Livia Halim, No. 12
-Ran-
Seiring waktu, aku merasa semakin pandai bersandiwara. Kemarin ini, aku sempat bersandiwara seolah-olah aku tidak tahu keberadaan kekasihku sendiri. Terpaksa sandiwara ini kulakukan untuk mengelabui Rheinara, ‘mantan’ dari kekasihku, Nugie. Aku sendiri memang merasa kasihan kepada Rheinara. Bayangkan saja, untuk waktu yang lama, Nugie terpaksa harus berpura-pura mencintainya. Sebenarnya Nugie bisa saja meninggalkannya dari dulu, namun Rheinara hatinya sangat rentan, jadi terpaksa aku “sembunyikan” dulu Nugie supaya Rheinara bisa terbiasa dengan ketiadaannya. Hei, bukankah apa yang aku lakukan itu sangat baik? Secara tidak langsung aku mengajarkan Rheinara untuk lebih kuat dan menata hatinya secara mandiri.
Aku sempat berencana membunuh Rheinara. Iya, membunuhnya. Aku yang lebih dahulu menyampaikan keinginan tersebut kepada Nugie. Tapi ah, dasar Nugie, ia berpikir sangaaat lama untuk akhirnya pasrah dengan keputusanku. Nugie akhirnya setuju untuk membunuh Rheinara karena sebenarnya ia juga sudah lelah menyembunyikan kisah cinta kami dari gadis lemah itu. Maka, membunuhnya adalah keputusan terbaik. Aku yakin, jika Rheinara mati, maka tidak ada lagi yang ‘mengganggu’ hubunganku dengan Nugie. Keputusan yang gila memang. Tapi, hei, bukankah kamu juga sering jadi gila ketika sedang jatuh cinta?
-Nugha-
Waktu itu, Ran menelponku. Ia berkata ia membutuhkan bantuanku segera. Ketika kutanya ada apa, ia menjelaskan bahwa ia hendak membunuh Rheinara, gadis yang jatuh cinta kepada saudara kembarku, Nugie. Aku kaget bukan main. Bagaimana mungkin ia memintaku untuk merenggut nyawa seseorang?
“Mengapa harus dibunuh? Kamu pikir membunuh manusia itu begitu mudahnya? Lagipula, oh ayolah, apakah kamu sudah gila?!” tanyaku dengan bingung.
“Rhein harus mati agar ia tidak lagi menganggu hubunganku dengan Nugie. Tadinya aku berencana, Nugie lah yang membunuh Rhein. Namun, rupanya ia tak sanggup, kasian katanya. Jadi, kuminta kamu untuk membunuhnya, dan sebelumnya tentunya kamu menyamar sebagai Nugie, bukan Nugha. Oke, ini memang terdengar mengejutkan. Aku tahu betapa kagetnya kamu sekarang. Kamu juga mungkin hendak diam-diam telepon polisi? Tapi, dengarkan… aku akan membayarmu dengan nominal yang kamu sebut, berapa pun itu, aku bahkan akan membiayaimu operasi plastik secepatnya sehingga wajahmu tidak lagi dikenali, aku juga menjamin identitasmu bisa dipalsukan sesegera mungkin,” penjelasan Ran membuatku semakin bingung. Membayarku dengan nominal yang aku sebut katanya. Tawarannya cukup menggiurkan memang. Dan ia adalah kekasih yang sangat dicintai dan dipercaya oleh saudara kembarku, jadi tidak dipungkiri kata-katanya memang bisa dipegang.
“Oke… lalu bagaimana jika kamu yang justru diperiksa oleh polisi? Entah kapan memang, namun bisa saja beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian, kasus ini terbongkar. Tentunya kamu akan diperiksa polisi, mengingat kamu lah yang terakhir kali membawa ‘orang mirip Nugie’ ini untuk bertemu dengan Rhein.”
“Oh tenanglah, Nugha. Aku akan memberikan keterangan kepada polisi bahwa aku berusaha mencari Nugie karena tidak tega melihat Rhein kesepian tanpa Nugie. Aku akan berkata bahwa aku menanyakan keberadaan Nugie kepada Nina. Kemudian, Nina memberikan alamat Nugie. Namun ternyata, tanpa aku tahu, bukan Nugie lah yang berada di rumah itu. Anggap saja saat itu Nugie sedang keluar rumah, kemudian kamu lah yang ada di sana dan menipuku, mengaku kamu Nugie. Selanjutnya biar polisi yang menyimpulkan apakah motif dari pembunuhan oleh Nugha ini. Tapi tenang saja, karena… wuuussh, saat itu Nugha sudah tiada, karena identitas dan rupamu sudah berubah. Itu rencanaku, lagipula aku bisa menjamin polisi tidak akan tahu. Karena tidak akan ada keluarga Rhein yang akan berusaha mengupas kasus ini juga, mengingat Rhein sudah tidak memiliki keluarga lagi.”
“Hmm… Apakah ada hal lain yang ingin kamu jelaskan, Ran?”
“Baiklah, akan kujelaskan skenarionya. Aku akan datang ketika kamu hendak membunuh Rhein. Aku ingin kamu membunuhnya di balkon apartemen, tempat yang paling disukainya, tempat di mana ia biasa memandangi bulan mati. Kamu bisa meninggalkan pesan kepadaku ketika hendak melakukannya. Aku akan berpura-pura hendak menolong Rhein dengan meneriakkan namanya agar semuanya tampak natural bagi Rhein, tapi aku tidak akan ke balkon, yah… sekedar untuk kesenangan aku juga hahaha. Kemudian, bunuhlah dia. Kamu bisa membunuhnya dengan pisau, aku rasa. Tidak terlalu sulit membunuh gadis lemah itu, aku yakin. Kemudian, akan kubantu kamu menyembunyikan jasadnya. Bagaimana?”
-Alexa-
Astaga, lama-lama capek juga berpura-pura menangisi Nugie setiap hari. Aku bahkan tidak mencintai pria bernama Nugie itu! Aku hanya melakukan ini karena saat ini aku sedang berpura-pura menjadi Rhein. Seorang gadis yang katanya mengalami kecelakaan pesawat. Katanya sih, kecelakaan pesawat, tapi ternyata kecelakaan itu disebabkan karena rem blong akibat kelalaian Nugie. Hal itu aku simpulkan ketika mendengarkan Nina menceritakan kecelakaan yang menimpa-“ku” waktu itu. Namun orang-orang, termasuk orang kantor dibiarkan tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu? Entahlah…) tentang kejadian yang sebenarnya.
Jadi, mengapa aku berpura-pura menjadi Rhein? Aku berteman dengan seorang gadis bernama Sarah. Suatu kali, ia berkisah bahwa seorang pekerja di kantor tempat Sarah juga bekerja, hilang sejak kecelakaan pesawat. Tidak ada yang tahu keberadaannya. Maka ia menawarkanku untuk berpura-pura menjadi Rhein. Kemungkinan adanya resiko tidak besar katanya, mengingat beberapa korban yang sudah ditemukan tidak ada yang bernyawa, jadi kemungkinan Rhein juga sudah mati, bisa jadi juga tubuhnya telah hancur dan tidak akan ditemukan lagi.
Sarah tahu saat itu aku sedang krisis ekonomi karena sangat kesulitan mencari pekerjaan. Maka ia menawari ‘pekerjaan’ ini. Ia juga melakukannya karena saat itu aku hampir putus asa dan hendak bunuh diri. Kamu tahu, pendidikan yang tinggi tidak menjamin apa pun saat kamu tiba di usia kerja.
Penyamaranku dimulai dengan menemui Nina, sahabat Rhein. Aku mengetahui dari Sarah bahwa Rhein dekat dengan Nina, jadi langkah awal menemui Nina sangatlah baik. Kemudian semuanya berjalan lancar. Nina memaklumi aku yang tampaknya “tidak ingat banyak hal,” ia menganggapnya sebagai efek traumatik akibat kecelakaan. Ia juga menceritakan banyak hal tentang Rhein, yang ia sebut dengan ‘kamu yang dulu’. Jadi aku banyak terbantu olehnya. Nina juga menanyaiku soal wajahku yang berubah, kujelaskan saja bahwa aku telah menjalanioperasi plastik karena wajahku hancur. Hahaha. Ia percaya. Itu jelas membuktikan bahwa Nina tidak berusaha menjenguk si Rheinara ini ketika ia sakit. Hahh.
Aku berpura-pura menyukai white frappe, yang setelah serangkaian kisah-kisah Nina, kuketahui merupakan minuman kesukaan Rhein. Padahal aku lebih suka caramel machiatto, tapi apa boleh buat. Maka aku pun meminumnya berkali-kali sehari, seperti yang biasa Rhein lakukan.
Aku juga menjalani hubungan dengan Nugie, meski sebenarnya aku sama sekali tidak mencintainya. Namun, suatu kali Nugie menghilang begitu saja. Aku sih, merasa biasa saja. Namun karena aku sedang jadi Rhein, jadi aku menangis sejadi-jadinya. Setiap hari aku menangis dan meratapi nasib ‘ditinggalkan’ oleh Nugie. Terkadang aku memakai obat tetes mata karena sulit sekali mengeluarkan air mata secara alami, kamu tahu. Meskipun bagiku untuk beradegan sedih tidak begitu sulit, mengingat aku pernah mengikuti ekstrakurikuler teater ketika bersekolah dulu. Aku juga pernah berkali-kali menjuarai kompetisi teater.
Nah, suatu kali Ran membawa Nugie ke hadapanku. Dalam waktu cepat otakku memproses apa yang akan Rhein asli lakukan apabila ia melihat orang yang dicintainya kembali. Menangis, oh tidak. Tampaknya ia akan langsung pingsan. Maka aku langsung berpura-pura pingsan karena terkejut.
-Alexa-
Ada satu kejadian yang benar-benar membuatku trauma dan akhirnya memutuskan untuk pergi dari kehidupan orang-orang ini. Ah, biar kuceritakan kepadamu.
Jadi, saat itu aku sedang bersama dengan Nugie. Aku duduk di meja riasku, sementara ia duduk di ranjang yang terletak di sebelah meja rias itu. Kami hanya terdiam untuk waktu yang lama. Karena aku sedang menjadi Rhein, maka aku mencoba terus menangis dan berusaha kelihatan sangat sedih dan kecewa.
Tak lama kemudian Nugie ke luar dari kamar. Aku tidak tahu (dan tidak mau tahu sedikitpun) akan apa yang dia lakukan di luar. Sejenak aku memaki-maki Sarah dalam hati. Memang sih, ia memberikanku pekerjaan dan aku bisa hidup cukup layak sekarang, namun haruskah aku masuk ke dalam drama kehidupan orang-orang ini? Oh, bisa kamu bayangkan kalau kamu aku?
Nugie kembali dengan membawa sesuatu. Tangannya ditaruh di belakang sehingga aku tidak tahu apa yang ia bawa. Bunga, mungkin. Rupanya Nugie ingin kembali memiliki hubungan dengan Rhein. Baguslah, kedepannya aku tidak perlu berakting menangis lagi. Namun, yang ia lakukan berikutnya sangat mengejutkan. Ternyata ia membawa pisau! Kamu tidak bisa bayangkan betapa terkejutnya aku saat itu. Dalam keadaan yang mendesak itu, aku langsung mencoba berpikir cepat, mengait-ngaitkan kisah kehidupan orang-orang ini. Namun semuanya terlalu buram saat itu.
“Gie?” tanyaku dengan panik.
“Sayang sekali kamu tertipu, Rhein. Aku bukan Nugie yang kamu puja-puja. Jangan coba-coba berteriak atau kabur. Karena apa pun usahamu untuk menghindarinya, kamu akan tetap mati,” ia tersenyum dengan menakutkan.
Astaga, apa lagi ini? Baiklah, kamu akan mati malam ini, Alexa. Apapun yang kamu lakukan, bahkan kalau kamu berhasil lari sekarang, suatu saat ia akan tetap membunuhmu. Baiklah… berpikir, Alexa. Berpikir.
“Oke, siapa pun kamu… bolehkah aku meminta suatu permintaan terakhir?”
“Cepat!” ujar laki-laki di hadapanku ini.
“Aku haus. Bawakan aku minuman apa pun. Lalu aku ingin meminumnya di balkon bersamamu. Setidaknya, agar aku dapat mengenang segala kenangan bersama Nugie walau hanya sebentar…” ucapku. Aku mengucapkan hal itu karena aku butuh waktu sebentar untuk ‘meninggalkan petunjuk’, agar siapa pun yang masuk ke dalam apartemen ini kelak, tahu siapa pembunuhku. Meski aku mati, laku-laki ini harus dihukum. Harus!
“Jangan coba-coba kabur. Kamu tahu, apa pun yang terjadi kamu akan tetap mati,” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku. Tiba-tiba aku dapat menyimpulkan bahwa pembunuhanku ini bukanlah rencana laki-laki itu, dan ia juga bukan pembunuh profesional. Buktinya, tampaknya ia masih memiliki rasa kemanusiaan. Ia bahkan berniat mengabulkan permintaan terakhirku.
Ketika ia ke luar, aku membuka laci meja rias dengan panik. Aku mengobrak-abrik isinya, berharap aku menemukan sebuah alat, apa pun itu, untuk digunakan sebagai penanda. Aku akhirnya menemukan sebuah lipstik merah, mungkin milik Nina atau Rhein. Aku pun mulai menuliskan “Kill…” di cermin. Kemudian aku terus mengobrak-abrik laci untuk mencari hal lain. Dan oh, wow! Aku menemukan foto lama sepasang anak laki-laki kembar, dengan tulisan di bawahnya “Nugha-Nugie”. Oh, pasti lah kembaran si Nugie ini yang akan membunuhku.
Aku pun meletakkan foto itu di meja. Yang lebih mengejutkan adalah, aku juga menemukan surat pengantar dokter Rhein pasca kecelakaan di laci itu, yang pada amplopnya tertulis “Cedera Otak Traumatis”. Aku hendak memasukkan kembali surat itu ke dalam laci, namun aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Maka kubiarkan saja surat itu di atas meja. Dan aku pun melangkah ke balkon untuk menunggu… siapa tadi namanya… oh, Nugha. Kamu tidak mungkin bisa membayangkan betapa kacaunya pikiran dan hatiku saat itu. Astaga! Astaga!
-Nugha-
Rhein, gadis itu, memintaku membawakan minuman untuk diminum bersamaku di balkon. Oh baiklah, ini memang merepotkan, tapi aku kasihan juga pada gadis itu. Jadi, ya sudahlah, toh ini permintaannya yang terakhir. Maka kubuatkan secangkir white frappe untuknya, aku menemukan banyak sachet white frappe di dapur apartemen ini. Maka dapat kusimpulkan, gadis itu menyukainya.
Kemudian, entah mengapa aku yakin betul aku akan merasa makin iba apabila menemaninya minum dulu. Maka setelah aku mengirim pesan kepada Ran, tiba di balkon dan menyerahkan white frappe kepada gadis yang tampak ketakutan itu, aku langsung mengeluarkan pisau dan hendak menikamnya. Dia berteriak histeris.
Hal yang terjadi berikutnya justru amat sangat mengejutkanku. Ada sebuah tanda lahir di belakang telinga gadis ini! Memang tidak terlalu terlihat, tapi aku dapat melihatnya karena berada pada jarak sangat dekat dengannya. Aku sudah berkali-kali melihat foto Rhein dan Nugie, rambut Rhein sering diikat satu, dan tidak, Rhein tidak memiliki tanda lahir ini. Dengan segera aku menurunkan pisauku.
“Siapa kamu?” tanyaku bimbang.
Aku mulai dapat mendengar suara Ran memanggil-manggil Rhein.
-Alexa-
‘Siapa kamu’ katanya? Hahaha. Hatiku tertawa meski masih berdegup sangat kencang karena tertekan. Justru aku yang seharusnya bertanya siapa kamu!
Kemudian aku meninggalkan Nugha begitu saja. Cukup semua ini! Aku tidak akan lagi datang ke kantor itu atau berpura-pura menjadi Rhein. Semua ini sudah gila!
Dengan hati-hati aku pergi dari apartemen ini, aku sempat melihat Ran sedang memandangi benda-benda di meja rias. Oh sudahlah, masa bodoh!
-Rheinara-
Sampai kini aku masih tak habis pikir jika mengingat penjelasan dari Mr. J bahwa Nugie dan Ran memiliki hubungan khusus. Aku memang seharusnya bahagia jika Nugie bahagia, karena aku sangat mencintainya. Namun, entahlah. Kenyataan ini masih terlalu sulit untuk kuterima. Kepalaku selalu berputar-putar ketika mengingatnya. Oh, dan aku juga agak kebingungan ketika Mr. J berkata bahwa ada seseorang yang mengaku diriku di kantor. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa orang itu melakukannya. Namun, Mr. J tampaknya tetap pura-pura percaya kepada orang yang mengaku aku itu, mungkin agar dia dapat menyelidikinya juga.
Kini, aku memang telah kembali ke ‘dunia’ Nina, Nugie, dan Ran. Duniaku yang dulu, meski ada yang berbeda. Kali ini aku bukan Rheinara, tapi Anna. Sebagai Anna, aku mendengar banyak kisah mengenai ‘Rhein’ dari Nina. Aku menyadari bahwa yang ia ceritakan bukanlah aku, tapi seseorang yang mengaku sebagai aku dan telah pergi. Ah, ada-ada saja. Aku sampai pernah tersedak karena terkejut mendengar kisah-kisah mengenai Rhein yang palsu ini. Nina juga menceritakan mengenai hubungan Nugie(ku) dan Ran, serta rekayasa kecelakaanku. Ya ampun! Aku tak habis pikir betapa teganya Nugie melakukan itu kepadaku.
Pantas saja, setelah kecelakaan itu, Nugie bahkan tidak menemaniku di rumah sakit. Kudengar dari suster rumah sakit bahwa ia langsung pulang setelah dirawat sebentar. Ia memang hanya luka ringan. Waktu itu kukira Nugie langsung pulang karena ia masih belum pulih benar dan menemaniku di rumah sakit akan sangat merepotkannya. Tapi ternyata tidak, rupanya Nugie memang sudah ingin meninggalkan aku saat itu. Oh Gie, mengapa? Apakah tak cukup segala cinta dan kasih yang selalu kuberikan kepadamu?
Kemudian Mr. J lah yang menemaniku selama masa perawatan di rumah sakit. Ia bahkan membayar biaya pengobatanku. Ia juga memintaku untuk tinggal bersamanya dulu karena ia akan menjelaskan sesuatu. Aku awalnya tidak mau langsung percaya begitu saja, namun aku sudah lama mengenal Mr. J, aku yakin ada sesuatu yang begitu parahnya sampai ia memintaku seperti itu.
Mr. J baru menceritakan segala fakta mengejutkan itu beberapa minggu setelah aku tinggal bersamanya, karena sebelumnya kesehatanku masih belum pulih benar, sehingga ia takut kata-katanya menimbulkan efek-efek negatif tertentu pada kesehatanku, katanya. Mungkin kamu pikir aku aneh karena mau saja menuruti kata-kata Mr. J, bahkan menunggu berminggu-minggu demi mendengarkan fakta yang begitu menyakitkan. Satu-satunya yang membuatku bertahan adalah ‘feeling’. Aku sangat yakin ada yang tidak beres dengan Nugie. Bahkan, selama aku tinggal bersama Mr. J, Nugie tidak pernah menghubungiku, aku pun tidak menghubunginya karena ingin mengetesnya.
Baiklah, kembali ke kehidupanku saat ini. Saat ini aku hanya bisa banyak mendengar kisah –kisah dari Nina dengan pasrah. Dan cintaku pada Nugie, selamanya tidak berubah.
-Ran-
Baiklah, yang kemarin itu memang gagal total. Aku tidak habis pikir bisa ada orang yang mengaku-ngaku sebagai Rheinara! Kali ini biar kuhabisi Rhein dengan tanganku sendiri.
Aku pun berusaha mencari tahu sana-sini di mana Rhein yang asli, tentunya tanpa sepengetahuan Nina. Nina tidak boleh tahu bahwa Rhein yang kemarin itu bukan Rhein. Kalau ia tahu, kemungkinan hal itu akan mengiringnya menuju kasus percobaan pembunuhan Rheinara.
Kamu tahu? Ternyata Mr. J dengan mudahnya memberi tahu aku keberadaan Rhein yang asli. Akan kuhabisi dia.
KLIK!
Aku mematikan video rekaman yang diperlihatkan oleh dokter Jalal. Aku tidak habis pikir betapa banyaknya pribadi yang ada dalam diriku. Semua ini membuatku pusing dan lelah.
“Tidak mau menonton yang selanjutnya?” tanya dokter Jalal dengan sabar, sambil tersenyum.
“Ceritakan saja padaku, dok. Lelah sekali menontonnya. Kepalaku berputar-putar,” ucapku lemah.
“Baiklah. Selanjutnya, Ran membunuh Nina dan Rhein membunuh Ran. Dan entah mengapa dunia khayalmu yang sebelumnya sangat realistis tiba-tiba bergeser menjadi sedikit surealis. Tapi saya tidak memiliki masalah dengan itu. Intinya, kamu tahu apa artinya?” kulihat senyum kecil tersinggung di bibir dokter Jalal.
“Apa?”
“Kamu telah menghilangkan tiga pribadimu, yaitu Alexa, Nina dan Ran. Itu bagus, Anna!”
Butuh beberapa detik bagiku untuk mencerna kata-kata dokter Jalal. “Tiga pribadiku hilang. Itu artinya, kepribadianku semakin berkurang. Benar kan, dok?”
“Iya, Anna. Kamu benar-benar menunjukkan progres yang baik. Pelan-pelan melalui terapi, kita akan menghilangkan pribadi-pribadimu yang lainnya. Mungkin butuh waktu yang lama. Tapi kita harus sama-sama percaya kita bisa,”ujar dokter Jalal sambil tersenyum. “Dan yang paling membuat saya senang,” lanjutnya, “kamu berhasil menghilangkan Ran, pribadi paling sadis dan licik dari semua pribadimu, saya sebelumnya hampir yakin Ran tidak akan pernah bisa dihilangkan, karena karakternya begitu jahat dan juga kuat. Jadi, saya ucapkan selamat untuk itu.”
Aku tersenyum. Aku senang sekaligus masih risau, mengingat banyaknya pribadi-pribadi yang belum musnah dari diriku. Kuharap secepatnya pribadi-pribadi itu hilang dari diri ini.
***
Aku sedang bersantai di kamarku ketika aku ingat aku harus mengingat nama laki-laki itu, laki-laki berwajah hangat itu. Namun tidak satu nama pun muncul di benakku. Tampaknya dalam benakku telah terlalu banyak berisi nama-nama pribadiku sendiri. Apakah laki-laki itu adalah kekasihku? Ataukah ia hanya seseorang yang menolongku dengan sukarela karena rasa iba? Ah, entahlah. Namun aku yakin, suatu saat aku akan mengingat namanya. Bagaimana mungkin aku mau selamanya melupakan nama seseorang yang begitu peduli pada diriku?
Krekk…
Kudengar pintu kamar rumah sakitku dibuka perlahan. Aku yakin itu adalah seorang suster.
“Anna…” kudengar suara seorang laki-laki yang sangat familiar. Aku menoleh ragu-ragu.
“Ran?”
***
Untuk membaca Fikber selengkapnya silahkan menuju akun Fiksiana Community
Mari bergabung di grup FB Fiksiana Community
Daftar episod sebelumnya:
1. Malam Bulan Mati, Balkon dan Ciuman
2. Bulan Mati di Hati Rheinara
4. Benang Merah
8. Nugha
9. Antara Khayalan dan Kenyataan
10. Anna Kalashnikov
11. Mr. J
sumber ilustrasi: derlandstreicher.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H