Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

[Fikber] Monolog

24 November 2015   10:49 Diperbarui: 24 November 2015   23:22 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Aku haus. Bawakan aku minuman apa pun. Lalu aku ingin meminumnya di balkon bersamamu. Setidaknya, agar aku dapat mengenang segala kenangan bersama Nugie walau hanya sebentar…” ucapku. Aku mengucapkan hal itu karena aku butuh waktu sebentar untuk ‘meninggalkan petunjuk’, agar siapa pun yang masuk ke dalam apartemen ini kelak, tahu siapa pembunuhku. Meski aku mati, laku-laki ini harus dihukum. Harus!

“Jangan coba-coba kabur. Kamu tahu, apa pun yang terjadi kamu akan tetap mati,” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku. Tiba-tiba aku dapat menyimpulkan bahwa pembunuhanku ini bukanlah rencana laki-laki itu, dan ia juga bukan pembunuh profesional. Buktinya, tampaknya ia masih memiliki rasa kemanusiaan. Ia bahkan berniat mengabulkan permintaan terakhirku.

Ketika ia ke luar, aku membuka laci meja rias dengan panik. Aku mengobrak-abrik isinya, berharap aku menemukan sebuah alat, apa pun itu, untuk digunakan sebagai penanda. Aku akhirnya menemukan sebuah lipstik merah, mungkin milik Nina atau Rhein. Aku pun mulai menuliskan “Kill…” di cermin. Kemudian aku terus mengobrak-abrik laci untuk mencari hal lain. Dan oh, wow! Aku menemukan foto lama sepasang anak laki-laki kembar, dengan tulisan di bawahnya “Nugha-Nugie”. Oh, pasti lah kembaran si Nugie ini yang akan membunuhku.

Aku pun meletakkan foto itu di meja. Yang lebih mengejutkan adalah, aku juga menemukan surat pengantar dokter Rhein pasca kecelakaan di laci itu, yang pada amplopnya tertulis  “Cedera Otak Traumatis”. Aku hendak memasukkan kembali surat itu ke dalam laci, namun aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Maka kubiarkan saja surat itu di atas meja. Dan aku pun melangkah ke balkon untuk menunggu… siapa tadi namanya… oh, Nugha. Kamu tidak mungkin bisa membayangkan betapa kacaunya pikiran dan hatiku saat itu. Astaga! Astaga!

 

-Nugha-

Rhein, gadis itu, memintaku membawakan minuman untuk diminum bersamaku di balkon. Oh baiklah, ini memang merepotkan, tapi aku kasihan juga pada gadis itu. Jadi, ya sudahlah, toh ini permintaannya yang terakhir. Maka kubuatkan secangkir white frappe untuknya, aku menemukan banyak sachet white frappe di dapur apartemen ini. Maka dapat kusimpulkan, gadis itu menyukainya.

Kemudian, entah mengapa aku yakin betul aku akan merasa makin iba apabila menemaninya minum dulu. Maka setelah aku mengirim pesan kepada Ran, tiba di balkon dan menyerahkan white frappe kepada gadis yang tampak ketakutan itu, aku langsung mengeluarkan pisau dan hendak menikamnya. Dia berteriak histeris.

Hal yang terjadi berikutnya justru amat sangat  mengejutkanku. Ada sebuah tanda lahir di belakang telinga gadis ini! Memang tidak terlalu terlihat, tapi aku dapat melihatnya karena berada pada jarak sangat dekat dengannya. Aku sudah berkali-kali melihat foto Rhein dan Nugie, rambut Rhein sering diikat satu, dan tidak, Rhein tidak memiliki tanda lahir ini. Dengan segera aku menurunkan pisauku.

“Siapa kamu?” tanyaku bimbang.

Aku mulai dapat mendengar suara Ran memanggil-manggil Rhein.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun