Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Qasr Al Farid (Part 8)

8 Mei 2017   10:54 Diperbarui: 8 Mei 2017   11:20 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu Daleela berjalan menyusuri padang pasir pegunungan Hejaz. Angin berhembus cukup panas. Menerbangkan debu - debu ke udara.

Daleela kemudian memakai cadarnya. Menghalau debu – debu itu agar tidak masuk ke hidungnya.

“Panas sekali…” gumam Daleela.

Tak tahan dengan kekeringan didalam tenggorokannya, Daleela berjalan menuju sebuah batu cadas yang berlubang. Batu itu tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Didalam batu berlubang itu terdapat sebuah penampungan air. Dipahat oleh ahli pahat Kota Hegra untuk menampung tetesan air hujan yang menetes melalui celah – celah bebatuan.

Karena curah hujan di pegunungan Hejaz sangat rendah, hampir tiap tahun tidak lebih dari empat hingga lima kali turun hujan lebat. Sehingga Raja Aretas IV memerintahkan para pemahat kerajaan untuk membuat tempat penampungan air yang banyak disetiap sudut kota.

Penampungan air didalam batu cadas itu dipahat membentuk persegi menyerupai kolam air kecil. Air didalamnya sangat jernih karena terjaga kebersihannya. Sehingga bisa diminum oleh penduduk.

“Aaah… Segar sekali.” ucap Daleela setelah meminum beberapa teguk menggunakan telapak tangannya.

Ia kemudian melanjutkan perjalanannya.

Bunyi musik gambus terdengar dari kejauhan. Terdengar berasal dari Qasr Al Farid.

Hari itu ternyata ada seorang pemain musik gambus jalanan. Memainkan gambusnya untuk menghibur orang – orang yang sedang sibuk melakukan jual beli di Qasr Al Farid.

Satu dua orang yang melewati pemain musik gambus itu, melemparkan koin kearahnya. Setiap lemparan koin yang diterima, dibalas dengan senyuman dan tabuhan musik gambus oleh si pemain.

“Terimakasih – terimakasih….” ucapnya dengan senang hati.

Daleela akhirnya sampai juga di Qasr Al Farid. Dengan langkah pelan dan mata mengamati barang – barang yang digelar diatas tanah. Ia mendekati seorang penjual tembikar.

“Mari – mari silakan dipilih tembikarnya…” teriak seorang pedagang tembikar.

“Berapa Tuan harga periuk ini?” tanya Daleela.

“Lima koin emas. Bolehlah kurang sedikit.” jawab penjual tembikar sambil menyodorkan sebuah periuk dari tanah liat yang dilukis dengan cat warna – warni membentuk sebuah gambar bunga.

“Empat koin emas. Tidak lebih.” tawar Daleela sambil membolak – balik periuk ditangannya.

Penjual gerabah berpikir sejenak. Tak lama kemudian ia akhirnya menyetujui tawaran Daleela.

“Baiklah. Sini biar saya bungkuskan untuk Nyonya.” jawab si penjual.

Daleela melanjutkan langkahnya. Ia berjalan mendekati pintu Qasr Al Farid. Menuju seorang wanita tua yang duduk disebuah batu besar.

“Permisi, berapakah harga dupa ini?”

“Dupa yang mana Nyonya? Yang besar atau kecil?”

“Yang kecil. Berapa harganya seikat?”

“Dua koin emas Nyonya.”

“Ini, ambil saja kembaliannya.”

“Terimakasih banyak Nyonya.”

Karena lelah, Daleela memutuskan untuk duduk sebentar disebuah batu besar. Ia mengusap peluh di keningnya dengan kerudungnya.

Sambil duduk terdiam, ia mengamati orang – orang yang sibuk berlalu lalang didepannya. Banyak sekali penjual disana. Penjual peralatan makan dan minum, pakaian, makanan hingga keperluan pemakaman tersedia lengkap.

Tiba – tiba Daleela teringat sesuatu. Ia harus membeli keperluan ritualnya. Ritual yang selalu ia lakukan tiap pagi. Ritual kepada Dewa Dhushara.

Seperti halnya para penduduk di Kota Hegra, ritual ini selalu mereka lakukan tiap pagi. Sebuah ritual memohon keselamatan dan keberkahan kepada Dewa Dhushara.

Daleela beranjak dari tempatnya, melangkahkan kakinya menuruni tanah yang cukup terjal. Matahari mulai meredup. Sinarnya tidak terlalu panas.

Sebelum pulang kerumahnya, Daleela membeli beberapa rempah – rempah. Dan juga sebuah kelapa muda.

Ketika hendak berjalan menuju penjual rempah – rempah, tak sengaja ia menabrak seorang lelaki kurus yang berpapasan dengannya.

“Maaf Tuan, aku tidak sengaja.” ucap Daleela dari balik cadarnya.

“Hei… Tunggu. Jangan pergi seenaknya.” jawab lelaki itu sambil menarik lengan kanan Daleela. Langkah Daleela terhenti. Ia menoleh.

“Maaf Tuan, lepaskan aku. Bukannya aku sudah meminta maaf barusan?” ucap Daleela menatap mata lelaki itu.

Debu padang pasir beterbangan di udara. Hari makin panas.

“Kata maaf saja tidaklah cukup. Kau sudah menginjak kakiku. Kau harus menyembuhkannya. Ikutlah denganku sekarang.”

“Tidak Tuan, aku tidak mengenalmu. Dan aku tidak bersalah atas hal ini. Jadi kau jangan macam – macam kepadaku.”

Lelaki itu menarik tubuh Daleela hingga wajah mereka berdua berdekatan.

“Ikutlah denganku atau aku akan melukaimu.” bisik lelaki itu setengah mengancam.

Kemudian ia menarik lengan kanan Daleela dengan paksa. Menyeretnya keluar dari Qasr Al Farid. Membawanya menuju ke tendanya yang tak jauh dari sana.

Daleela berteriak…

“Tolooong…. Tolong aku.” teriak Daleela.

Orang – orang di sekitar Qasr Al Farid mendadak berhenti beraktivitas. Pandangan mereka tertuju pada Daleela dan lelaki kurus itu.

Mereka tidak berani membantu Daleela. Karena mereka tahu dengan siapa mereka berhadapan.

Daleela meronta – ronta. Berteriak – teriak. Namun tak seorangpun datang menolongnya. Sementara si lelaki itu terus menyeretnya menjauh dari Qasr Al Farid. Ia hendak melakukan perhitungan dengannya.

Sementara itu tak jauh dari Qasr Al Farid…

“Sepertinya aku mendengar teriakan minta tolong. Tapi suara siapakah itu?” ucap Aairah.

“Teriakan Nyonya?” tanya Hamra.

“Iya, apa kau tidak mendengarnya Hamra?”

“Tidak Nyonya. Hamba tidak mendengarnya.”

Aairah melangkahkan kakinya pelan – pelan.

“Ayo kita kesana. Cepat Hamra…” perintah Aairah.

Dengan langkah bergegas, mereka berdua berjalan menuju ke arah Qasr Al Farid. Dan benar saja. Ditengah perjalanan ia berpapasan dengan Daleela dan seorang lelaki kurus.

“Hei. Lepaskan dia.” teriak Aairah tak jauh dari mereka berdua.

“Lepaskan aku. Lepaskaaaan.” teriak Daleela meronta – ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan si lelaki.

“Aairaaah… Tolong aku!” teriaknya lagi.

“Siapa kau berani berteriak didepanku!” bentak si lelaki kepada Aairah.

“Lepaskan wanita itu. Hadapilah aku!” tantang Aairah.

“Berani juga kau ternyata.” ucap lelaki itu geram.

Tanpa pikir panjang, lelaki itu melepaskan cengkeraman tangannya. Ia berjalan mendekati Aairah. Daleela berlari menjauh.

“Siapa kau, rupanya kau mau menjadi jagoan!” bentak si lelaki marah.

“Bukan  jagoan, tapi aku hanya ingin membela kaumku.” jawab Aairah tenang dengan posisi siap melayangkan serangan kepada lelaki kurus itu.

“Aaah… Tutup mulutmu itu. Jangan banyak bicara.” teriak lelaki kurus.

Mereka berdua akhirnya terlibat adu kekuatan. Di tengah padang pasir yang sepi dan panas.

Lelaki itu berlari menyerang Aairah. Dalam jarak beberapa langkah, ia mengayunkan pukulan membabi - buta.

Aairah yang telah siaga dalam posisi menyerang, mengepalkan kedua tangannya. Menangkis segala pukulan dari lelaki itu.

Tak kehabisan akal, lelaki itu melepas sorbannya. Membukanya hingga menjadi selembar kain panjang. Ia mempergunakan sorbannya untuk menyerang Aairah. Ia mengayun – ayunkan sorbannya ke arah Aairah.

Aairah yang telah terlatih dalam membela diri, mampu menahan serangan bertubi – tubi dari si lelaki. Hingga akhirnya sorban itu berhasil direbutnya, menjadi senjatanya.

Tak putus asa, si lelaki tetap saja menyerang Aairah dengan tangan kosong. Aairah dengan lincahnya menghindar dari serangan – serangan itu.

“Menyerahlah kau Tuan, kini nyawamu ada di tanganku.” ucap Aairah dengan tangan melilitkan sorban ke leher si lelaki kuat – kuat.

Aairah kini memegang kendali.

“Apa? Menyerah katamu? Pantang bagiku bertekuk lutut dihadapan wanita.” teriak lelaki itu.

“Kau mau mati?” bentak Aairah.

“Bunuh saja aku. Habisi aku sekarang.” tantang lelaki itu.

Aairah mengatur nafasnya. Membaca situasi yang sedang ia hadapi sekarang. Memikirkan keputusan yang akan diambilnya.

Dengan mengeraskan ikatan kain sorban di leher si lelaki, Aairah berkata…

“Ingat Tuan, kali ini aku melepaskanmu. Tapi jika suatu saat nanti kulihat kau menyiksa wanita, aku t ak segan – segan akan melenyapkanmu.” bisik Aairah pelan di telinga lelaki itu. Sebuah bisikan mengancam.

“Baik… Baik. Lepaskan aku. Aku janji tidak akan menyakiti wanita lagi.” jawab lelaki itu tergagap menahan sakit akibat tekanan di lehernya.

Aairah melepaskannya.

***

“Mengapa tidak kau habisi saja Aairah? Lelaki seperti itu pantas mati.” ucap Daleela geram.

“Benar kata Nyonya Daleela Tuan, hamba saja marah melihat kelakuannya. Kalau saya jadi Tuan Aairah, saya pasti sudah menghabisinya. Tak ada ampun untuknya.” sahut Hamra.

Aairah hanya tersenyum. Tak satupun kata yang keluar dari mulutnya.

Mereka bertiga berjalan meninggalkan Qasr Al Farid yang sepi itu. Hari mulai sore. Matahari telah tergelincir kearah Barat.

“Apa yang telah kau lakukan di Qasr Al Farid Daleela? Mengapa lelaki itu menyeretmu?” tanya Aairah beberapa menit kemudian.

“Sebenarnya hanya masalah sepele Aairah. Waktu aku hendak membeli rempah – rempah, tak sengaja aku bertabrakan dengannya dan menginjak kakinya. Aku sudah meminta maaf kepadanya. Namun ia malah menyeretku.”

“Mengapa tidak ada yang menolongmu? Padahal setahuku di Qasr Al Farid selalu ramai kalau siang begini.” tanya Aairah sambil menatap Daleela.

“Itu karena mereka semua takut kepadanya. Kepada lelaki pemabuk seperti dia. Aku baru menyadari bahwa ia mabuk saat ia mengancamku. Saat wajah kami berdekatan. Dari mulutnya keluar aroma minuman keras.” jawab Daleela.

“Kau mengenalnya?” tanya Aairah.

“Tidak. Aku tidak mengenalnya.” jawab Daleela singkat.

“Oh…” ucap Aairah.

Setelah cukup lama berjalan, sampailah mereka bertiga di pemukiman Qasr Al Binth. Aairah dan Hamra berpamitan kepada Daleela.

“Mmm… Aairah tunggu.” ucap Daleela sesaat sebelum meninggalkan mereka berdua.

“Iya, ada apa Daleela?” tanya Aairah.

“Hamra, kau masuklah dulu. Siapkan makan malam untuk Tuan Rashad. Sebentar lagi suamiku akan pulang.” perintah Aairah.

“Baik Nyonya. Hamba masuk dulu.” jawab Hamra.

“Iya.” balas Aairah.

Setelah majikan dan pelayan itu menyelesaikan urusan mereka, kini giliran Daleela…

“Tadi kau mau bertanya apa Daleela?” tanya Aairah pelan.

“Darimana kau mempelajari gerakan tadi?”

“Gerakan apa maksudmu?”

“Maksudku, bagaimana kamu bisa melawan seorang lelaki sekuat itu? Darimana kamu mempelajari gerakan – gerakan untuk membela diri seperti itu? Selama aku mengenalmu, selama kita menjadi tetangga disini, baru kali ini aku melihat dirimu pandai dalam hal membela diri. Padahal sebelum – sebelumnya aku hanya mengenalmu sebagai seorang wanita yang lemah lembut.” jawab Daleela panjang lebar.

“Oh itu, ayahku yang mengajarkannya kepadaku. Sebagai perlindungan diri. Kata ayahku, jadilah wanita yang lembut tapi kuat. Lembut dalam berperilaku dan kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup. Termasuk membela diri sendiri.” jawab Aairah.

“Begitu ya, aku mengerti sekarang.” ucap Daleela sambil tersenyum.

“Apa ada lagi yang ingin kau tanyakan  Daleela?” tanya Aairah.

“Tidak ada. Aku akan pergi sekarang.”

“Iya, hati – hati Daleela. Bersihkan luka lecet ditubuhmu.”

“Iya.”

Daleela pergi meninggalkan Aairah. Pergi menjauh dari rumahnya.

“Aairah….. Terimakasih banyak.” teriak Daleela dari jauh.

Aairah tersenyum. Lalu ia masuk kedalam rumahnya.

Malam telah tiba. Orang – orang di pemukiman Qasr Al Farid sibuk menyalakan obor untuk menerangi jalan.

Sementara itu dari kejauhan terdengar suara rombongan unta memasuki pemukiman Qasr Al Binth. Ghalib dan sahabatnya telah tiba malam itu setelah ia melakukan perjalanan setengah hari dari Kota Petra.

“Akhirnya kita sampai juga Haydar.” ucap Ghalib lega dari atas punggung untanya.

“Iya, kita akhirnya pulang juga. Aku rindu masakan ibuku.” ucap Haydar sambil tersenyum kepada Ghalib.

Kedua sahabat itu berjalan pelan beriringan satu sama lain.

“Kau lapar Haydar? Kalau kau lapar, aku mempunyai sedikit makanan untukmu. Makanan ini tadi dititipkan oleh Manaf sebelum aku meninggalkan rumahnya di Tabuk. Katanya ini untukmu. Karena Manaf tahu kau suka makan.” ucap Ghalib.

Angin berhembus pelan dan dingin. Membuat perut Haydar tiba – tiba merasakan lapar.

“Makanan? Kapan Manaf memasaknya? Setahuku tadi kita langsung berpamitan pulang. Mana sempat Manaf memasak?” ucap Haydar meragukan ucapan Ghalib.

“Benar Haydar. Aku tidak membohongimu. Ini…” jawab Ghalib sambil menyodorkan sesuatu berisi makanan yang ia ambil dari dalam bungkusan kain miliknya.

“Sini….” ucap Haydar setelah ia merebut cepat bungkusan makanan itu.

Haydar membukanya, mencium aroma harum makanan itu.

Sebungkus daging kambing yang dipanggang. Berbumbu rempah – rempah dengan sedikit madu. Aromanya sangat harum menyeruak ke udara. Air liur perlahan menetes deras dari rongga mulut Haydar.

“Terimakasih Ghalib, kau benar – benar sahabat yang pengertian.” ucap Haydar tersenyum bahagia karena malam ini ia akan makan enak.

“Sama – sama Haydar. Istirahatlah malam ini. Besok jangan lupa temui aku. Kita akan menghadap Raja pagi – pagi sekali.” ucap Ghalib.

“Siap Tuan.” balas Haydar singkat.

Mereka berdua berpisah didepan rumah Ghalib. Setelah Haydar lenyap dibalik tikungan kecil, Ghalib masuk kerumahnya.

Ia mengikat untanya didepan rumahnya. Dibawah pohon kurma besar miliknya. Kemudian ia melangkah masuk kedalam. Cahaya terang memenuhi ruangan di rumahnya.

“Istriku, aku telah pulang.” ucap Ghalib.

“Masuklah suamiku. Aku sedang memasak makanan kesukaanmu. Tunggulah sebentar disitu.” jawab Daleela dari dapur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun