“Hmm… Apakah ada hal lain yang ingin kamu jelaskan, Ran?”
“Baiklah, akan kujelaskan skenarionya. Aku akan datang ketika kamu hendak membunuh Rhein. Aku ingin kamu membunuhnya di balkon apartemen, tempat yang paling disukainya, tempat di mana ia biasa memandangi bulan mati. Kamu bisa meninggalkan pesan kepadaku ketika hendak melakukannya. Aku akan berpura-pura hendak menolong Rhein dengan meneriakkan namanya agar semuanya tampak natural bagi Rhein, tapi aku tidak akan ke balkon, yah… sekedar untuk kesenangan aku juga hahaha. Kemudian, bunuhlah dia. Kamu bisa membunuhnya dengan pisau, aku rasa. Tidak terlalu sulit membunuh gadis lemah itu, aku yakin. Kemudian, akan kubantu kamu menyembunyikan jasadnya. Bagaimana?”
-Alexa-
Astaga, lama-lama capek juga berpura-pura menangisi Nugie setiap hari. Aku bahkan tidak mencintai pria bernama Nugie itu! Aku hanya melakukan ini karena saat ini aku sedang berpura-pura menjadi Rhein. Seorang gadis yang katanya mengalami kecelakaan pesawat. Katanya sih, kecelakaan pesawat, tapi ternyata kecelakaan itu disebabkan karena rem blong akibat kelalaian Nugie. Hal itu aku simpulkan ketika mendengarkan Nina menceritakan kecelakaan yang menimpa-“ku” waktu itu. Namun orang-orang, termasuk orang kantor dibiarkan tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu? Entahlah…) tentang kejadian yang sebenarnya.
Jadi, mengapa aku berpura-pura menjadi Rhein? Aku berteman dengan seorang gadis bernama Sarah. Suatu kali, ia berkisah bahwa seorang pekerja di kantor tempat Sarah juga bekerja, hilang sejak kecelakaan pesawat. Tidak ada yang tahu keberadaannya. Maka ia menawarkanku untuk berpura-pura menjadi Rhein. Kemungkinan adanya resiko tidak besar katanya, mengingat beberapa korban yang sudah ditemukan tidak ada yang bernyawa, jadi kemungkinan Rhein juga sudah mati, bisa jadi juga tubuhnya telah hancur dan tidak akan ditemukan lagi.
Sarah tahu saat itu aku sedang krisis ekonomi karena sangat kesulitan mencari pekerjaan. Maka ia menawari ‘pekerjaan’ ini. Ia juga melakukannya karena saat itu aku hampir putus asa dan hendak bunuh diri. Kamu tahu, pendidikan yang tinggi tidak menjamin apa pun saat kamu tiba di usia kerja.
Penyamaranku dimulai dengan menemui Nina, sahabat Rhein. Aku mengetahui dari Sarah bahwa Rhein dekat dengan Nina, jadi langkah awal menemui Nina sangatlah baik. Kemudian semuanya berjalan lancar. Nina memaklumi aku yang tampaknya “tidak ingat banyak hal,” ia menganggapnya sebagai efek traumatik akibat kecelakaan. Ia juga menceritakan banyak hal tentang Rhein, yang ia sebut dengan ‘kamu yang dulu’. Jadi aku banyak terbantu olehnya. Nina juga menanyaiku soal wajahku yang berubah, kujelaskan saja bahwa aku telah menjalanioperasi plastik karena wajahku hancur. Hahaha. Ia percaya. Itu jelas membuktikan bahwa Nina tidak berusaha menjenguk si Rheinara ini ketika ia sakit. Hahh.
Aku berpura-pura menyukai white frappe, yang setelah serangkaian kisah-kisah Nina, kuketahui merupakan minuman kesukaan Rhein. Padahal aku lebih suka caramel machiatto, tapi apa boleh buat. Maka aku pun meminumnya berkali-kali sehari, seperti yang biasa Rhein lakukan.
Aku juga menjalani hubungan dengan Nugie, meski sebenarnya aku sama sekali tidak mencintainya. Namun, suatu kali Nugie menghilang begitu saja. Aku sih, merasa biasa saja. Namun karena aku sedang jadi Rhein, jadi aku menangis sejadi-jadinya. Setiap hari aku menangis dan meratapi nasib ‘ditinggalkan’ oleh Nugie. Terkadang aku memakai obat tetes mata karena sulit sekali mengeluarkan air mata secara alami, kamu tahu. Meskipun bagiku untuk beradegan sedih tidak begitu sulit, mengingat aku pernah mengikuti ekstrakurikuler teater ketika bersekolah dulu. Aku juga pernah berkali-kali menjuarai kompetisi teater.
Nah, suatu kali Ran membawa Nugie ke hadapanku. Dalam waktu cepat otakku memproses apa yang akan Rhein asli lakukan apabila ia melihat orang yang dicintainya kembali. Menangis, oh tidak. Tampaknya ia akan langsung pingsan. Maka aku langsung berpura-pura pingsan karena terkejut.