Hanif,
badannya jangkung, potongan rambut ala Pak SBY, dengan poni dibelah
sebelah kanan plus minyak rambut yang membuat rambutnya mengkilat. Ya,
andai saja ada semut nempel di rambutnya dipastikan kepeleset karena
saking licinnya. Mahasiswa asal kota Brebes yang terkenal dengan telur
asin ini mengenakan kemeja batik lurik ala pejabat dipadukan dengan
celana bahan jahitan emaknya.
Hanif, seperti biasanya terlihat rapi dan bersahaja.
Seperti biasanya lagi, dia tiba di ruang kelas dengan menenteng buku
linguistik dan satu-dua buah buku ssejenis lainnya. Sekilas Hanif
melihat sekeliling ruangan kuliah ini. Ya, ruangan ukuran 4X6 yang
dihuni sejumlah 40 mahasiswa. Ruang kuliah yang penuh sesak ini, terasa
pengap meski terpasang dua buah AC yang telah rusak dan sebagai
gantinya dipasang dua kipas angin yang tidak begitu membantu orang yang
ada di dalamnya keluar dari panasnya ruangan ini.
Dalam ruangan sesak ini mahasiswa yang melakukan aktivitasnya
sendiri-sendiri, ada sekelompok mahasiswa yang asyik ngobrolin artis
yang doyan kawin cerai-kawin cerai, ketimbang ngobrolin masalah pelik di
negeri ini. Ada juga yang asik mashuk memainkan hapenya, ngetwit ria
dan mungkin juga membuka jejaring sosal lainya. Atau ada juga yang hanya
sekedar mencat-mencet tombol hape saja karena saking dirasa enggak ada
pekerjaan dan masih ada berbagai aktivitas lainnya ada di ruangan
sesak ini.
Aku yang duduk di deretan bangku nomor dua, menghabiskan waktu untuk
memperhatikan sekelilingku. Ya, seperti Hanif ini, sesampainya dia di
kelas langsung mencari bangku paling depan, duduk tepat di depanku.
Setelah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, dibukanya buku yang
di teng-tengnya tadi.
Hanif, lagi-lagi membuatku tidak bisa memalingkan wajahku padanya.
Memperhatikan setiap tingkah laku yang dibuatnya. Bukan karena aku
terlalu memperhatikanya, tapi tampilannya yang berbeda dengan mahasiswa
lain membuatku menjadi sering memperhatikannya secara tidak langsung.
Hanif, dibukanya lembar demi lembar buku yang diletakannya di meja,
sambil berkomat-kamit mulutnya dan mungkin sedang menghafal materi yang
akan diujikan nanti. Ya, hari ini ada ujian salah satu mata kuliah
program studi, Linguistik Umum. Hanif, lagi-lagi setiap kali akan ujian,
aku selalu mendapatinya dengan tindakan yang sama, belajar! Berkutat
dengan buku-bukunya.
Tak hanya Hanif yang selalu menyita waktuku untuk sekedar melihat
tingkah polahnya. Ada juga mahasiswa yang rambutnya gondrong sebahu ala
preman pasar. Badan kurus kerontang. Bajunya kumal dengan sobekan di
lengan kanan kaos lusuhnya dipadukan dengan celana jeans belel. Wajahnya
lesu dan tampak kantung matanya kehitam-hitaman sepertinya habis
begadang semalaman. Dahlan, mahasiswa dengan tampilan ala anak band ini
masuk kelas dengan tergesa-gesa. Keringat di kening sebelah kirinya
mengalir menyusuri pipi penuh jerawatnya.
Dahlan, memilih duduk di bangku belakang paling pojok sendiri. Dengan
cekatan dia mengeluarkan selembar kertas. Membolak-balikan buku yang dia
keluarkan dari tas yang tak kalah kumal dari bajunya dan mencoba
menuliskan sesuatu di atasnya. Sudah saya duga sebelumnya, seperti
hari-hari biasanya Dahlan membuat contekan.
“Dahlan gila kau, bikin contekan di kelas! Enggak modal, bikin contekan
tu di kos! Kaya aku ini bikin contekan sambil belajar, jadi tulis
intinya saja jadi kalau pas nyontek tinggal lihat clue-nya, lebih
efisien,” celetuk Ryan seorang mahasiswa yang duduk di sampingnya,
seraya memberi nasehat sambil tertawa dan menepuk punggung
Dahlan. Dahlan hanya cengar-cengir, sambil lalu menulis contekan. Tidak
cukup menulis di atas kertas, Dahlan juga menulis contekan di atas meja
kuliahnya.
Pandanganku kembali menuju ke bangku depanku. Masih ada Hanif yang
khusuk menyelami bukunya. Tak ada perubahan sikap hanya saja sesekali
tangan kanannya mengelus poni sempongan kanan kebanggaannya itu.
“Sreett...,” suara tangannya beradu dengan rambutnya.
Sementara itu, dari kejauhan terdengar suara sepatu hak tinggi dari
lorong gedung berlantai tiga ini. Suara sepatu yang tidak asing lagi
bagiku. Ya, suara sepatu milik dosen Lingusitik Umum, Bu Astin. Sepatu
berhak tinggi 10 cm itu yang bila dikenakan setiap langkah akan
menimbulkan suara yang bagai suara tapal kuda yang bersinggungan
dengan aspal.
Suara semakin mendekat. Benar, seorang wanita mengenakan hem warna biru
dongker serasi dengan celananya dipadukan dengan jilbab warna biru laut
yang dihias sedemikian rupa menyerupai istrinya ustadz Solmed.
“Selamat pagi semuanya, seperti rencana yang Ibu katakan minggu kemarin,
setiap dua minggu sekali Ibu adakan ujian. Silahkan tutup buku kalian
dan kerjakan soal dengan baik,” jelas Bu Astin dengan nada lembutnya,
seraya menyodorkan setumpuk lembar soal ujian kepada Hanif dan
menyuruhnya membagikan kepada teman-teman.
Ujian pun dimulai, sesekali aku mendapati Dahlan dengan mata menghadap
kedepan mencoba memastikan keadaan aman, lalu sibuk membuka kertas
contekannya. Kala itu Bu Astin sedang sibuk menerima telepon dari entah
siapa. Tapi ketika itu, setelah aku samar-samar mendengar percakapan,
aku yakin kalau itu telepon dari orang penting di gedung H, Rektorat.
Ya, semester ini Bu Astin selain sibuk menjadi dosen, dia juga sibuk
menjadi staf Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Oleh karena itu,
tidak jarang Bu Astin meninggalkan kelas dengan setumpuk tugas yang
dibebankan pada mahasiswanya. Bu Asti hanya bisa beralasan. Pekerjaannya
yang nyambi menjadi staf di gedung rektorat itu telah menyibukanya,
sehingga tidak bisa masuk memberi materi. Meskipun begitu, kami
mahasiswa merasa asyik-asyik saja, meski tanpa pelayanan yang maksimal.
Karena hal ini menguntungkan mahasiswa, tak perlu repot-repot
mendengarkan ceramah dari dosen. Ah, tapi itu hanya pikir picikku saja.
Kali ini aku medapati Hanif sedang konsentrasi mengerjakan soal
ujiannya. Ketika itu aku selalu ingin mengacungkan jempol kepadanya.
Ketika teman-teman mahasiswa lain sedang asyik mencontek, dia tetap
dalam pendirian mengerjakan soal ujian dengan kemampuannya sendiri.
Percaya diri dengan seberapapun nilai yang akan didapatnya.
Waktu ujian selesai tepat pukul 12.30 WIB, lembar jawab dikumpulkan.
Dengan tenang Hanif menyerahkan lembar jawabnya, sedangkan Dahlan tak
kalah tenang dengan senyum khasnya dia letakkan lembar jawabnya di meja
dosen.
“ Contekanmu manjur ya Lan?” batinku.
Setelah semua sudah selesai mengumpulkan lembar jawab, Bu Astin
membagikan hasil ujian dua minggu lalu. Satu persatu hasil ujian
dibagikan. Orang pertama yang menerima hasil ujian adalah Dahlan. Dia
terlihat percaya diri menerima hasil ujian berkat menconteknya itu.
Sekarang giliran Hanif menerima hasil ujiannya, dengan tak kalah percaya
diri dari Dahlan. Diapun langsung duduk menuju bangkunya. Setelah
duduk, dia menyadarkan badanya di sandaran kursi. Tunggu! Aku melihat
ada perubahan raut wajah di sana. Wajah Hanif terlipat dua belas!
____###____
Dua minggu setelah pembagian hasil ujian telah berlalu. Kini, seperti
dua minggu sebelumnya. Ujian dua mingguan dimulai lagi. Seperti biasanya
lagi, aku memilih duduk di bangku deretan nomor dua. Alasannya,
disamping tidak terlalu mencolok seperti duduk di bangku depan, bangku
nomor dua aku rasa tidak begitu menjadi pusat perhatian jika harus
mencontek saat ujian. Karena, biasanya mahasiswa yang duduk di belakang
justru lebih banyak dicurigai melakukan tindakan pencontekan. Tapi itu
hanya prasangkaku saja.
Hari begitu panas. Seperti hari-hari biasanya, ruang kuliah tak kalah
panas dari udara di luar sana. Mahasiswa sibuk dengan aktivitasnya
sendiri-sendiri. Tidak seperti minggu-minggu sebelumnya, aku tidak
mendapati Hanif yang selalu menenteng buku dan duduk di depanku lagi.
“Eh kemana tu orang?” pikirku dalam hati. Bukan apa-apa, jika aku tidak
melihatnya hari ini. Namun, ternyata secara tidak langsung kebiasaanku
memperhatikan Hanif di dalam kelas, membuatku tahu jika ada yang aneh
atau tidak biasa dilakukan Hanif.
Seperti hari ini, Hanif tidak biasanya datang lima menit sebelum
ujian dilangsungkan. Biasanya, dia datang lima belas menit sebelumnya
dengan buku-buku yang ditentengnya. Tak lama kemudian, Hanif datang.
“Eh, itu Hanif si Kutu Buku baru datang,” celetukku dalam hati, lagi.
“Tunggu! Mana buku-buku yang biasa melekat di tanganmu? Terus... eh eh
mau duduk dimana kamu? Bangku kebanggaanmu kan di sini, bangku di depan
tempat dudukku,” lagi-lagi aku hanya bisa membatin seraya melihatnya
berjalan menuju ke bangku di belakang.
Hanif tiba di ruang sesak ini berbeda dengan minggu-minggu lalu. Hanya
baju batik, celana bahan buatan emaknya dan tak lupa poni sempongan
sebalah kanan ala Pak SBY yang mengkilat itu yang tak pernah lepas
darinya. Kini, dia datang tanpa buku-bukunya, dia memilih duduk di
bangku belakang. Duduk di samping Dahlan.
Tanpa sadar, Bu Astin sudah berada di kelas dan telah membagikan lembar
soal ujian. Aku ambil lembar soal ujian yang disosorkan Bu Astin padaku.
Sembari memegang lembar soal, mataku penasaran untuk melihat apa yang
dilakukan Hanif. Aku pun menoleh ke belakang. “Duh Hanif... kertas apa
yang perlahan kau ambil yang terselip di saku kemeja batikmu itu?” lagi
dan lagi aku membatin.
Aku kembali menghadap ke depan, melihat lembar soal yang di sodorkan Bu
Astin tadi. “Hanif, semoga nilaimu bagus untuk ujian minggu ini,”
batinku kembali seraya mengambil kertas kusam di saku celana jeansku.
“Minggu ini pasti mendapat nilai bagus lagi,” batinku seraya melihat Bu
Astin yang berada di balik pintu sedang asyik menelepon.
Dalam ruang bisu, Semarang, 20 November 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H