Mohon tunggu...
Marfuah Latief
Marfuah Latief Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Salam silaturahim. (^_^.)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ruang Sesak Itu

11 September 2012   17:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:36 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hanif,

badannya jangkung, potongan rambut ala Pak SBY, dengan poni dibelah

sebelah kanan plus minyak rambut yang membuat rambutnya mengkilat. Ya,

andai saja ada semut nempel di rambutnya dipastikan kepeleset karena

saking licinnya. Mahasiswa asal kota Brebes yang terkenal dengan telur

asin ini mengenakan kemeja batik lurik ala pejabat dipadukan dengan

celana bahan jahitan emaknya.

Hanif, seperti biasanya terlihat rapi dan bersahaja.

Seperti biasanya lagi, dia tiba di ruang kelas dengan menenteng buku

linguistik dan satu-dua buah buku ssejenis lainnya. Sekilas Hanif

melihat sekeliling ruangan kuliah ini. Ya, ruangan ukuran 4X6 yang

dihuni sejumlah 40 mahasiswa. Ruang kuliah yang penuh sesak ini, terasa

pengap meski terpasang dua buah AC yang telah rusak dan sebagai

gantinya dipasang dua kipas angin yang tidak begitu membantu orang yang

ada di dalamnya keluar dari panasnya ruangan ini.

Dalam ruangan sesak ini mahasiswa yang melakukan aktivitasnya

sendiri-sendiri, ada sekelompok mahasiswa yang asyik ngobrolin artis

yang doyan kawin cerai-kawin cerai, ketimbang ngobrolin masalah pelik di

negeri ini. Ada juga yang asik mashuk memainkan hapenya, ngetwit ria

dan mungkin juga membuka jejaring sosal lainya. Atau ada juga yang hanya

sekedar mencat-mencet tombol hape saja karena saking dirasa enggak ada

pekerjaan dan masih ada berbagai aktivitas lainnya ada di ruangan

sesak ini.

Aku yang duduk di deretan bangku nomor dua, menghabiskan waktu untuk

memperhatikan sekelilingku. Ya, seperti Hanif ini, sesampainya dia di

kelas langsung mencari bangku paling depan, duduk tepat di depanku.

Setelah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, dibukanya buku yang

di teng-tengnya tadi.

Hanif, lagi-lagi membuatku tidak bisa memalingkan wajahku padanya.

Memperhatikan setiap tingkah laku yang dibuatnya. Bukan karena aku

terlalu memperhatikanya, tapi tampilannya yang berbeda dengan mahasiswa

lain membuatku menjadi sering memperhatikannya secara tidak langsung.

Hanif, dibukanya lembar demi lembar buku yang diletakannya di meja,

sambil berkomat-kamit mulutnya dan mungkin sedang menghafal materi yang

akan diujikan nanti. Ya, hari ini ada ujian salah satu mata kuliah

program studi, Linguistik Umum. Hanif, lagi-lagi setiap kali akan ujian,

aku selalu mendapatinya dengan tindakan yang sama, belajar! Berkutat

dengan buku-bukunya.

Tak hanya Hanif yang selalu menyita waktuku untuk sekedar melihat

tingkah polahnya. Ada juga mahasiswa yang rambutnya gondrong sebahu ala

preman pasar. Badan kurus kerontang. Bajunya kumal dengan sobekan di

lengan kanan kaos lusuhnya dipadukan dengan celana jeans belel. Wajahnya

lesu dan tampak kantung matanya kehitam-hitaman sepertinya habis

begadang semalaman. Dahlan, mahasiswa dengan tampilan ala anak band ini

masuk kelas dengan tergesa-gesa. Keringat di kening sebelah kirinya

mengalir menyusuri pipi penuh jerawatnya.

Dahlan, memilih duduk di bangku belakang paling pojok sendiri. Dengan

cekatan dia mengeluarkan selembar kertas. Membolak-balikan buku yang dia

keluarkan dari tas yang tak kalah kumal dari bajunya dan mencoba

menuliskan sesuatu di atasnya. Sudah saya duga sebelumnya, seperti

hari-hari biasanya Dahlan membuat contekan.

“Dahlan gila kau, bikin contekan di kelas! Enggak modal, bikin contekan

tu di kos! Kaya aku ini bikin contekan sambil belajar, jadi tulis

intinya saja jadi kalau pas nyontek tinggal lihat clue-nya, lebih

efisien,” celetuk Ryan seorang mahasiswa yang duduk di sampingnya,

seraya memberi nasehat sambil tertawa dan menepuk punggung

Dahlan. Dahlan hanya cengar-cengir, sambil lalu menulis contekan. Tidak

cukup menulis di atas kertas, Dahlan juga menulis contekan di atas meja

kuliahnya.

Pandanganku kembali menuju ke bangku depanku. Masih ada Hanif yang

khusuk menyelami bukunya. Tak ada perubahan sikap hanya saja sesekali

tangan kanannya mengelus poni sempongan kanan kebanggaannya itu.

“Sreett...,” suara tangannya beradu dengan rambutnya.

Sementara itu, dari kejauhan terdengar suara sepatu hak tinggi dari

lorong gedung berlantai tiga ini. Suara sepatu yang tidak asing lagi

bagiku. Ya, suara sepatu milik dosen Lingusitik Umum, Bu Astin. Sepatu

berhak tinggi 10 cm itu yang bila dikenakan setiap langkah akan

menimbulkan suara yang bagai suara tapal kuda yang bersinggungan

dengan aspal.

Suara semakin mendekat. Benar, seorang wanita mengenakan hem warna biru

dongker serasi dengan celananya dipadukan dengan jilbab warna biru laut

yang dihias sedemikian rupa menyerupai istrinya ustadz Solmed.

“Selamat pagi semuanya, seperti rencana yang Ibu katakan minggu kemarin,

setiap dua minggu sekali Ibu adakan ujian. Silahkan tutup buku kalian

dan kerjakan soal dengan baik,” jelas Bu Astin dengan nada lembutnya,

seraya menyodorkan setumpuk lembar soal ujian kepada Hanif dan

menyuruhnya membagikan kepada teman-teman.

Ujian pun dimulai, sesekali aku mendapati Dahlan dengan mata menghadap

kedepan mencoba memastikan keadaan aman, lalu sibuk membuka kertas

contekannya. Kala itu Bu Astin sedang sibuk menerima telepon dari entah

siapa. Tapi ketika itu, setelah aku samar-samar mendengar percakapan,

aku yakin kalau itu telepon dari orang penting di gedung H, Rektorat.

Ya, semester ini Bu Astin selain sibuk menjadi dosen, dia juga sibuk

menjadi staf Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Oleh karena itu,

tidak jarang Bu Astin meninggalkan kelas dengan setumpuk tugas yang

dibebankan pada mahasiswanya. Bu Asti hanya bisa beralasan. Pekerjaannya

yang nyambi menjadi staf di gedung rektorat itu telah menyibukanya,

sehingga tidak bisa masuk memberi materi. Meskipun begitu, kami

mahasiswa merasa asyik-asyik saja, meski tanpa pelayanan yang maksimal.

Karena hal ini menguntungkan mahasiswa, tak perlu repot-repot

mendengarkan ceramah dari dosen. Ah, tapi itu hanya pikir picikku saja.

Kali ini aku medapati Hanif sedang konsentrasi mengerjakan soal

ujiannya. Ketika itu aku selalu ingin mengacungkan jempol kepadanya.

Ketika teman-teman mahasiswa lain sedang asyik mencontek, dia tetap

dalam pendirian mengerjakan soal ujian dengan kemampuannya sendiri.

Percaya diri dengan seberapapun nilai yang akan didapatnya.

Waktu ujian selesai tepat pukul 12.30 WIB, lembar jawab dikumpulkan.

Dengan tenang Hanif menyerahkan lembar jawabnya, sedangkan Dahlan tak

kalah tenang dengan senyum khasnya dia letakkan lembar jawabnya di meja

dosen.

“ Contekanmu manjur ya Lan?” batinku.

Setelah semua sudah selesai mengumpulkan lembar jawab, Bu Astin

membagikan hasil ujian dua minggu lalu. Satu persatu hasil ujian

dibagikan. Orang pertama yang menerima hasil ujian adalah Dahlan. Dia

terlihat percaya diri menerima hasil ujian berkat menconteknya itu.

Sekarang giliran Hanif menerima hasil ujiannya, dengan tak kalah percaya

diri dari Dahlan. Diapun langsung duduk menuju bangkunya. Setelah

duduk, dia menyadarkan badanya di sandaran kursi. Tunggu! Aku melihat

ada perubahan raut wajah di sana. Wajah Hanif terlipat dua belas!

____###____

Dua minggu setelah pembagian hasil ujian telah berlalu. Kini, seperti

dua minggu sebelumnya. Ujian dua mingguan dimulai lagi. Seperti biasanya

lagi, aku memilih duduk di bangku deretan nomor dua. Alasannya,

disamping tidak terlalu mencolok seperti duduk di bangku depan, bangku

nomor dua aku rasa tidak begitu menjadi pusat perhatian jika harus

mencontek saat ujian. Karena, biasanya mahasiswa yang duduk di belakang

justru lebih banyak dicurigai melakukan tindakan pencontekan. Tapi itu

hanya prasangkaku saja.

Hari begitu panas. Seperti hari-hari biasanya, ruang kuliah tak kalah

panas dari udara di luar sana. Mahasiswa sibuk dengan aktivitasnya

sendiri-sendiri. Tidak seperti minggu-minggu sebelumnya, aku tidak

mendapati Hanif yang selalu menenteng buku dan duduk di depanku lagi.

“Eh kemana tu orang?” pikirku dalam hati. Bukan apa-apa, jika aku tidak

melihatnya hari ini. Namun, ternyata secara tidak langsung kebiasaanku

memperhatikan Hanif di dalam kelas, membuatku tahu jika ada yang aneh

atau tidak biasa dilakukan Hanif.

Seperti hari ini, Hanif tidak biasanya datang lima menit sebelum

ujian dilangsungkan. Biasanya, dia datang lima belas menit sebelumnya

dengan buku-buku yang ditentengnya. Tak lama kemudian, Hanif datang.

“Eh, itu Hanif si Kutu Buku baru datang,” celetukku dalam hati, lagi.

“Tunggu! Mana buku-buku yang biasa melekat di tanganmu? Terus... eh eh

mau duduk dimana kamu? Bangku kebanggaanmu kan di sini, bangku di depan

tempat dudukku,” lagi-lagi aku hanya bisa membatin seraya melihatnya

berjalan menuju ke bangku di belakang.

Hanif tiba di ruang sesak ini berbeda dengan minggu-minggu lalu. Hanya

baju batik, celana bahan buatan emaknya dan tak lupa poni sempongan

sebalah kanan ala Pak SBY yang mengkilat itu yang tak pernah lepas

darinya. Kini, dia datang tanpa buku-bukunya, dia memilih duduk di

bangku belakang. Duduk di samping Dahlan.

Tanpa sadar, Bu Astin sudah berada di kelas dan telah membagikan lembar

soal ujian. Aku ambil lembar soal ujian yang disosorkan Bu Astin padaku.

Sembari memegang lembar soal, mataku penasaran untuk melihat apa yang

dilakukan Hanif. Aku pun menoleh ke belakang. “Duh Hanif... kertas apa

yang perlahan kau ambil yang terselip di saku kemeja batikmu itu?” lagi

dan lagi aku membatin.

Aku kembali menghadap ke depan, melihat lembar soal yang di sodorkan Bu

Astin tadi. “Hanif, semoga nilaimu bagus untuk ujian minggu ini,”

batinku kembali seraya mengambil kertas kusam di saku celana jeansku.

“Minggu ini pasti mendapat nilai bagus lagi,” batinku seraya melihat Bu

Astin yang berada di balik pintu sedang asyik menelepon.

Dalam ruang bisu, Semarang, 20 November 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun