“Aku pergi dulu Kakang, istirahatlah agar keadaanmu pulih kembali.”
Supardi sendirian di kamarnya. Kamar yang terasa sangat asing baginya. Asing dan sangat dingin.
Pikirannya melayang tak karuan. Beribu pertanyaan memenuhi kepalanya.
“Istriku….?” gumam Supardi dalam hati dengan tatapan mata kosong. Entah apa yang ada didalam otaknya saat ini.
Centhini sebenarnya tidaklah jelek. Sangat menarik untuk seorang pria seperti Supardi. Tutur katanya sopan, ucapannya lembut. Wajahnya manis sekali.
Yang membedakan Centhini dengan wanita yang sering Supardi lihat di “alam” nya adalah caranya berpakaian dan bersolek. Centhini lebih mirip seorang putri keraton. Dengan sehelai kebaya melilit badan dan kemben serta selendang merah panjang menutupi dadanya.
Rambutnya selalu tersanggul indah. Menghiasi kepalanya dengan puluhan manik – manik berkilau keemasan. Dan sebuah mahkota.
Tubuhnyapun penuh dengan perhiasan. Menambah keanggunan dirinya.
Supardi bukannya tidak suka dengan keberadaan Centhini disampingnya, ia tak juga takut kepada istrinya jika suatu saat ia dituduh selingkuh dengan wanita lain yang lebih cantik darinya.
Namun yang membuat Supardi berpikir seribu kali adalah “alam” Centhini. Dia bukanlah wanita biasa. Namun seorang “Peri”. Dalam kepercayaan Jawa, seperti kepercayaan yang dianut nenek moyang Supardi, Peri adalah makhluk ghaib. Makhluk yang jelas sekali berbeda alam dengan alam manusia.
“Aku seharusnya tidak berada disini…” gumam Supardi dalam hati.