Mohon tunggu...
Litteu Nur El Lailatie
Litteu Nur El Lailatie Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Belajar dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hibriditas pada Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis

31 Desember 2024   08:33 Diperbarui: 31 Desember 2024   08:40 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Agar menjadi sosok yang lebih 'Barat', gaya hidup Hanafi pun berbau segala hal tentang Barat, khususnya Belanda. Mulai dari pakaian, rumah dan peralatan rumah tangga. Karena sedari kecil tinggal di rumah orang Belanda, Hanafi menjadi lebih terbiasa dengan gaya hidup Belanda. Dia bahkan melarang ibunya untuk menerapkan gaya hidup Melayu di dalam rumahnya. Terlebih, karena tamu yang datang adalah orang Belanda, maka Hanafi berpendapat agar suasana rumahnya juga persis dengan suasan rumah orang Belanda. 

Hanafi berkata, bahwa ia dari kecilnya hidup di dalam orang Belanda saja; jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula.

"Di rumah gedang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja."

Selain itu, Hanafi juga memiliki ambisi untuk memiliki jabatan yang tinggi. Dengan memiliki jabatan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari Bumiputra yang lain akan menjadi kebanggaan tersendiri dan menjadi nilai plus untuk Hanafi di mata bangsa Belanda, karena Hanafi dapat memiliki pekerjaan yang juga dilakukan oleh bangsa Belanda

.

"Dengan pangkat ini jalan ke atas seolah-olah sudah terbuka bagi ananda, karena lambat launnya ananda akan dapat mencapai jabatan Referendaris, asal sabar."

  1. Sistem Masyarakat

Hanafi juga menentang sistem masyarakat yang berlaku dalam budaya Indonesia, khususnya Melayu yang ia rasakan di Solok. Hanafi yang berasal dari tanah Minang seharusnya sudah paham bahwa ia harus tunduk pada mamaknya. Terlebih, karena para mamaknya yang selama ini membantu pendidikan Hanafi di sekolah Belanda. Namun, Hanafi menentangnya. Dia tidak ingin tunduk pada mamaknya yang memintanya untuk melakukan perkawinan dengan Rapiah yang masih saudaranya, hanya karena harus melunasi hutang balas budi. 

Karena Hanafi ingin kedudukannya sama dengan Eropa, maka Hanafi bersikeras untuk melakukan perkawinan dengan perempuan yang berasal dari Eropa. Hanafi memiliki pandangan bahwa perempuan Eropa, Belanda lebih berpendidikan dan bernilai tinggi daripada perempuan pribumi yang tidak mengerti apa-apa dan dianggap lebih rendah daripadanya.

"Itulah yang kusegankan benar hidup di tanah Minangkabau ini, Bu.di sini semua orang berkuasa, kepada semua orang kita berutang, baik utang uang maupun utang budi ..."

" ... o, Ibu, kalau Ibu menghendaki perempuan yang semacam itu saja bagiku, apakah perlunya Ibu menyerahkan aku bersekolah tinggi?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun