Setengah jam berlalu, kini mereka bertiga telah berada di penginapan mereka. Masing – masing membersihkan badannya. Mengganti pakaiannya dengan pakaian yang bagus. Malam ini mereka ingin tampil lebih bersahaja layaknya para pembesar kerajaan.
“Bagus sekali pakaianmu Haydar,” ucap Ghalib memuji sahabatnya itu.
“Tentu saja. Malam ini aku tak mau kalah denganmu. Aku ingin menjadi pusat perhatian di kedai…. Mmm… kedai apa namanya?” ucap Haydar sambil berpikir keras.
“Kedai Zubi.” jawab Manaf singkat.
“Oh yaa…. Zubi. Nama yang menarik.” jawab Haydar dengan ekspresi wajah yang senang.
Ghalib yang menyaksikan percakapan kedua temannya hanya bisa menggeleng – gelengkan kepalanya. Dalamhatinya ia merasa senang dikelilingi oleh teman yang hebat seperti mereka. Teman yang selalu mendukung satu sama lain. Dalam keadaan apapun.
“Baiklah, ayo kita segera berangkat. Kedai Zubi telah menunggu kedatangan kita.” ucap Ghalib setelah beranjak dari tempat duduknya.
Malam itu Ghalib memakai jubah kebanggaannya. Jubah warna biru gelap. Tak lupa ia memakai turban di kepalanya. Turban hitam berhiaskan sebuah permata merah ditengahnya serta sebuah bulu merak tertancap kokoh diatas permata itu. Menambah kesan menawan.
“Indah sekali turban yang kau miliki. Aku belum pernah melihat kau memakai turban ini.” ucap Haydar.
“Kau terlalu memujiku. Turban ini sering aku pakai saat menghadiri pertemuan dengan Raja Aretas IV. Atau saat acara tertentu yang diadakan oleh kerajaan. Mungkin kau saja yang belum sempat melihatku memakai turban ini.” jawab Ghalib merendah.
“Mungkin kau benar. Hahaha…,” Haydar tertawa kecil.