LATAR BELAKANG
Bangsa Belanda yang menjajah Indonesia dengan waktu yang bisa dibilang cukup lama, yaitu 350 tahun telah memberi dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Saat penjajahan itulah, terjadi benturan antara dua budaya yang berbeda, yaitu budayat Barat dan Timur. Budaya yang saling berlawanan tersebut sangat mencolok, terlebih saat ada pihak yang beralih untuk memilih budaya asalnya. Salah satu dampak penjajahan, yaitu adanya perasaan inferior terhadap bangsa sendiri dan merasa bahwa bangsa Belanda sebagai penjajah adalah bangsa yang superior, memiliki kekuasaan besar dan sangat tinggi.
Bangsa penjajah yang melakukan diskriminasi terhadap bangsa pribumi, membawa efek buruk bagi pribumi itu sendiri. Perasaan-perasaan inferior karena adanya diskriminasi ini akhirnya membuat masyarakat Indonesia bertingkah seperti Belanda, agar dirinya menjadi lebih tinggi dari orang pribumi kebanyakan. Dua budaya yang saling bersinggungan satu sama lain, membuat kegamangan seseorang dalam menentukan identitasnya. Seseorang akan melawan hakikat identitas asalnya dan berusaha menjadi sosok lain yang dirasa lebih baik. Hal inilah yang terjadi pada tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan.Â
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengajukan 2 rumusan masalah, yaitu: (1) Bagaimana unsur intrinsik novel Salah Asuhan? (2) Bagaimana gambaran hibriditas pada tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan?
ACUAN TEORETIS
Istilah novel berasal dari bahasa latin novellas  yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Secara etimologis, kata "novel" berasal dari novellus  yang berarti baru. Jadi, novel adalah bentuk karya cerita fiksi yang paling baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman.
Postkolonialisme dalam kajian sastra membicarakan bagaimana teks-teks sastra dengan berbagai caranya mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam kondisi hubungan tidak setara, telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa. Istilah 'postkolonialitas' menunjukkan adanya tanda-tanda dan efek-efek kolonialisme dalam sastra. Dengan kata lain 'postkolonialisme' adalah istilah untuk pendekatan kritis dalam memahami efek-efek kolonialisme yang terus ada di dalam teks-teks, sedangkan 'postkolonialitas' adalah kata yang merujuk ke sifat dan penyebaran efek-efek tersebut.Â
Kajian postkolonial yang meneliti masalah identitas menggunakan pengertian 'hibriditas' sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang satu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.
Menurut Aschcroft, dalam masyarakat postkolonial, hibriditas muncul sebagai akibat momen kesadaran atas penindasan kultural, yaitu ketika kekuatan kolonial menjajah untuk mengkonsolidasi kontrol politis dan ekonomis, atau ketika pemukim-penjajah menguasai orang-orang pribumi dan memaksa mereka untuk 'berasimilasi' ke dalam pola-pola masyarakat yang baru. Konsep hibriditas membuktikan percampuran kultural dan kemunculan bentuk-bentuk baru identitas.
PENELITIAN RELEVAN
Penelitian mengenai Salah Asuhan karya Abdoel Moeis pernah dilakukan oleh Yati Sugiarti dari FBS Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul Diaspora dan Hibriditas dalam Roman Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis dan dalam Novel Keberangkatan Karya NH. Dini. Intisari dari penelitian ini, yaitu membahas tentang Diaspora dan Hibriditas pada tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan dan Elisabet Frissart dalam Keberangkatan.Â
Penelitian lain, dilakukan oleh Wiyatmi, mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul Konstruksi Nasionalisme dalam Novel-novel Indonesia Prakemerdekaan (Student Hidjo dan Salah Asuhan). Penelitian ini menjelaskan tentang novel yang menggambarkan konstruksi ideologi nasionalisme melawan kolonialisme pada era penjajahan Belanda.
Selain itu, penelitian tentang Salah Asuhan juga dilakukan oleh A.R. Puteri Nur Azizah, mahasiswi jurusan Sastra Daerah Minangkabau, Universitas Andalas. Makalah dengan judul Analisis Teori Poskolonial dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis menguraikan tentang penerapan teori postkolonial dengan konsep mimikri pada novel Salah Asuhan.
BIOGRAFI ABDOEL MOEIS
Abdoel Moeis lahir tanggal 3 Juni 1883 di Bukittingi, Sumatera Barat. Beliau adalah putra dari Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Layaknya orang-orang Minangkabau lainnya, sejak remaja Abdoel Moeis merantau ke Pulau Jawa hingga tutup usia di Bandung pada 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Abdoel Moeis hanyalah lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur Lagere School: ELS). Ia sempat menempuh pendidikan di Stovia pada tahun 1900 -- 1902. Namun, karena sakit yang dideritanya, ia terpaksa keluar dari sekolah kedokteran tersebut. Tahun 1917 ia sempat melawat ke Negeri Belanda untuk belajar. Karena kemampuan berbahasa Belandanya yang bagus, Abdoel Moeis diangkat menjadi kierk di Departement van Onderwijs en Eredienst. Namun, ia keluar tahun 1905 karena tidak betah dengan sikap pegawai-pegawai Belanda lainnya.
Sekeluarnya dari  Departement van Onderwijs en Eredienst, Abdoel Moeis menjadi anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak membuat berita politik, di Bandung. Keluar karena mengalami perseteruan, Abdoel Moeis melanjutkan ke Bandungsche Adeelingsbank sebagai mantra lumbung. Lalu, kembali menekuni dunia jurnalistik sebagai korektor di De Prianger Bode, sebuah surat kabar harian Belanda. Selain bidang jurnalistik, Abdoel Moeis juga merambah ke bidang politik. Ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan dipercaya untuk memimpin Kaum Muda, surat kabar milik SI, bersama A.H. Wignyadisastra. Dia juga menjadi salah satu pendidi Komite Bumi Putra. Tahun 1918, Abdoel Moeis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).Â
Perjuangan Abdoel Moeis tidak berhenti hanya sampai di situ. Bersama tokoh lainnya, ia berjuang melawan penjajahan Belanda. Ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalam PPPB (Perkumpulan Pengawal Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta tahun 1922. Setahun kemudia ia memimpin gerakan memprotes landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang diberlakukan Belanda di Sumatra Barat. Selain itu ia juga memimpin harian Utusan Melayu  dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar itu, Abdoel Moeis terus melancarkan perjuangannya. Pemerintah Belanda menganggap tindakan Abdoel Moeis mengganggu ketentraman. Akibatnya, ia tak diperkenankan meninggalkan Pulau Jawa. ia kemudia mendirikan harian Kaum Kita di Bandung, dan Mimbar Rakyat di Garut. Kemudian, pada tahun1932 ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur.Â
Bakat kepengarannya sesungguhnya baru terlihat ketika dia bekerja sebagai jurnalis di harian Kaum Muda. Dengan menggunakan inisial A.M. ia menulis apa saja. Novel Robert Anak Surapati yang terbit pertama kali di Balai Pustaka tahun 1953 merupakan potongan yang terserak dari novel sebelumnya, Surapati (Balai Pustaka, 1950). Sebelumnya, Abdoel Moeis telah menerbitkan roman Salah Asuhan (Balai Pustaka, 1928), dan Pertemuan Jodoh (Balai Pustaka, 1933). Selain itu, Abdoel Moeis banyak menerjemahkan karya sastra dari penulis-penulis Barat seperti Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928), Don Kisot (karya Cerpantes, 1923), Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932). Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950).
SINOPSIS SALAH ASUHAN
Seorang Bumiputra asal tanah Minang, Hanafi, jatuh cinta pada seorang gadis keturunan Belanda, yaitu Corrie du Bussee. Walaupun Hanafi adalah Bumiputra, karena sudah dididik dengan cara Belanda sedari kecil, menjadikan jiwa Hanafi lebih condong ke Barat. Sikap pro Barat tersebut bertolak belakang dengan latar belakang keluarga Hanafi yang masih memegang teguh adat Minang. Dengan dalih membayar hutang budi, Hanafi akhirnya menikah dengan Rapiah, yang masih mempunyai ikatan keluarga dengannya. Namun, hati Hanafi masih mencintai Corrie, walaupun Corrie sudah menolaknya dengan alasan perbedaan antara Timur dan Barat. Segala hal ia lakukan demi menjadi sosok Belanda yang diakui oleh masyarakat dan agar Corrie mau hidup bersama dengannya, walaupun itu artinya Hanafi harus meninggalkan identitasnya sebagai seorang Bumiputra.
ANALISIS STRUKTUR
Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema yang terkandung dalam novel Salah Asuhan adalah diskriminasi bangsa Barat terhadap bangsa Timur.Â
Alur
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai uurutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.Â
Stanton mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Alur pada novel Salah Asuhan adalah alur maju, dapat dilihat dari teknik penceritaan yang menceritakan kejadian secara berurutan menuju kejadian selanjutnya. Tahapan alur atau plot pada Salah Asuhan terdiri dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Tahapan-tahapan alur dari Salah Asuhan dapat dilihat di bawah.
Tahap Pengenalan
Tahap pengenalan menceritakan tentang persahabatan antara dua orang yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Hanafi, adalah seorang Bumiputra yang berasal dari Minang, tanah yang masih kental dengan adat. Sedangkan Corrie, adalah seorang gadis peranakan Indo-Belanda yang sangat digilai oleh banyak laki-laki. Tahap pengenalan ini dimulai dari percakapan antara Hanafi dan Corrie di tempat bermain tenis.Â
Seorang pun belum ada di tempat permainan tenis ini, karena kedua anak muda, yang duduk berlindung di bawah pohon yang rimbun mengjadapai meja teh dekat permainan itu, belum boleh dikatakan hendak bermain...
"Ya, Han!" kata yang seorang, yaitu seorang gadis bangsa Barat yang amat cantik parasnya. Sambil berkata-kata dituangkannyalah air teh ke dalam dua cangkir yang tersedia.Â
Tahap Pemunculan Konflik
Tahap ini dimulai saat Hanafi jatuh cinta kepada Corrie. Hanafi tahu bahwa dia dan Corrie berasal dari budaya yang berbeda. Tetapi, Hanafi tetap memaksakan perasaannya. Saat Hanafi mengutarakan perasaannya kepada Corrie, membuat Corrie bimbang. Di satu sisi, Corrie juga mencintai Hanafi, tetapi Corrie tahu bahwa akan ada konsekuensi yang ia dapatkan apabila menjalin hubungan dengan Hanafi, yang seorang Bumiputra.
...Hanafi sudah cinta padanya, bukan lagi sebagai adiknya, melainkan sebagai kepada seorang perempuan yang dikehendakinya buat menjadi istrinya...
"Jika engkau beristrikan aku, terlebih dahulu engkau harus bercerai dengan bangsamu, dengan kaum keluargamu, dengan ibumu."
Tahap Peningkatan Konflik
Tahap peningkatan konflik adalah saat ibu Hanafi menyuruh Hanafi untuk memperistri Rapiah, anak dari mamak Hanafi dengan alasan bahwa mereka telah berhutang budi dengan keluarga mamak Hanafi yang sudah membantu pendidikan Hanafi. Tetapi, Hanafi menolak, karena menurutnya Rapiah yang masih kolot dengan adat tidak pantas menjadi istri dari Hanafi, yang lebih menyukai hal-hal berbau Barat, khususnya Belanda.Â
"...Buat menyenangkan hati kita semuanya, terimalah Rapiah buat istrimu! Jika kaulakukan demikian adalah Ibu bagai mendapat gunung emas rasanya."
Kemudian, setelah mengalah karena didesak untuk melunasi hutang budi tersebut, akhirnya Hanafi mau untuk menjadikan Rapiah sebagai istrinya. Walaupun sudah menikah, ternyata perlakuan Hanafi terhadap Rapiah tidak menunjukkan kasih sayang. Karena pernikahan tersebut didasari oleh pelunasan hutang, Hanafi tidak memiliki keinginan untuk mencintai Rapiah.
Dan mula permufakatan hendak memperistrikannya, ia sudah berkata bahwa ia beristri karena terpaksa, jadi tiadalah ia mempedulikan gaduh bencana yang berhubungan dengan perkara ia beristri itu. Di dalam perkara itu ia menempatkan dirinya pada tempat 'orang yang dikawinkan', dan segala sesuatu dihabisinya pula dengan mengangkat kedua bahunya.
Tahap Klimaks
Tahap klimaks dimulai saat Hanafi yang terkena gigitan anjing, harus melakukan pengobatan di Betawi. Hanafi senang, karena ia berharap dapat bertemu kembali dengan Corrie.Â
Dalam hatinya, Hanafi sebenarnya girang bahwa sudah terpaksa berangkat ke Betawi. Udara di rumah memang kurang nyaman dan di Betawi ada Corrie!
Seperti yang diharapkan, Hanafi memang bertemu dengan Corrie. Setelah melakukan beberapa kali perjalanan, Hanafi sangat gembira karena ternyata Corrie menyimpan perasaan dengannya. Di Betawi, Hanafi mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan apa yang selama ini ia harapkan, yaitu status yang dipersamakan dengan Belanda. Akhirnya, Hanafi memutuskan untuk menceraikan Rapiah dan memilih untuk tinggal di Betawi setelah melakukan perkawinan dengan Corrie.
"Gaji permulaan hanya lebih sedikit dari di Solok, tapi harapan sangat besar, karena ananda sudah pula, memasukkan surat permohonan buat dipersamakan dengan bangsa Belanda."
"Corrie, istriku!" Kata Hanafi, setelah sampai dalam kereta.
Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian terjadi saat hubungan rumah tangga antara Hanafi dan Corrie mengalami masalah. Corrie memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal di rumah seorang Nyonya di Semarang. Nyonya tersebut adalah orang yang membantu Corrie mendapatkan pekerjaan di rumah anak piatu di Semarang. Saat Hanafi menyusul, ternyata Corrie sedang sakit keras. Tak lama setelahnya, Corrie meninggal dunia dan meninggalkan Hanafi untuk selamanya. Dengan hati yang gundah, Hanafi kembali ke Padang dan tinggal dengan ibunya. Karena hati dan pikirannya kacau, akhirnya Hanafi memutuskan untuk bunuh diri dengan meminum sublimat. Sebelum meninggal, Hanafi mengakui kesalahannya dan berkata agar Syafei jangan sampai salah asuh seperti Hanafi. Lalu, Hanafi dikuburkan di kuburan orang kampung setelah hal itu diperdebatkan, karena Hanafi dianggap sudah 'masuk Belanda'.
Dengan bimbang hati mendekatlah ibunya ke kepalanya, lalu Hanafi berkata dengan suara lemah-lembut, "Ibu...ampuni...akan dosa...ku...Syafei pelihara...baik-baik. Jangan...diturutnya...jejakku..."
Setelah rapat nyinyik mamak, yang menurut hak syarat dan adat di muka rapat Asisten Residen, barulah putus buat menguburkan mayat Hanafi di kuburan orang kampung saja, hingga sudah senja barulah Hanafi terkubur.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character), menurut Abramas adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh Utama
Hanafi
Sombong
Hanafi sangat menyombongkan tentang kepribadiannya yang mengerti dan dididik dengan cara Belanda. Dia menganggap segala hal yang berbau pribumi adalah kampungan.
"Ibu orang kampung dan perasaan Ibu kampung semua," demikian ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. "Di rumah gedang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja."
Berperangai kasar
Karena kesombongannya, Hanafi berlaku semena-mena dengan orang pribumi yang dianggap lebih rendah darinya.
"Hai, Buyung! Antarkan anak itu dahulu ke belakang!" kata Hanafi dengan suara bengis dari jauh.
Ambisius
Hanafi sangat berambisi dalam menggapai apa yang diinginkannya. Seperti menikahi Corrie dan persamaan status dengan Belanda. Segala hal ia lakukan, walaupun perbuatan itu tidak baik.
"Gaji permulaan hanya lebih sedikit dari di Solok, tapi harapan sangat besar, karena ananda sudah pula, memasukkan surat permohonan buat dipersamakan dengan bangsa Belanda."
Tokoh Utama Tambahan
Corrie
Labil
Sifat labil Corrie dapat dilihat saat ia merasa bahwa ia jatuh cinta kepada Hanafi, tetapi ia tidak mau mengakui. Kebimbangan hati Corrie, karena Corrie dan Hanafi berasal dari budaya yang berbeda, yaitu Barat dan Timur.
Semalam-malaman itu Corrie tidak merasai tidur nyenyak. Setiap saat itu bertanya dalam hatinya, "Cintakah ia pada Hanafi?" Tapi senantiasa didengarnya pula sahutan, "Oh! Anak Belanda dengan orang Melayu, bagaimana boleh jadi!" Tapi seketika itu juga berbunyi pula suara, "Orang Melayu boleh disamakan haknya dengan orang Eropa!"
Tokoh Tambahan Utama
Ibu Hanafi
Penyayang dan penyabar
Ibu Hanafi sangat menyayangi Hanafi. Walaupun Hanafi sudah terlalu jauh dari ikatan adat dan lebih pro Belanda, Ibu Hanafi tidak pernah sekalipun menjauhi Hanafi, karena rasa sayangnya. Ia selalu sabar menjaga Hanafi dalam keadaan apapun.
Siang malam orang tua itu menunggu anaknya di tempat tidur. Hanafi perlahan-lahan menjadi kuat kembali, sedang dari makanan bubur dengan susu, ia pun sudah diberi makan nasi.Â
Memegang Teguh Adat Istiadat
Ibu Hanafi adalah orang kampung yang tidak mengerti hal-hal tentang Belanda. Berasal dari tanah Minang yang kuat dengan adat, menjadikan Ibu Hanafi agak kolot dan tidak terbuka dengan budaya modern.
Perempuan Bumiputra dari kampung memang lebih senang duduk bersimpuh daripada duduk di atas kursi. Ia gemar sekali berkunjung-kunjungan dengan orang lain. Tempat sirih, tempat ludahnya dan dapur, itulah barang-barang yang sangat digemarinya melihat setiap hari: itulah dunianya.
"Secara kampung, sebenarnya engkau mesti talkuk ke bawah mamak-mamakmu, Hanafi!"
Rapiah
SabarÂ
Rapiah adalah tokoh yang sabar. Walaupun Hanafi sebagi suami tidak memedulikannya, tetapi Rapiah tetap sabar dalam mengemban amanah sebagai seorang istri.Â
Setiap hari asal saja sudah menimbulkan amarahnya, perkara itu sudah dipakainya buat melepaskan sakit hatinya kepada Rapiah. Tetapi istri yang sabar itu sudah tunduk menangis saja, bagaikan insaf akan dirinya.
Setia
Rapiah adalah istri yang setia. Karena rasa cintanya pada Hanafi, Rapiah memilih untuk tidak menikah lagi setelah diceraikan oleh Hanafi.
"Ah, Ibuku! Janganlah Ibu sebut-sebut juga pasa hendak mengganti Hanafi itu, karena tak ada sesaat juga hatiku sudi memikirkan hal yang serupa itu..."
Latar
Menurut Abrams, latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar pada Salah Asuhan dibagi menjadi latar waktu, latar tempat, dan latar sosial.
Latar Waktu
Latar waktu umum
Latar waktu umum, seperti pagi, siang, sore, malam, sudah terdapat pada novel Salah Asuhan.
Latar waktu penceritaanÂ
Latar waktu penceritaan dapat disimpulkan sekitar tahun 1901-1950an. Pertama, pada tahun 1854, Belanda mengeluarkan pasal 109 yang menetapkan pembagian penduduk Hindia Belanda menjadi empat golongan, salah satunya, yaitu met europeanen gelijkgestelden (orang-orang yang disamakan kedudukannya dengan orang-orang Eropa).
Kedua, penyebutan nama-nama tempat, seperti Instituur Pasteur, tempat Hanafi mengobati luka akibat gigitan anjing. Instituut Pasteur adalah awal mula Bio Farma yang didirikan pada tahun 1890 dengan nama Parc Vaccinogene, lalu tahun 1895-1901 berganti nama menjadi Parc Vaccinogene en Instituut Pasteur.
"Aku digigit anjing gila, Corrie, dan sudah tiga hari berobat di Instittut Pasteur."
Berkaitan dengan luka akibat gigitan anjing yang dialami Hanafi, rabies pada anjing di Indonesia ditemukan oleh Penning, pada tahun 1889.
Selain itu, ada penyebutan Deca Park, sebuah bioskop di Jakarta. Alwi Shahab mengatakan, des Collonne pada awal abad ke-20 mengusahakan bioskop lainnya Deca Park di depan Istana Merdeka. Terdapat pula keterangan lain mengenai Deca Park bahwa menjelang tahun 1920-an mulai terjadi penggolongan bioskop ke dalam kelas-kelas, sehingga ada bioskop untuk orang Eropa saja seperti Concordia di Bandung serta Deca Park dan Capitol di Jakarta.
Hanafi tidak segera menyahut, melainkan ia memandang arah ke Deca Park, seolah-olah memperhatikan cahaya penerangan yang ada di situ .
Dan terdapat penyebutan istilah ethische politiek, politik etis. Adapun politik etis adalah suatu kebijaksanaan penting yang dicanangkan tahun 1901.
Latar Tempat
Latar tempat banyak ditemukan dalam penyebutan nama-nama kota tempat kejadian, seperti Solok, Koto Anau, Padang, Surabaya, Semarang, Betawi, Probolinggo, dan Bandung. Mayoritas latar tempat terdapat di Kota Solok, Betawi, dan Semarang.
Solok
Setiap petang berkumpullah beberapa orang penduduk Solok  yang 'ternama' ke tempat itu buat bermain tenis.
Betawi atau BataviaÂ
Pada waktu malam pulang pulalah ia mengambil jalan Gambir itu...
Semarang
Empat belas hari lamanya Hanafi tinggal dipelihara di Rumah Sakit Paderi di Semarang.
Latar Sosial
Diskriminasi bangsa Barat terhadap bangsa Timur
Pada saat itu, Belanda menjadi penguasa yang superior di Indonesia. Hal itu menyebabkan bangsa Belanda melakukan diskriminasi, karena mengganggap kedudukannya lebih tinggi dari pribumi.Â
"Perbedaan itu sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar sekali. Sebabnya tiada lain, karena penyakit 'kesombongan bangsa' itu juga. Orang Barat datang kemari, dengan pengetahuan dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang di sini..."
Memegang Erat Adat Istiadat
Masih ada masyarakat yang masih memegang erat adat istiadat. Masyarakat tersebut masih berusaha meneruskan tradisi apapun, walaupun di sisi lain, pengaruh Belanda sudah merasuki setiap kehidupan masyarakat Indonesia.Â
"Secara kampung, sebenarnya engkau mesti takluk ke bawah mamak-mamakmu, Hanafi!"
Gaya Bahasa
Menurut Abrams, Stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.
Gaya bahasa pada novel Salah Asuhan sudah menggunakan Melayu Tinggi. Ini menjadi ciri khas tersendiri, karena Salah Asuhan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Selain itu, terdapat banyak penggunaan kata, istilah bahasa Belanda, sehingga novel ini menjadi semakin menarik, karena secara tidak langsung, pembaca menjadi lebih dekat dengan peristiwa, karena mengetahui secara langsung penggunaan bahasa Belanda yang dipakai oleh tokoh.Â
Sudut Pandang
Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalnya: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Abrams juga menyatakan bahwa sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai persitiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut pandang pada novel Salah Asuhan adalah sudut pandang persona ketiga: "Dia". Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persna ketiga, gaya "dia", narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.
Dalam beramah-ramahan sampailah mereka ke Jembatan Merah.
Tapi Hanafi sekali-kali tidak mengindahkan segala kesenangan ibunya itu.
Amanat
Pemecahan suatu tema disebut amanat. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit (berterang-terangan) dan dapat juga secara implisit(tersirat).
Amanat yang dapat diambil dari kisah yang terdapat dalam novel Salah Asuhan adalah jangan pernah menyombongkan diri dan merendahkan orang lain, hanya karena kita lebih berkuasa daripada orang itu. Selain itu, hendaknya kita saling menghormati, baik itu terhadap orang tua, orang lain, atau terhadap adat istiadat. Sikap terbuka terhadap budaya baru memang bagus, tetapi kita harus pandai dalam menyaring budaya luar. Kita juga harus tetap melestarikan adat dan budaya sendiri. Walaupun kita tidak menyukai adat atau budaya tersebut, bukan berarti kita bisa berlaku semena-mena terhadap orang yang masih memegang erat adat istiadat.
ANALISIS HIBRIDITAS PADA TOKOH HANAFI
Hanafi adalah seorang Bumiputra yang sedari kecil bersekolah di sekolah Belanda dan hidup dengan orang Belanda. Dampak dari didikan tersebut adalah sosok Hanafi yang lebih menyukai hal-hal berbau Belanda, daripada bangsanya sendiri. Hanafi tumbuh menjadi sosok Bumiputra yang anti adat istiadat. Di satu sisi, keluarga Hanafi adalah keluarga yang masih berpegang dengan adat istiadat Minang. Hal ini yang menjadi rintangan bagi Hanafi yang ingin terlepas dari belenggu identitas asalnya sebagai Bumiputra. Hanafi merasa, dampak dari didikan Belanda menjadikan dirinya sebagai jiwa yang berada dalam tubuh yang salah. Jiwa, pandangan, cita-cita Hanafi adalah segalanya yang berbau Belanda, namun dari segi fisik memang tidak dapat dipungkiri bahwa wadah jiwanya adalah seorang Bumiputra. Hanafi pun berusaha untuk menjauhkan diri dari identitas asal. Ia mencoba untuk menjadi sosok lain yang ia inginkan, yaitu sebagai seorang Belanda
Selain itu, pada zaman kolonial, bangsa Belanda melakukan diskriminasi terhadap pribumi. Perbedaan-perbedaan diperlihatkan antara Timur dan Barat. Salah satu yang disayangkan oleh Hanafi adalah masalah perkawinan antara orang Barat dan Timur. Hanafi menyayangkan konsekuensi dari perkawinan tersebut yang berdampak pada kehidupan sosialnya. Hal itu menjadikan tokoh Hanafi semakin gencar melakukan hibriditas guna menyetarakan kedudukannya dengan bangsa Belanda.Â
Penggunaan Bahasa
Untuk meningkatan kedudukannya, Hanafi menggunakan bahasa dan istilah Belanda saat berbicara dengan teman Eropanya. Tidak hanya itu, bahkan saat ia berbicara dengan ibu dan Rapiah, Hanafi masih sempat mengeluarkan istilah-istilah Belanda. Hal itu menjadi faktor dasar agar ia dapat masuk ke dalam lingkup pergaulan bangsa Eropa.Â
Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicatat dan dicemoohkannya, sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindahan serambut juga.
Hanafi yang seorang Bumiputra merasa rendah apabila ia menggunakan bahasa Melayu yang menjadi bahasa asalnya.Â
Gaya Hidup
Agar menjadi sosok yang lebih 'Barat', gaya hidup Hanafi pun berbau segala hal tentang Barat, khususnya Belanda. Mulai dari pakaian, rumah dan peralatan rumah tangga. Karena sedari kecil tinggal di rumah orang Belanda, Hanafi menjadi lebih terbiasa dengan gaya hidup Belanda. Dia bahkan melarang ibunya untuk menerapkan gaya hidup Melayu di dalam rumahnya. Terlebih, karena tamu yang datang adalah orang Belanda, maka Hanafi berpendapat agar suasana rumahnya juga persis dengan suasan rumah orang Belanda.Â
Hanafi berkata, bahwa ia dari kecilnya hidup di dalam orang Belanda saja; jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula.
"Di rumah gedang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja."
Selain itu, Hanafi juga memiliki ambisi untuk memiliki jabatan yang tinggi. Dengan memiliki jabatan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari Bumiputra yang lain akan menjadi kebanggaan tersendiri dan menjadi nilai plus untuk Hanafi di mata bangsa Belanda, karena Hanafi dapat memiliki pekerjaan yang juga dilakukan oleh bangsa Belanda
.
"Dengan pangkat ini jalan ke atas seolah-olah sudah terbuka bagi ananda, karena lambat launnya ananda akan dapat mencapai jabatan Referendaris, asal sabar."
Sistem Masyarakat
Hanafi juga menentang sistem masyarakat yang berlaku dalam budaya Indonesia, khususnya Melayu yang ia rasakan di Solok. Hanafi yang berasal dari tanah Minang seharusnya sudah paham bahwa ia harus tunduk pada mamaknya. Terlebih, karena para mamaknya yang selama ini membantu pendidikan Hanafi di sekolah Belanda. Namun, Hanafi menentangnya. Dia tidak ingin tunduk pada mamaknya yang memintanya untuk melakukan perkawinan dengan Rapiah yang masih saudaranya, hanya karena harus melunasi hutang balas budi.Â
Karena Hanafi ingin kedudukannya sama dengan Eropa, maka Hanafi bersikeras untuk melakukan perkawinan dengan perempuan yang berasal dari Eropa. Hanafi memiliki pandangan bahwa perempuan Eropa, Belanda lebih berpendidikan dan bernilai tinggi daripada perempuan pribumi yang tidak mengerti apa-apa dan dianggap lebih rendah daripadanya.
"Itulah yang kusegankan benar hidup di tanah Minangkabau ini, Bu.di sini semua orang berkuasa, kepada semua orang kita berutang, baik utang uang maupun utang budi ..."
" ... o, Ibu, kalau Ibu menghendaki perempuan yang semacam itu saja bagiku, apakah perlunya Ibu menyerahkan aku bersekolah tinggi?"
Dan yang paling mencolok adalah saat Hanafi meminta agar statusnya disamakan dengan bangsa Belanda. Hanafi merasa bahwa jiwanya sebagai seorang Bumiputra telah hilang. Hanafi adalah sosok yang berpendangan hidup layaknya bangsa Belanda. Bahkan dia berani untuk merendahkan pribumi, hanya karena ia lebih mengerti tentang Belanda. Dan agar ia dapat menikahi Corrie, gadis Belanda pujaannya, Hanafi memutuskan untuk meminta agar statusnya disamakan dengan bangsa Belanda. Karena, jika ia masih menjadi Bumiputra, ia akan dipandang sebelah mata oleh bangsa Belanda. Itu artinya, Hanafi bukanlah seorang Bumiputra lagi. Hanafi telah meninggalkan 'rumah' asalnya. Walaupun secara fisik Hanafi adalah Bumiputra, tetapi secara jiwa Hanafi adalah sosok Belanda.Â
"Bunda! Dengan persamaan kepada bangsa Belanda itu ananda seolah-olah sudah keluar dari bangsa dan dari'payung' kita. Katakanlah kepada orang-orang di kampong, bahwa gelarku 'Sutan Pamenan' sudah kuletakkan dan hendaklah mereka mengisarkannya kepada yang lain ..."Â
Dengan demikian, Hanafi akhirnya keluar dari bangsanya dan beralih ke bangsa yang dianggap lebih tinggi. Hal itu, karena diskriminasi yang dilakukan oleh bangsa Belanda, sehingga Hanafi ingin agar statusnya disamakan dengan Belanda.
SIMPULAN
Novel Salah Asuhan bercerita tentang pengalihan status kebangsaan yang dilakukan oleh Hanafi, karena adanya diskriminasi antara bangsa Barat dan Timur. Karena diskriminasi tersebut, muncul Hibriditas yang akhirnya melahirkan pribadi baru akibat dari benturan antara budaya yang saling berlawanan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H