seraya memberi nasehat sambil tertawa dan menepuk punggung
Dahlan. Dahlan hanya cengar-cengir, sambil lalu menulis contekan. Tidak
cukup menulis di atas kertas, Dahlan juga menulis contekan di atas meja
kuliahnya.
Pandanganku kembali menuju ke bangku depanku. Masih ada Hanif yang
khusuk menyelami bukunya. Tak ada perubahan sikap hanya saja sesekali
tangan kanannya mengelus poni sempongan kanan kebanggaannya itu.
“Sreett...,” suara tangannya beradu dengan rambutnya.
Sementara itu, dari kejauhan terdengar suara sepatu hak tinggi dari
lorong gedung berlantai tiga ini. Suara sepatu yang tidak asing lagi
bagiku. Ya, suara sepatu milik dosen Lingusitik Umum, Bu Astin. Sepatu