Matanya menerawang jauh ke tepian kolam diseberang.
“Kok kecil? Kenapa tak pernah dapat yang besar? Mana kenyang makan ikan sekecil ini. Usaha dong. Gunakan otakmu agar bisa dapat ikan yang besar. Atau jangan – jangan memang otakmu sama kecilnya dengan otak ikan hasil tangkapanmu?”
Supardi membayangkan wajah istrinya Sartini yang sedang marah. Marah yang meluap - luap dua hari yang lalu. Hanya karena masalah sepele. Ikan.
Dan marah itu akan selalu berakhir dengan perginya Supardi ke teras depan. Pergi menjauh dari omelan istrinya yang tak pernah bisa berhenti.
Angin berdesir menerpa wajah kusutnya. Membuyarkan lamunannya tentang istrinya Sartini.
Supardi mendadak teringat pesan istrinya itu tadi pagi. Bahwa ia harus sudah berada dirumah sebelum maghrib tiba. Dan harus mendapat ikan yang banyak.
“Aku harus segera pulang, atau Sartini akan marah – marah lagi padaku.” gumam Supardi.
Iapun bergegas membereskan peralatan memancingnya dan memasukkannya kedalam tas.
Namun ketika ia berusaha menarik senar pancingnya, senar itu tidak bisa ditarik. Seperti ada sesuatu yang menahannya dari dalam air.
“Sial… Karma apalagi ini!” Gerutu Supardi mengumpat nasibnya yang selalu sial berkepanjangan. Seperti senar pancingnya yang panjang dan tak mudah putus oleh sentakan ikan.
“Sudah tidak dapat ikan, sekarang kailku tersangkut lagi. Benar – benar hari yang sial buatku !” omelnya.