"Ayah benar. Dan itu sangat menggangguku."
"Semua warna darah itu sama, semuanya berwarna merah. Ayah rasa tidak ada yang aneh."
"Baunya...." jawab Teana singkat.
"Kenapa dengan baunya?"
"Bau darah di tubuh jasad sang pendeta persis sekali dengan bau darah di lengan Ayah kemarin. Aku tidak salah mengenali bau itu."
"Memangnya kenapa dengan bau darah?"
"Darah yang ini bukanlah darah manusia Ayah."
"Maksudmu?"
"Ayah tunggu sebentar."
Kemudian Teana berjalan menjauhi kuil. Ia menaiki bukit yang tidak terlalu curam. Sambil membawa ranting pohon kering, ia memasukkan ujung ranting itu kedalam sebuah lubang sebesar kepalan tangan manusia. Tapi sebelumnya, ia mengiris sedikit ujung jarinya dengan jambia, mengoleskan darahnya di ujung ranting itu.
Tak menunggu lama, ranting itu seperti ada yang menariknya kedalam lubang. Dengan cekatan Teana menarik rantingnya. Seketika itu juga muncullah seekor ular padang pasir berwarna kecoklatan menggigit ujung ranting. Teana segera memegang kepala ular itu. Lalu ia membawanya kepada Ayahnya.