalam konteks ini berbasis pada adanya rasa hormat terhadap pribadi manusia, kesadaran bahwa keutamaan ketaatan terhadap seorang pemimpin tidak lain dari pada mendengarkan Allah dan saudara-saudaranya. Kesadaran ini berlandaskan pada iman bahwa Roh Allah bekerja dalam dan melalui setiap pribadi untuk mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bersama dalam komunitas religius dan komunitas Gereja. Bagi anggota komunitas, dituntut pula suatu sikap mendengarkan dalam kerendahan hati dan penuh iman. Para anggota komunitas harus tiba pada suatu kesadaran dan kepercayaan bahwa dialog yang dibuat dengan pemimpin berakhir pada suatu penyerahan diri dan membiarkan otoritas pemimpin komunitas atau tarekat memutuskan sesuai konstitusi. Sikap anggota komunitas adalah memandang keinginan atau kehendak atasan (otoritas) sebagai kehendak yang lebih luas yang terarah pada perutusan dan kepentingan Gereja dan masyarakat yang dilayani. Penegasan ini berarti bahwa dalam sikap mendengarkan atau sikap taat, seorang religius harus secara rendah hati mengubah pandangan atau keyakinan dirinya dan memutuskan secara objektif baik bagi dirinya dan komunitasnya. Keinginan atau kehendak pribadi yang bersifat egosentris (berpusat pada diri) harus diarahkan kepada tujuan umum atau tujuan bersama yakni perwujudan Kerajaan Allah.

Otoritas seorang pemimpin adalah mengambil keputusan dan memerintahkan apa yang harus dilaksanakan oleh anggota komunitas. Perspektif ini berarti seorang pemimpin perlu berdialog dengan anggota komunitas sebelum mengambil keputusan. Pemimpin harus membuka diri bagi kehendak Allah dan meminta pertimbangan dan pendapat dari anggota-anggota komunitas. Semua ini merupakan bantuan yang dibutuhkan seorang pemimpin untuk mengambil keputusan secara bijaksana. Keputusan itu hendaknya terarah pada komunitas, kebaikan tarekat dan Gereja. Karena itu terdapat suatu kewajiban bagi seorang pemimpin dalam memajukan peran serta setiap anggota komunitas untuk mencurahkan segala energi, kekuatan anggota komunitas demi perwujudan tujuan itu. "Fungsi otoritas harus terarah pada upaya pelayanan secara menyeluruh dan menggapai pribadi-pribadi supaya tidak ada kesan bahwa domba-domba tertentu terlantar tanpa gembala atau pemimpinnya."

Dalam kaitan dengan para anggota yang dipercayakan kepadanya, pemimpin komunitas juga harus "mengusahakan ketaatan sukarela dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peran serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan". Hal tersebut terinternalisasi dalam dimensi penghayatan ketaatan pada kepemimpinan komunitas seperti yang diuraikan di bawah ini:

  • Hakikat dan makna ketaatan dalam kepemimpinan komunitas

Secara etimologis kata ketaatan berasal dari kata latin "abaudiere" yang berarti mendengarkan penuh perhatian (listen attentively). Kata "ketaatan" baik dalam bahasa semitik dan Indo-Eropa berasal dari kata "to hear" yang berarti "mendengar". Kata ini selalu menunjuk pada kesediaan untuk mendengar apa yang orang lain katakan dan mengerjakan apa yang mereka inginkan. Tetapi suatu perbedaan yang jelas perlu dibuat antara kesediaan untuk taat kepada Tuhan dan ketaatan kepada manusia. Ketaatan kepada Tuhan adalah ketaatan tanpa syarat. Ketaatan kepada manusia adalah ketaatan kondisional. Jacobs, Tom (1990:143) menyatakan bahwa "ketaatan itu ada dalam diri manusia, karena secara natural-instingtif manusia membutuhkan suatu otoritas". Dalam masing-masing agama ketaatan hanya penting dalam tingkatan keagamaan, di mana relasi dengan Tuhan dipraktikkan dalam cara yang personal. Dalam tingkat keberagamaan yang tinggi, ketaatan kepada Tuhan berpusat pada tingkah laku religius. Karena itu ketaatan tampak sebagai jawaban atas klaim tentang "Yang Kudus" dan mengekspresikan penyerahan totalitas diri pada kehendak Tuhan. Dalam Perjanjian Lama (PL), moralitas secara esensial terkandung dalam ketaatan kepada kehendak Tuhan. Agama diekspresikan melalui ketaatan kepada pewahyuan Allah dalam sabda, hukum dan nabi-nabi (bdk. Yes 1:2-10; Yer 2:4;7:21-28). Konsekuensi dari ketaatan terhadap pewahyuan diri Allah adalah manusia wajib menerima dan menjalankan segala sabda dan perintah-perintah Tuhan. Konsekuensi dari ketidaktaatan adalah kutukan. Dalam iman kekristenan juga diakui bahwa esensi dosa tidak lain dari ketidaktaatan manusia terhadap Tuhan. Umat Perjanjian Lama (bangsa Israel) meyakini hal itu. Pengalaman keagamaan umat Israel membuktikan bahwa ketaatan melaksanakan perintah dan sabda Tuhan akan menguatkan mereka dan menghindarkan mereka dari malapetaka dan kutukan Tuhan.

Dalam Perjanjian Baru (PB), kategori lain selain ketaatan masih sering dipakai untuk melihat hubungan antara manusia dan Tuhan seperti, cinta, iman dan harapan. Namun konsep ketaatan tetap penting dalam mengekspresikan relasi manusia dan Tuhan. Menurut Injil Sinoptik, Yesus menyerahkan seluruh hidup-Nya secara taat kepada Bapa (Mat 5:17;17:24). Dan sungguh sangat tepat bahwa melalui ketaatan muncul dan lahirlah percobaan (Mat 4:1-11; Mrk 8:33; Luk 2:51). Penerimaan pesan-Nya menuntut bahwa kehendak Tuhan harus dipenuhi di surga dan di bumi (Mat 6:9-13). Karena itu Yesus sungguh-sungguh menghayati ketaatan-Nya sebagai santapan sehari-hari. "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya"(Yoh  4:34). Ketaatan Kristus harus dipahami dalam kerangka loyalitas ketaatan-Nya pada kehendak Allah demi perwujudan misi keselamatan yang tidak bisa dipisahkan dari ketaatan itu. Ketaatan Kristus pada Allah adalah sumber yang dari padanya keselamatan bagi manusia diwujudnyatakan secara aktual. Kristus menjadi taat karena cinta kepada Allah dan manusia. Cara mencintai yang utuh dan sempurna adalah pilihan melalui salib, penderitaan bahkan kematian. Di sinilah wibawa ketaatan Kristus dan ketaatan para pengikut Kristus mendapat pengakuannya.

  • Ketaatan Injili

Menghubungkan ketaatan dengan Injil "ketaatan Injil" langsung menunjuk pada hubungan yang esensial antara ketaatan dengan kehidupan dan misi Kristus. Hidup Yesus dan misi-Nya ke dunia dijadikan sebagai prasetia ketaatan. Konsili Vatikan II dalam dekrit Perfectae Caritatis mengungkapkan unsur-unsur hakiki ketaatan Injili:

Dengan kaul ketaatan, biarawan-biarawati menyerahkan kepada Allah kehendaknya sendiri secara penuh sebagai korban. Lewat ketaatan itu mereka dipersatukan lebih tegas dan lebih pasti pada kehendak Ilahi yang menyelamatkan. Maka sesuai teladan Kristus yang datang untuk melakukan kehendak Bapa (bdk, Yoh 4:34;5:30; Ibr 10:7; Mzm 39:9) dan "yang menerima rupa hamba" serta belajar taat (Ibr 5;8), hendaknya para religius atas dorongan Roh Kudus, dalam iman mematuhi para pemimpin yang mewakili Allah. Hendaknya melalui mereka itu para religius dituntut untuk melayani semua saudara dalam Kristus, seperti Kristus sendiri demi kepatuhan-Nya kepada Bapa telah melayani para saudara-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (lih. Mat 20:28; Yoh 10:14-18). Begitulah mereka semakin erat terikat untuk melayani Gereja, dan berusaha mencapai "tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus" (lih.Ef 4:13).

  • Makna Kristologis Ketaatan Religius

Ketaatan yang dibaktikan berdimensi kristologis, artinya ketaatan para religius yang mengikat dirinya dengan kaul mendasarkan ketaatannya pada ketaatan Kristus. Makna terdalam dari ketaatan yang dibaktikan harus segera dihubungkan dengan sumbernya, yaitu ketaatan Kristus kepada Allah. Di atas landasan ketaatan Kristus inilah ketaatan kaum religius mempunyai arti, punya daya pikat, punya kekuatan yang mampu mengubah setiap pribadi yang hendak hidup menurut keteladanan ketaatan Kristus.

  • Ketaatan Terhadap Pemimpin Komunitas

Memahami pokok ini, kiranya LG 44, 45 dan KHK. Kanon, 590 dan KHK. Kanon, 601, secara eksplisit menunjukkan hubungan antara ketaatan dengan otoritas pemimpin tarekat. Pendasarannya jelas bahwa ikatan ketaatan antara seorang religius dengan pimpinan tarekat maupun pemimpin komunitas berbasis pada ikatan ketaatan suci. Melalui kaul-kaul atau ikatan suci lainnya, setiap religius mewajibkan dan mengikat diri dengan nasihat-nasihat Injil, serta manifestasi yang dituntut dari pelaksanaannya. Landasan ketaatan religius berdasar pada kaul yang dibaktikan dengan penuh cinta kepada Allah dan segera menghubungkan dirinya secara istimewa dengan Gereja dan misterinya. KHK 601, mengungkapkan dengan jelas landasan kanonis ini:

Dengan nasihat injili ketaatan yang diterima dalam semangat iman dan cinta kasih dalam mengikuti jejak Kristus yang taat sampai mati, mewajibkan tunduk terhadap pemimpin-pemimpin yang sah, selaku wakil Allah, bila mereka memerintahkan sesuatu seturut konstitusi masing-masing.

Kaum religius yang hidup dalam suatu tarekat dan tinggal dalam komunitas-komunitas religius adalah pribadi-pribadi yang membaktikan diri kepada Tuhan, dan memanifestasikan pembaktian itu dalam suatu relasi antar pribadi. Pada hakikatnya pribadi-pribadi religius ini memiliki harkat dan martabat sebagai anak-anak Allah. Dan perwujudan martabat sebagai anak Allah itu hendak dinyatakan dalam suatu kehidupan komunitas persaudaraan. Sebagai suatu komunitas, semua anggota menjalankan suatu tugas kenabian. Tugas kenabian ini berarti menjadi tanda yang mewartakan bahwa persaudaraan dan kebersamaan ini dibuat dalam suatu keyakinan iman bersama bahwa perwujudannya dapat terealisasi dan bukan suatu yang mustahil untuk diwujudkan. Dalam keyakinan inilah setiap orang mampu menjunjung tinggi kemanusiaannya ketika mereka mampu menjadi saudara bagi yang lain. Dalam konteks ini urgensi pemimpin dalam kebersamaan dan persaudaraan sebuah komunitas religius dihadirkan.

Pada zaman sekarang ini ketaatan terhadap kuasa terkadang sebagai hal yang terlalu mahal, sebab ketaatan dalam banyak hal mau diganti dengan dialog. Zaman sekarang ditandai dengan adanya dialog dan bukannya ketaatan mati terhadap pemimpin. Dalam rangka membicarakan mengenai ketaatan dalam hidup religius, haruslah dibedakan dua macam ketaatan. Profesi atas ketiga nasihat Injil yang menyangkut ketaatan, berarti ketaatan dalam hubungannya dengan tujuan hidup religius, yakni mau berusaha untuk mau hidup dengan Kristus, menyerahkan hidup seutuhnya kepada Allah dan Allah menjadi yang paling dicintai dalam hidupnya. Dalam rangka ketaatan religius itu, seorang religius haruslah taat kepada pimpinannya.

  • Komunikasi 

Menurut Sondang Siagian, (1999:55) pada hakikatnya komunikasi berarti mengalihkan suatu pesan dari satu pihak kepada pihak lain. Suatu proses komunikasi dapat dikatakan berlangsung efektif apabila pesan yang ingin disampaikan oleh sumber pesan tersebut diterima dan diartikan oleh sasaran komunikasi, penerima pesan dalam bentuk, jiwa dan semangat yang persis sama seperti yang diinginkan dan dimaksudkan oleh sumber pesan tersebut. Untuk itu komunikator sebagai sumber pesan perlu memperhatikan empat hal, yaitu : (1) keterampilan dalam menyusun pesan sehingga jelas baginya sendiri yang pada gilirannya memudahkan kegiatan kodenisasi, (2) sikap yang tepat dalam menyampaikan pesan tersebut berdasarkan nilai-nilai sosial yang berlaku, terutama nilai-nilai sosial yang dianut oleh pihak penerima pesan tersebut, (3) pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang, tingkat pendidikan dan kedudukan penerima pesan, baik dalam organisasi maupun yang menyangkut pihak-pihak di luar organisasi, (4) respons apa yang diharapkan dari penerima pesan.

Mediator yang andal, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam menangani situasi konflik seperti yang telah disinggung pada poin kedua di atas bahwa pemeliharaan hubungan baik keluar maupun ke dalam dilakukan melalui proses komunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Berbagai kategori keputusan yang diambil disampaikan kepada para pelaksana melalui jalur komunikasi yang terdapat dalam organisasi. Bahkan sesungguhnya interaksi yang terjadi antara atasan dengan bawahan, antara sesama pejabat pimpinan dan antara sesama petugas pelaksana kegiatan operasional dimungkinkan terjadi dengan serasi berkat terjadinya komunikasi yang efektif. Demikian pula halnya dengan hubungan ke luar. Inilah yang disebut salah satu fungsi pimpinan yang bersifat hakiki adalah komunikasi secara efektif. Demikian pentingnya komunikasi yang efektif itu dalam usaha peningkatan kemampuan memimpin seseorang sehingga dapat dikatakan bahwa penguasaan teknik-teknik komunikasi dengan baik merupakan conditio sine qua non bagi setiap pejabat pimpinan ( Sondang P. Siagian, 1999:55). Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa timbulnya perselisihan, perbedaan paham dan bahkan konflik, terutama disebabkan oleh tidak adanya komunikasi yang efektif antara pihak-pihak yang saling berhubungan, apakah itu melalui tulisan, komunikasi yang dilakukan secara lisan, dengan mendengarkan atau dengan cara-cara lain. Pada hal sebagian besar  waktu terbangun seseorang sekitar 70 % digunakan untuk komunikasi.

c.  Persaudaraan Berdasar Pada Hati

Kepemimpinan MSC bermuara pada hati. Hati menjadi pusat atau titik sentral bagi para anggota MSC dalam menjalankan tugas perutusannya. Hal ini sejalan dengan Yoh 13: 34 yang menyatakan:

Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.

Sebagai anggota MSC dalam hidupnya harus berdasarkan hati. Hatilah yang paling banyak berbicara tentang penghayatan hidup yang mengandung banyak makna. Dengan demikian dalam tulisannya Pater Jules Chevalier mengungkapkan gagasan permenungannya (Jules Chevalier, 1855) sebagai berikut:

Cinta kasih yang besar akan memenuhi komunitas. Para anggota akan saling menaruh hormat yang besar. Mereka akan berbicara lemah lembut dan ramah tamah, menghindari segala sesuatu yang memberi kesan kepura-puraan dan berpuas diri; mereka berusaha untuk tidak pernah mendominasi atau menonjolkan diri; mereka akan berusaha untuk melaksanakan keutamaan Hati Yesus, yaitu kemurahan-Nya dan kerendahan Hati-Nya.

Dalam Yoh 10: 1-21 Yesus menegaskan bahwa Dia seperti gembala yang mengenal domba-dombanya dan demikian juga dombanya mengenal gembalanya. Dalam teks ini dipaparkan relasi yang begitu dekat antara gembala dan dombanya. Seorang gembala akan memikirkan dan memberikan yang terbaik untuk dombanya, dan juga domba akan mengikuti ke mana gembala menuntun mereka. Ada ikatan yang begitu erat yang terjalin dalam relasi ini. Demikianlah diharapkan dalam hidup komunitas, seorang pemimpin harus mengenal dan dikenal oleh anggotanya. Dengan saling mengenal maka akan tercipta persaudaraan dan saling mencintai satu sama lain.

d. Pengambilan Keputusan

Dalam Matius 16: 24-25 ditegaskan bahwa barang siapa yang mengikuti Yesus, harus menyangkal diri dan memikul salib, karena barang siapa yang menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya tetapi barang siapa kehilangan nyawanya demi Aku dan Kerajaan Allah akan memperolehnya. Sikap tegas harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Kepemimpinan tidak bermaksud untuk membuat orang lain senang. Ia harus tegas dalam menghadapi pengaruh keluarga, dan juga tegas dalam menjalin relasi dalam arti bukan atas rasa senang dan tidak senang. Karena itu diperlukan kepercayaan diri. Seorang yang memandang positif terhadap dirinya akan mampu bangkit dari pengalaman kegagalan dalam hidupnya. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Seorang pemimpin yang tabah adalah seorang yang sabar. Santo Paulus mengatakan, katabahan adalah bagian integral dari seorang pemimpin ( bdk 2 Kor 7 -- 10).

e. Spirit Pater Jules Chevalier

Pater Jules Chevalier dalam semangat pengabdiannya telah mencoba melaksanakan semangat kepemimpinan seperti gambaran gembala yang baik (bdk Yoh 10: 11). Kerelaan berkorban yang dimiliki Pater Jules Chevalier telah membuktikan pelayanan total yang hendaknya menjadi semangat pelayanan semua anggota MSC. Salah satu kualifikasi seorang pemimpin dalam biara/komunitas adalah rendah hati, tetapi tidak minder/rendah diri. Pemimpin yang sombong berbahaya, karena akan memakai kepemimpinannya untuk ambisi pribadinya dengan mengurbankan bawahannya, anggotanya atau anak buahnya. Orang yang minder cenderung otoriter. Seorang yang rendah hati biasanya demokratis memberi kesempatan kepada orang lain yang mampu mengerjakan. Dengan kata lain memberi kepercayaan atau mendelegasikan suatu tugas kepada orang lain tanpa ada pretensi yang negatif.

f. Hidup Rohani

Sebagai aplikasi dari cita-cita luhur Pater Pendiri tersebut maka  sebagai pemimpin dalam komunitas MSC haruslah arif dan bijaksana dan bersifat spiritual, diterangi terutama oleh pengetahuan para kudus, tak tergoyahkan, serius tanpa kepura-puraan, tegas, tapi tidak keras, baik hati, tapi tidak lemah, simpatik, tapi bukan untuk mencari perhatian. Selain sifat-sifat budi dan hati ini, ia juga cinta akan doa dan meditasi, tekun bekerja, sungguh rendah hati, rajin dan mengamalkan cinta kasih. Seraya setia menaati peraturan, ia merupakan suriteladan dalam segala aspek. Ia orang yang tidak memihak, tanpa prasangka, dijiwai oleh semangat iman, dan dibimbing oleh motivasi yang murni-bersih, ia akan memakai kewenangannya hanya demi kemuliaan Allah dan kesejahteraan tarekat. Ia tidak akan bertindak dengan sewenang-wenang, tapi selalu dengan kebijaksanaan dan pertimbangan yang matang.

g. Hidup Bersama

Pemimpin yang baik akan kelihatan dalam hubungannya dengan sesama. Perhatian menjadi faktor yang sangat menentukan dalam interaksi dengan orang lain. Dalam pertemuan ia memperhatikan apa yang dikatakan orang lain. Orang akan merasa senang dan bangga bila pendapatnya didengarkan dan diperhatikan. Relasi yang baik memegang peranan penting bagi peranan seorang pemimpin dalam suatu komunitas.  Relasi pimpinan yang sehat akan diperkuat dengan membangun suatu budaya penghargaan satu sama lain. Pemimpin yang bijaksana akan mengayomi semua ide yang berbeda. Pemimpin tidak bisa menyamakan semua orang. Perbedaan yang ada dalam komunitas kadang menimbulkan konflik satu sama lain. Peranan pemimpin dalam hal ini begitu penting yakni menjadi fasilitator yang memperlancar hubungan dalam komunitas. Kedamaian terdalam dari hati seorang pemimpin akan mempengaruhi seluruh suasana komunitas.

Dalam pengalaman hidupnya Pater Jules Chevalier senantiasa terbuka terhadap sesama yang ada disekitarnya. Sifat keterbukaan ini terlihat dalam sikap dan keterbukaannya menerima segala sesuatu dalam hidupnya. Pater Jules Chevalier menyadari bahwa sebagai pemimpin dirinya bukan orang yang sempurna, maka dia tetap menerima masukan dalam kepemimpinannya. Bahkan sampai akhirnya dia terbuka untuk melepaskan jabatan kepemimpinannya ini dengan merelakan dirinya hancur dan menderita asalkan kongregasinya tetap berkembang dan menghasilkan banyak tuaian untuk menuai kebun anggur di ladang Tuhan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, Heinrich J. (2002). Discipleship. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Bass, Bernard M. (2002). Kepemimpinan Transformasional. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, yang disadur sebagian oleh Sunarto & Jajuk Herawati, Kepemimpinan Transformasional Karismatis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Blankchard, Ken and Hodges Phil. (2006). Lead Like Jesus. Tangerang: Percetakan Praninta Offset.

Cuskelly, E.J. (1975). Jules Chevalier Man With A Mission. Rome: Casa Generalizia Missionari Del Sacro Coure. Stampa: A.C. Grafiche Citta' Di Castello.

______, (2004). Berjalan di Jalan Yesus. (Veeger K.J, Penerjemah). Jakarta: Komisi Spiritualitas MSC Provinsi Indonesia.

Dale Timpe, A. (1991). Motivasi Pegawai. Jakarta: PT Elex Media Komputido Kelompok Gramedia.

Deluxe Encyclopedic. (1996). Websters Comprehensive Dictionary, of the English  Language. Florida: Trident Press International.

Dokumen Konsili Vatikan II. (1993). (R. Hardawiryana, Penerjemah). Jakarta: Dokumen dan Penerangan KWI.

______, (1992). Kinerja. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Drummond Helga. (1995). Pengambilan Keputusan yang Efektif. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Gibson, Ivancevich, dan Donnelly. (1996). Organisasi. Edisi kedelapan. Jakarta: Binarupa Aksara.

Golmen, Daniel. (2003). Leadership That Gets Results. Yogyakarta, Penerbit Asmara Books.

Groome, Thomas H. (1981). Christian Religius Education: Sharing Our Story and Vision. New York: Harpers & Row, Publishers, yang disadur sebagian oleh P. Rafael Hutabarat, Lima Langkah Pedagogis dalam Pendidikan Iman Kristen: Suatu Pendekatan melalui "Shared Praxis". Jakarta: Sekretariat PWI Kateketik, 1986.

______, (1990). A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry. New York: Harper Collins, 1990, yang disadur sebagian oleh Drs. F.X. Heryatno W.W., SJ, Shared Christian Praxis: Suatu Model Berkatekese (Seri Puskat No. 356). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat, 1997.

Hadari, Nawawi. H. (2003). Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Huber, Th. SJ. (1981). Katekese Umat. (Ed.). Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Jacobs, Tom. SJ.(1990). Ketaatan Kepada Tuhan Adalah Ketaatan Tanpa Syarat. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Kartono Kartini. (1986). Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: CV Rajawali.

Keating, Charles J. (2005). Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Konstitusi dan Statuta MSC. (2000). Rome General House.

Martasudjita, E. (2001). Kepemimpinan Transformatif. Edisi ke-6. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Kanisius.

______, (2001). Komunitas Transformatif. Edisi ke-6. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Provinsialat MSC. (2002). Hasil Kapitel Provinsi Indonesia. Hening Griya: Kapitel Indonesia.

Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Reksusilo. (1993). Pemimpin Komunitas. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Sardi, Martino.(2005). Profil Kepemimpinan Dalam Lembaga Hidup Bakti. Seri 7. Yogyakarta.

Siagian, Sondang. P. (1994). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Edisi revisi ke-4. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Soenarja, A. SJ. (1972). Fungsi Pimpinan Religius di Masa Sekarang. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Kanisius.

Sumarno, Ds. M. SJ. (2005). Program Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama Katolik Paroki.(Diktat Mata Kuliah Semester V). Yogyakarta. IPPAK-USD.

Tostain, Jean. MSC. (1997). Pater Jules Chevalier siapakah Dia?.Bogor: Percetakan Yayasan Gapura.

______, (2004). Jules Chevalier, Latar Belakang Jaman dan Tradisi Rohaninya. (G. Untu. Viany. MSC. Penerjemah). Jakarta: Provinsialat MSC Indonesia.

Totok, S.W. (2001). Seri Pastoral 328. Yogyakarta: Pusat Pastoral.

Veithzal, Rivai. (2006). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Edisi ke - 2-3. Jakarta: Divisi Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada.

Whitehead, Evelyn Eaton & Whitehead James, D. (1991). The Promise Of Partnership. San Fransisco: A Devision of Harper Collins Publishers.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun