"Ayah, lihat apa yang aku peroleh."
"Untuk apa kau bawa ular itu? Hati -- hati gigitannya berbisa anakku." ucap Rashad cemas.
"Ayah tenang saja. Aku sudah terbiasa menghadapi ular seperti ini." jawab Teana singkat.
Teana segera memotong kepala ular itu dengan jambia miliknya. Darah mengucur ke atas pasir. sebelum darah itu habis, Teana menampung sedikit darah ular itu di telapak tangan kirinya. Lalu ia menyodorkan tangannya kepada Rashad agar Ayahnya bisa mencium bau darah ular itu. Dengan ekspresi heran, Rashad melakukan perintah Teana. Ia mencium bau darah di telapak tangan Teana. Ia mengernyitkan hidungnya. Bau tak sedap memenuhi lubang hidungnya.
"Cukup anakku... Cukup. Ayah tidak tahan baunya." ucap Rashad sambil menutupi hidungnya menggunakan burka miliknya.
"Apakah Ayah paham maksudku?"
"Iya, Ayah paham. Kau ingin membandingkan bau darah ular dengan bau darah jasad. Dan itu sama hasilnya. Sangat anyir."
"Bukan itu maksudku Ayah." ucap Teana sambil membersihkan darah di telapak tangannya menggunakan pasir.
"Lalu apa?"
"Aku menduga bahwa sang pendeta mati dibunuh. Dan pembunuhnya bukan manusia."
"Apa? Kau jangan membuatku panik anakku. Jangan membuat kesimpulan yang tidak beralasan."