Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Peri Segaran

17 Januari 2017   17:53 Diperbarui: 17 Januari 2017   18:46 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja itu sangat jingga. Berbeda dari kemarin – kemarin. Mungkin karena pergantian musim yang tak menentu. Kadang panas kadang hujan. Kadang berangin kadang tenang.

Semua serba tak pasti.

“Sepertinya tangkapanku kali ini akan nihil.” gumam Supardi dalam hati. Lelaki paruh baya itu merengut sambil menengok jala kecil yang ia tenggelamkan sedikit di kolam. Kosong tanpa isi.

Kepalanya menengadah ke langit yang perlahan mulai gelap. Matanya yang sayu seolah - olah bercakap – cakap dengan langit.

“Wahai penghuni langit, mengapa hari berlalu secepat ini? Seakan – akan kau tak membiarkanku untuk menang melawan senja. Mengapa selalu saja begitu? Sedangkan nasibku selalu saja begini – begini saja. Selalu diam tak bergerak sedikitpun.” gerutunya.

Matahari perlahan turun.

***

Sudah seminggu ini ikan yang mengisi jala miliknya cuma sedikit. Hanya beberapa ekor ikan yang sudi mampir kedalam jalanya.

Hari ini lima ekor yang didapat oleh Supardi. Kemarin tiga ekor. Dalam minggu ini tak pernah ia mendapatkan ikan lebih dari tujuh ekor. Kalaupun dapat, itupun ikan kecil – kecil semua. Dan tak pernah lebih dari lima ekor.

Dengan wajah lesu, Supardi beranjak dari tempat duduknya setelah ia membereskan peralatan memancingnya.

“Aaah… Lebih baik aku pulang saja. Lebih baik mendapat ikan kecil daripada tidak dapat ikan sama sekali. Aku sudah siap mendengar omelan Sartini nanti.” gerutu Supardi dalam hati.

Matanya menerawang jauh ke tepian kolam diseberang.

“Kok kecil? Kenapa tak pernah dapat yang besar? Mana kenyang makan ikan sekecil ini. Usaha dong. Gunakan otakmu agar bisa dapat ikan yang besar. Atau jangan – jangan memang otakmu sama kecilnya dengan otak ikan hasil tangkapanmu?”

Supardi membayangkan wajah istrinya Sartini yang sedang marah. Marah yang meluap - luap dua hari yang lalu. Hanya karena masalah sepele. Ikan.

Dan marah itu akan selalu berakhir dengan perginya Supardi ke teras depan. Pergi menjauh dari omelan istrinya yang tak pernah bisa berhenti.

Angin berdesir menerpa wajah kusutnya. Membuyarkan lamunannya tentang istrinya Sartini.

Supardi mendadak teringat pesan istrinya itu tadi pagi. Bahwa ia harus sudah berada dirumah sebelum maghrib tiba. Dan harus mendapat ikan yang banyak.

“Aku harus segera pulang, atau Sartini akan marah – marah lagi padaku.” gumam Supardi.

Iapun bergegas membereskan peralatan memancingnya dan memasukkannya kedalam tas.

Namun ketika ia berusaha menarik senar pancingnya, senar itu tidak bisa ditarik. Seperti ada sesuatu yang menahannya dari dalam air.

“Sial… Karma apalagi ini!” Gerutu Supardi mengumpat nasibnya yang selalu sial berkepanjangan. Seperti senar pancingnya yang panjang dan tak mudah putus oleh sentakan ikan.

“Sudah tidak dapat ikan, sekarang kailku tersangkut lagi. Benar – benar hari yang sial buatku !” omelnya.

Dua tiga kali ditariknya senar itu. Namun hasilnya tetap sama. Meski menggunakan kedua tangannya dengan tarikan yang kuat. Senar itu tetap diam tak bergerak dari posisinya.

“Dasar pancing sialan!” umpatnya.

Tiba – tiba….

“Bau apa ini ?” ucap Supardi sambil menyempitkan kedua lubang hidungnya.

Ia berhenti bernapas, berusaha menahannya agar sebisa mungkin bau itu tidak mengobrak – abrik kedua lubang hidungnya yang besar. Ia terpaksa berhenti bernapas sejenak menahan bau, karena kedua tangannya masih sibuk melepaskan tali senar yang tersangkut sesuatu dari dalam kolam.

Dengan emosi, Supardi meletakkan pancingnya di tepian kolam. Meraih tali senar di ujung pancingnya. Menariknya kuat – kuat sambil terus mengumpat bau yang menusuk – nusuk hidungnya.

Makin lama bau itu makin menjadi.

“Amis sekali. Membuatku ingin muntah!” ucapnya sambil terus berusaha menarik senar pancingnya.

Entah sudah berapa menit berlalu, satu persatu orang yang memancing di kolam itu pergi meninggalkannya. Kini hanya tinggal Supardi disana.

Tarikan Supardi menghasilkan sesuatu yang sia – sia. Tak ada hasil selama hampir sepuluh menit.

“Sial benar aku. Daripada begini terus – menerus lebih baik aku potong saja senar ini.”

Supardi beranjak dari tempatnya, menuju batu kecil yang tak jauh dari tempatnya semula. Meraih tas nya dan merogoh isinya untuk mengambil sesuatu.

“Dapat…” gumamnya dalam hati.

Setelah ia mendapatkan barang itu, iapun kembali ke tepian kolam. Meraih senar dan bersiap – siap memotong senar itu.

Akan tetapi ketika Supardi hendak memotong senar pancingnya, tiba – tiba senar itu melilit tangan kiri Supardi. Kuat sekali. Belum sempat Supardi memotongnya, ia terjungkal kedalam kolam.

“Aaargh………” teriaknya.

Byuuuur…

Dalam tiga menit, air kolam langsung tenang kembali. Tak satupun orang yang mengetahui kejadian ini.

Haripun mulai gelap.

***

“Kakang… Bangun Kang.”

Suara seorang wanita terdengar sayup – sayup. Menerobos masuk lewat lubang telinganya, bergema dalam gendang telinga Supardi hingga akhirnya sampai ke otaknya.

“Di… Dimana aku ?” ucap Supardi terbata – bata.

“Kakang, kau aman disini”

“Sar… Sartini… maafkan aku, aku tak bisa membawakan ikan yang banyak untukmu” ucap Supardi terbata – bata sedikit ketakutan.

“Tenang Kakang, aku bukan Sartini istrimu,” jawab wanita itu.

“Siii… sii.. siapa kamu? Dimana diriku.?” tanya Supardi ketakutan sambil memandangi sekelilingnya dengan tatapan kebingungan.

Supardi berhak untuk merasa bingung bercampur takut. Bukan karena sebab, kebingungan yang Supardi rasakan saat ini adalah karena kini ia sedang berada di sebuah tempat yang terasa asing baginya. Sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi seumur hidupnya.

Sejauh matanya memandang, yang ia temukan hanyalah dinding kecoklatan yang terbuat dari batu cadas kali yang cukup keras. Tak ada jendela ataupun sesuatu yang bisa membuat cahaya bisa masuk ke dalamnya.

“Bau apa ini ? sepertinya aku mengenal bau ini ? Dimana aku sekarang ? Dimana akuuuuuu….!” teriak Supardi dengan teriakan yang keras dan semakin menjadi.

“Tenang Kakang, ini aku Centhini, Kakang sekarang berada di istanaku.” ucap Centhini dengan lembut sambil mengusap – usap rambut Supardi agar ia tenang.

“Istanamu? Mengapa disini sangat amis?” tanya Supardi keheranan dengan mata tak berhenti bergerak – gerak sedikitpun.

“Iya Kakang, kau sekarang berada di istanaku. Istana para ikan. Ikan yang sering kau tangkap tiap sore.”ucap Centhini.

“Jadi, kau adalah….”

“Benar, aku adalah Peri Kolam. Aku dan pengikutku mendiami kolam ini sudah ratusan tahun. Tinggal dan beranak – pinak disini. Di Kerajaan Segaran. Bahkan sebelum zaman Majapahit, nenek moyang kami telah mendiami kolam ini. Kolam Segaran.

“Apa katamu.? Sejak zaman Majapahit.? Berarti kau telah berumur ratusan tahun.” ucap Supardi.

“Benar sekali. Bahkan kita sudah saling kenal satu sama lain.”

“Kenal? Maksudmu apa?”

“Kau ingat sepuluh tahun lalu? Saat itu kau masih belia. Umurmu masih belasan tahun. Waktu itu siang hari. Kau dan beberapa temanmu memancing di Kolam Segaran seperti biasanya. Ketika hendak pulang, aku sempat memberikan pertanda kepadamu. Aku sempat melompat – lompat ke permukaan air dalam bentuk seekor ikan gabus hitam. Kaupun sempat melihatku, namun karena teriakan teman – temanmu, kau pergi begitu saja tak memperdulikan aku.” cerita Centhini panjang lebar.

Ingatan Supardi pun melayang ke masa itu, ia berusaha mengingat – ingat apa yang telah diceritakan Centhini kepadanya.

Beberapa saat kemudian…

“Ya, aku ingat kejadian itu. aku pikir itu adalah ikan biasa, jadi aku pergi saja.” ucap Supardi datar.

“Kau keterlaluan Kakang…” balas Centhini.

“Kenapa? Apa salahku?”

“Seharusnya kau mengenali aku. Aku ini istrimu Kakang.?”

“Apaaaa…? Istri katamu…?” gumamnya lirih.

“Benar Kakang. Setelah ratusan tahun aku menunggumu. Ratusan reinkarnasi aku lalui. Akhirnya kau datang lagi dalam kehidupan ini. Bereinkarnasi dalam diri seorang Supardi. Tanda di pelipismu itulah sebagai bukti bahwa dirimu adalah suamiku.” jawab Centhini sambil memeluk Supardi yang terbaring di ranjang.

Seketika itu juga Supardi baru menyadari bahwa dirinya sekarang telah berpindah alam. yakni alam peri. Karena ia sadar betul bahwa istrinya adalah seorang wanita yang gemuk, tidak cantik dan    pastinya cerewet. Dan itu tidak ia temukan dalam diri Centhini. Dalam pikirannya hanya terbayang istrinya Sartini.

Belum genap kebingungannya, Supardi merasa heran bahwa dirinya bisa bernapas dalam air. Dalam ruangan itu ia melihat ikan – ikan berenang melintas didepannya. Sesekali ikan itu menatapnya. Menatap mata Supardi dalam – dalam. Tanpa rasa takut sedikitpun.

“Ikan yang aneh.” gumam Supardi dalam hati.

Supardi menyadari bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi padanya saat ini.

***

Tiga ratus tahun yang lalu…

Kosasih sangat senang. Hari perkawinan putri semata wayangnya telah tiba. Para tamu datang satu – persatu. Memberi bingkisan dan mengantar ucapan selamat.

“Selamat Kosasih, akhirnya kau akan memiliki penerus tahtamu.” ucap Warjo.

“Iya sama – sama Kang, semoga kelak mereka berdua lekas mendapatkan keturunan untukku.”

“Tentu saja, bukannya itu yang kamu harapkan.?” jawab Warjo sambil tersenyum bahagia untuk Kosasih.

Dan pesta pun digelar. Pesta bersatunya dua kerajaan ikan. Pesta bersatunya Centhini dan Lembudana.

“Centhini, kemarilah Nduk…” ucap ibunya.

“Ada apa ibu.?”

“Sini, ibu pakaikan sesuatu.” ucap ibunya sambil meraih sanggul Centhini. Lalu ia menyelipkan sesuatu kedalam sanggul itu.

“Apa ini Bu?” tanya Centhini.

“Itu adalah tusuk sanggul nenek moyang kita. Diwariskan dari generasi ke generasi. Dulu waktu ibu menikah dengan ayahmu, nenekmu memberikan tusuk sanggul itu kepada ibu. Dan menjelang ayahmu meninggal, beliau berpesan agar memberikan tusuk sanggul itu kepadamu setelah engkau menikah nanti. Jaga baik – baik ya Nduk. Tusuk sanggul itu adalah pusaka kerajaan kita. Pusaka Kerajaan Segaran. Sumber kekuatanmu dan kekuatan kerajaan yang kelak akan kau pimpin.” jawab ibunya.

“Terimakasih Bu, aku akan menjaganya baik – baik.” jawab Centhini sambil tersenyum memeluk ibunya.

“Iya Nduk.”

Tahun berganti tahun, kehidupan di Kerajaan Segaran menjadi ramai. Penuh sukacita menunggu kelahiran seorang calon penerus kerajaan.

“Kau hamil Centhini…” ucap Lembudana bahagia.

“Iya benar Kakang, aku hamil. Akhirnya kita bisa memiliki calon penerus kerajaan.” balas Centhini tak kalah bahagianya.

Namun kebahagiaan itu berganti duka. Tepat delapan bulan setelah berita kehamilan Centhini, Lembudana sakit keras. Kerajaan Segaran geger, Lembudana akhirnya sekarat tanpa sebab yang pasti.

Dukun kerajaan dikerahkan untuk mengobatinya. Hingga akhirnya nyawanya tak tertolong.

Lembudana pergi meninggalkan Centhini sendiri. Pergi untuk menjalani reinkarnasi berikutnya di kehidupan mendatang. Bukan di kehidupannya saat ini. Tidak bersama Centhini tentunya.

“Kakang Lembudanaaa….” isak Centhini meratapi nasibnya disamping jasad suaminya. Mata Centhini merah. Senyumnya tak lagi indah. Pahit dan hambar, seolah tak menerima atas takdir yang terjadi kepadanya.

“Tunggu aku Kakang, aku akan mencarimu…”

***

“Iya Kakang, aku ini Centhini istrimu. Tak ingatkah kau padaku Kakang.? ucap Centhini dengan wajah sumringah disamping Supardi yang terbaring lemah.

“Maaf, aku tak ingat sedikitpun…” balas Supardi datar sambil memalingkan wajahnya dari Centhini.

“Tidak mengapa Kakang, biar waktu yang akan mengembalikan kenanganmu tentangku. Sekarang yang lebih penting adalah kesembuhanmu dulu. Aku akan memulihkan kondisimu seperti semula. Aku ingin kita bisa bersama seperti dulu lagi” ucap Centhini dengan wajah berseri – seri. Kemudian ia pamit agar Supardi bisa beristirahat dikamarnya.

“Aku pergi dulu Kakang, istirahatlah agar keadaanmu pulih kembali.”

Supardi sendirian di kamarnya. Kamar yang terasa sangat asing baginya. Asing dan sangat dingin.

Pikirannya melayang tak karuan. Beribu pertanyaan memenuhi kepalanya.

“Istriku….?” gumam Supardi dalam hati dengan tatapan mata kosong. Entah apa yang ada didalam otaknya saat ini.

Centhini sebenarnya tidaklah jelek. Sangat menarik untuk seorang pria seperti Supardi. Tutur katanya sopan, ucapannya lembut. Wajahnya manis sekali.

Yang membedakan Centhini dengan wanita yang sering Supardi lihat di “alam” nya adalah caranya berpakaian dan bersolek. Centhini lebih mirip seorang putri keraton. Dengan sehelai kebaya melilit badan dan kemben serta selendang merah panjang menutupi dadanya.

Rambutnya selalu tersanggul indah. Menghiasi kepalanya dengan puluhan manik – manik berkilau keemasan. Dan sebuah mahkota.

Tubuhnyapun penuh dengan perhiasan. Menambah keanggunan dirinya.

Supardi bukannya tidak suka dengan keberadaan Centhini disampingnya, ia tak juga takut kepada istrinya jika suatu saat ia dituduh selingkuh dengan wanita lain yang lebih cantik darinya.

Namun yang membuat Supardi berpikir seribu kali adalah “alam” Centhini. Dia bukanlah wanita biasa. Namun seorang “Peri”. Dalam kepercayaan Jawa, seperti kepercayaan yang dianut nenek moyang Supardi, Peri adalah makhluk ghaib. Makhluk yang jelas sekali berbeda alam dengan alam manusia.

“Aku seharusnya tidak berada disini…” gumam Supardi dalam hati.

***

Setelah sekian lama terbaring diranjang, Supardi sepertinya mendapatkan kekuatan untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Pergi meninggalkan Kerajaan Segaran. Pergi menemui istrinya Sartini yang sudah sejak kemarin ia tinggalkan.

Supardi menyusun sebuah siasat…

Sementara itu di ruang pertemuan pembesar kerajaan, gending – gending jawa mengalun merdu…

“Bagaimana perasaanmu sekarang Nduk.?” tanya Kosasih kepada putrinya Centhini.

“Aku sangat senang ibu. Akhirnya aku berjumpa dengan Kakang Lembudana. Setelah ratusan tahun aku menunggunya. Akhirnya Kakang Lembudana bereinkarnasi kembali di kehidupan ini. Do’a ku dikabulkan Sang Pencipta.” ucap Centhini haru. Haru bercampur bahagia tak terkira.

“Selamat anakku, keluargamu akhirnya berkumpul kembali,” ucap Kosasih - sang ibunda.

“Terimakasih Bu, ini semua berkat do’a ibu.” ucap Centhini sambil tersenyum dan memeluk ibundanya.

“Centhiniiiiii…..”

Mendadak suasana haru biru itu berubah seketika.

“Kakaaaaaang…..” teriak Centhini histeris.

Centhini segera melepas pelukan ibunya dan berlari mendekati Supardi yang terjerembab ke lantai dengan dada berlumuran darah.

“Kakang, apa yang terjadi padamu…? teriak Centhini ketakutan. Pikiran Centhini seakan kosong. Ia tak memperdulikan sekelilingnya. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah pria yang ada didepannya. Supardi.

Dengan sigap Centhini membopong tubuh Supardi yang lunglai menuju kamarnya.

“Kalian semua tetaplah tenang disini, biar aku yang mengatasi semuanya” ucap Centhini di ruangan itu.

Pelan – pelan mereka berdua berjalan menuju kamar Centhini. Saat mereka mulai menjauh dari ruangan utama kerajaan, Supardi segera memanfaatkan keadaan. Ia mengeluarkan tusuk sanggul kecil yang ia temukan di kamar Centhini. Ia menghunuskannya ke leher Centhini.

“Katakan, dimana pintu keluarnya. Kembalikan aku ke duniaku.” bentak Supardi.

Seketika Centhini tidak kuasa, ia tak bisa menggunakan kekuatan gaibnya untuk melawan Supardi. Karena sumber kekuatannya ada di genggaman Supardi suaminya. Cengkeraman Supardi begitu kuat memegang tangannya. Ia akhirnya pasrah menuruti kehendak Supardi. Mengantarnya menuju gerbang istana Kerajaan Segaran.

“Baiklah, aku akan antar Kakang.” jawab Centhini ketakutan.

Mereka berdua akhirnya pergi keluar istana, tanpa seorangpun tahu. Pembesar istana dan pengawal istana tak ada yang tahu satupun. Bahkan Kosasih. Ibu Centhini.

“Lewat sini Kakang. Ini adalah jalan rahasia. Hanya aku dan ibuku yang tahu. Aku sengaja membawamu kesini karena aku tak ingin kau ditangkap oleh pengawal kerajaan atas perbuatanmu ini. Karena aku masih sangat mencintaimu Kakang Lembudana.” ucap Centhini berurai airmata.

Centhini tak menyangka bahwa penantiannya selama ratusan tahun akan berakhir seperti ini. Cintanya dibalas dengan sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan dari orang yang selama ini ia nantikan kedatangannya.

“Ini gerbangnya Kakang…” ucap Centhini lirih. Kesedihan nampak di raut wajahnya yang manis.

“Bagus, sekarang saatnya aku pergi. Maafkan aku. Aku bukanlah Lembudana suamimu. Aku adalah Supardi. Aku masih punya istri disana. Lupakanlah aku.” jawab Supardi dingin.

Saat Supardi berenang menuju cahaya putih yang ada diatas permukaan air, mendadak Centhini memanggilnya.

“Kakang tungguuuu….”

Supardi memalingkan wajahnya.

“Meski kita ditakdirkan untuk tidak pernah bersatu. Aku bahagia bisa berjumpa denganmu walau sesaat. Itu sangat berarti bagiku Kakang. Setidaknya Sang Pencipta masih mendengarkan do’a ku. Do’a yang tulus dari orang yang sangat mencintaimu. Ingatlah satu hal Kakang, setelah kau sampai di alammu, ingatanmu tentangku dan kerajaan ini akan hilang. Semua kenangan kita akan terhapus. Sebelum itu semua terjadi, aku ingin kau tahu satu hal. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu.” jawab Centhini sambil melambaikan tangan perpisahan.

Lambaian tangan itu dibalas dengan senyuman oleh Supardi. Saat hampir mencapai permukaan, Supardi menoleh kepada Centhini dan melemparkan tusuk sanggul yang ia bawa kearah Centhini.

***

“Horeee… Akhirnya aku dapat ikan juga !” teriak seorang anak kecil kegirangan.

“Mana… Mana…” temannya mendekat.

“Ini ikannya, awaaassss ikannya melompat….!” teriak anak kecil itu.

Melihat ikan mereka menggelepar – gelepar diatas rumput, mereka berdua tidak berani mengambil ikan itu.

“Kenapa? Kau mau ikanmu?” jawab sesosok suara lelaki yang terdengar parau dan sangat berat.

Tanpa sepatah katapun terucap. Mereka berlari menjauh.

Supardi merasa keheranan dengan sikap mereka.

“Apa ada yang salah denganku?” gumamnya kebingungan.

Satu hal yang ia ingat adalah ia terjatuh pingsan di darat setelah muncul dari dalam Kolam Segaran. Selebihnya ia tak ingat apapun.

Supardipun bangun dari tidurnya. Duduk di tepian kolam. Memandangi sekelilingnya dengan tatapan kosong bercampur bingung.

Iapun memandang air kolam didepannya. Airnya sangat jernih dan tenang. Dalam pantulan air itu ia melihat sesosok wajah tua nan keriput penuh cambang dengan rambut ikal tak beraturan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun