Mohon tunggu...
Limbuk Cangik
Limbuk Cangik Mohon Tunggu... -

Pengamat Sosial & Politik Nasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membongkar Misi Ganda Sudirman Said

7 Januari 2018   01:26 Diperbarui: 7 Januari 2018   01:45 6885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca persoalan KPK saat ini seperti membaca sebuah pertarungan moralitas penyelenggara negara, tapi apakah betul perterungan itu sebagai sebuah pertarungan "Moralitas Yang Murni"? , sebuah pertarungan yang didasari misi suci untuk menghajar koruptor dan menghabisinya, lalu menjadikan negara ini menjadi negara yang bersih dari kaum koruptor. Atau pertarungan ini sesungguhnya adalah pertarungan antar dalang, pertarungan politik yang menggunakan KPK sebagai "Proxy War" dalam pertarungan menuju 2019.

Kejadian demi kejadian dalam perseteruan KPK dengan Pansus DPR, kedua-duanya seperti memperlihatkan drama yang tak selesai, dan "kabur akan keadaan", Pansus DPR seolah-olah berusaha melindungi kepentingan kawan-kawannya dari seretan KPK, sementara KPK seperti "seolah-olah" berjuang membantai korupsi dan mengejar Setya Novanto sebagai sasaran utama untuk menggaet perhatian publik. Dan Setya Novanto juga melakukan aksi aksi konyol dengan peralatan menempel tubuh dan wajahnya di rumah sakit, sehingga dirinya mendapatkan "hinaan publik" luar biasa.

Tapi apakah itu yang sesungguhnya terjadi?, adakah persoalan besar dibalik itu?, lalu bagaimana bila yang terjadi sekarang adalah sebuah s pekulasi besar untuk membangun kekuatan politik baru. Ajuan pertanyaan ini bisa menjadi alat berpikir bagi masyarakat, bahwa tak semua pertarungan politik adalah soal "surat suara", rebutan pengaruh dan membuat akses di KPU, sampai pada penggiringan opini publik. Tapi politik sudah masuk ke dalam wilayah yang sama sekali tak terduga, yaitu digunakannya KPK sebagai sebuah alat untuk memenangkan keadaan.

KPK, Gagapnya Pansus DPR dan Permainan Politik Dibaliknya

Di masa Pilkada 2017, kasus Ahok adalah contoh bagaimana sebuah "isu sederhana" ala Buni Yani bisa bergulir dengan cepat menjadi isu besar yang massif.  Bahkan siapa kira karena isu yang sederhana itu Ahok justru yang dipenjara. Padahal di masa masa sebelum Pilkada, nyaris seluruh analis analis politik, dan perbincangan rakyat menempatkan Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2017-2022 terkuat.

Ini artinya politik tidak lagi semata mata sebagai sebuah pertarungan memperebutkan suara dengan cara cara konvensional, tapi sudah ada cara cara baru dalam berpolitik bahkan lebih brutal lagi, yaitu digunakannya lembaga negara yang kredibel untuk pertaruhan politik.

Masih ingatkah anda dengan kasus Abraham Samad, yang melakukan negosiasi politik dengan PDIP, untuk dia dicalonkan menjadi Wakil dari Jokowi, dalam proses kampanye politik 2014, dimana KPK dengan mudah dijadikan alat dalam transaksi politik oleh Abraham Samad? Maka konflik KPK, Pansus KPK dan Setya Novanto, sebenarnya adalah gambaran soal konstelasi perang politik 2019 dan perang sebenarnya dilangsungkan dalam Proxy War dengan memanfaatkan "Kasus-Kasus KPK".

Segitiga Panas Permainan : Setya Novanto, KPK dan Pansus DPR

Menjadi pertanyaan penting disini, apakah KPK tidak bermain dalam mempengaruhi politik nasional, dan KPK dijadikan kartu oleh banyak pemain pemain yang memiliki kepentingan besar.

Apalagi kasus Setya Novanto mengundang perhatian banyak orang karena memang gaya hidup Novanto sendiri cenderung hedonis, ia memiliki rumah besar di Kebayoran Baru yang amat mewah, dikenal sebagai "Sinterklas Politik", namun diluar penilaian negatif terhadap Novanto, ia memiliki penciuman yang kuat untuk selalu bertahan dan mampu menjebak lawan politiknya untuk menelanjangi dirinya .   

Golkar menjadi kursi paling panas dalam perimbangan politik di tanah air, dan Novanto mampu merebut kekuasaan di Golkar. Namun intrik KPK ini sebenarnya bermula dari usaha usaha perebutan kekuasaan di Golkar antara Faksi Novanto dengan Faksi Jusuf Kalla, hanya saja JK tidak bermain langsung, banyak tangan yang bermain dalam perseteruan di Golkar ini, sementara JK mengesankan dirinya berada di luar sistem medan pertarungan.

Novanto memiliki kedekatan dengan Aburizal Bakrie, tapi sesuai dengan sandiwara politik, Ical ini merapat ke kubu Prabowo dan tidak melepas jaringan oposisi, sementara Novanto yang amat dekat dengan Luhut B Panjaitan merapat ke Jokowi. Luhut adalah orang yang amat percaya dengan Novanto, posisi Novanto digunakan Luhut sebagai instrumen politiknya, karena jelas di "Ring Satu" Luhut berhadapan dengan Megawati dan Surya Paloh.

 Kedekatan Novanto dengan Luhut B Panjaitan (LBP), sudah dicurigai lama oleh kelompok JK, permainan rekam rekaman ala Sudirman Said akhir tahun 2015, kalau mau dibongkar adalah juga permainan politik dengan melibatkan KPK. Buka saja rekaman full, disitu bisa dibuktikan bahwa KPK bermain dalam soal ini. Kalau ini bisa dibuktikan KPK bermain dalam rekaman Sudirman Said, maka KPK sendiri sebenarnya sudah menjadi "pemain politik" dengan usaha utamanya menggusur Novanto dan membantu menguasai Golkar lewat sindikat yang ada di dalam tubuh KPK.

Pertarungan Golkar sendiri bisa dipecah dalam tiga faksi utama. Pertama faksi Aburizal Bakrie, kedua faksi Jusuf Kalla (JK) dan ketiga faksi Surya Paloh. Faksi Surya Paloh adalah faksi terlemah namun memiliki corong kuat yaitu media. Surya Paloh (SP) yang kemudian merasa tidak bisa besar di Golkar, keluar dan mendirikan ormas yang kemudian menjadi Partai bernama Nasional-Demokrat (Nasdem). Sementara Ical dan JK menjadi seteru abadi.

Kekuatan Jusuf Kalla (JK) adalah ia selalu menarik ulur dalam tubuh Partai, ia bisa menjadi penentu dalam kemenangan Jokowi dan menjadi pendamping Jokowi, tapi belum selesai bagi JK bila tidak menguasai Golkar. Ia ingin Golkar dikuasai saat ia menjabat Wapres di era SBY periode pertama. Tapi niatnya itu terganjal oleh faksi Ical di dalam Golkar.

Sementara Ical sendiri di tahun 2014 sempoyongan ketika menghadapi Jokowi. Kesalahan utama Ical adalah ia berkali kali mendapatkan masukan dari para staf-nya yang cerdas membaca arah angin, dimana Ical diajak masuk ke dalam kubu Jokowi karena menurut beberapa staf Ical bahwa "Jokowi lebih berpeluang menang", namun Idrus Marham menganggap bahwa Prabowo lebih berpeluang. Kesalahan Ical dalam menentukan arah politiknya ini kemudian menjadi awal dari kekacauan di tubuh Golkar. Dan Idrus berada dalam gerbong Reza Chalid untuk mendukung Prabowo, hitung hitungan logistik-politiknya masuk, Idrus mengabaikan insting politik Novanto yang berkali kali berkata "Jokowi lebih berpeluang", sementara di kubu seberang ada Ari Soemarno yang merupakan bagian dari kelompok Nasrat Muzayyin, seteru Reza Chalid. Perseteruan ini akan dijelaskan belakangan untuk membaca pertarungan ini. Tidak mungkin bagi Idrus masuk ke dalam kelompok Jokowi, dan meninggalkan Reza Chalid.

Setelah kemenangan Jokowi, ada usaha usaha serius untuk menyeret Golkar ke dalam kubu Jokowi. Dan pintu terbaik membawa Golkar mendukung pemerintah adalah dari Luhut. Sementara Luhut agak kurang percaya dengan JK bila pintu masuk Golkar mendukung pemerintah. Sejak awal Luhut yang setia pada Presiden RI ke empat Gus Dur selalu memandang curiga pada JK yang pernah dipecat dari jabatan Menteri oleh Gus Dur itu.

Novanto sendiri sebenarnya enggan untuk masuk lagi dan memimpin Golkar karena persoalan kesehatan dan umur, tapi posisi Ical sudah tidak kuat pasca ia bergabung dengan Prabowo. Di lain pihak kubu JK sudah mengincar posisi di Golkar. Ical melihat hanya Novanto yang mampu menyelamatkan Golkar sekaligus membendung penguasaan  Golkar dari kelompok JK.

Novanto adalah seorang pelobi yang handal, ia seakan tak punya musuh, namun sejak kasus Sudirman Said mencuat. Maka jelaslah bagi publik bahwa musuh politik Novanto adalah Jusuf Kalla.

Ketika kasus Sudirman Said dan Rekaman mencuat, Novanto sementara dicopot dari ketua DPR, lalu digantikan oleh Ade Komarudin (Akom), dan tiap orang yang ngerti politik-pun tahu, bahwa Akom adalah "orangnya JK".

 Perseteruan antara JK dengan Luhut sendiri sudah terjadi sejak Mei 2016, saat Munaslub Golkar di Bali. Dan ketika Novanto memenangkan pertarungan menjadi Ketum Golkar. Maka kemudian melebar menjadi pertarungan non AD/ART, yang bersifat intelijen puncaknya adalah tersebarnya rekaman Novanto, banyak orang menganggap itu adalah tindakan inisiatif Sudirman Said, namun pada nyatanya rekaman itu adalah "mainan" KPK, bila ini terbukti maka jelas KPK sedang bermain politik.

Operasi penghancuran Novanto terus menerus dilakukan oleh kelompok JK dengan jaringan rahasianya. Dan kali ini digunakanlah KPK lewat beberapa aksi penyusupan (infiltrasi) ke dalam Manajemen level tengah KPK.

Dan Sudirman Said terus menjadi tangan untuk melancarkan operasi operasi penghancuran ini, sekaligus melancarkan ambisi politiknya. Menguasai Golkar dan menjaring dukungan agar menguasai Jawa Tengah. Operasi penguasaan Jawa Tengah ini adalah bagian dari operasi menguasai Jawa secara keseluruhan dalam Pilkada serentak 2018 oleh kelompok JK, setelah kubu Sudirman Said menguasai DKI Jakarta, dan Sudirman diangkat menjadi Ketua Tim Transisi DKI, maka penguasaan Jawa Tengah menjadi sasaran berikutnya. Karena Jawa Tengah punya titik lemah, dimana Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dan satu satunya calon terkuat dalam Pilkada 2018, ada namanya dalam list tuduhan kasus E-KTP. Ini mangsa terbaik bagi Sudirman Said untuk menempatkan Ganjar sebagai sasaran antara sebelum sasaran sebenarnya. Dan untuk menyikat Ganjar maka Setya Novanto sekali lagi dimainkan.

"Teori Relasi-Kepentingan" Dalam Memahami Kaitan Sudirman Said dan KPK

Dalam memahami sesuatu, fungsi profilling dan keterkaitan tindakan sangat penting dilakukan. Hubungan Sudirman Said dengan Ari Soemarno kemudian memperkuat jaringan kepentingan migas-nya termasuk digunakannya Concord dan Indika Energy, serta Sudirman Said menjadi 'tangan penting' Jusuf Kalla di Kabinet Jokowi, Pemecatan Sudirman Said oleh Jokowi karena kasus PLN,  Pilkada 2017, Anies Baswedan, Novel Baswedan sampai ke jejaring LSM, akan menjelaskan ini semua. Bahwa tak ada yang paling menakutkan bila digunakan instrumen KPK sebagai kepentingan politik.

Karir Sudirman Said yang paling penting sebenarnya adalah "membangun LSM" yang ditujukan untuk anti korupsi dan "penyelenggaraan pemerintahan yang bersih" inilah branding yang kemudian namanya dijadikan alat untuk "menutupi" sesuatu yang sesungguhnya. Fungsi branding sangat penting dijaman yang penuh tontonan dan artifisial seperti ini, termasuk dalam politik.

Branding nama Sudirman Said inilah yang kemudian dibaca oleh Ari Soemarno, untuk melakukan counter terhadap Reza Chalid di Petral, dengan dalih membangun sistem yang bersih, disini sebenarnya persaingan bisnis di internal Pertamina bermula. Kisah antara Ari Soemarno dan Sudirman Said kelak akan menjelaskan kisah selanjutnya dimana digunakannya sebuah entitas anti korupsi untuk membangun kekuasaan baru yang koruptif.

 Ari Soemarno, adalah pepunden awal Sudirman Said dalam bisnis energy. Saat menjabat Direktur PT Petral --sebuah anak perusahaan Pertamina yang digunakan untuk melakukan pembelian minyak dan beroperasional sepenuhnya di Singapura -- Ari Soemarno mempelajari banyak hal soal bisnis perdagangan minyak. Disini Ari

memenangkan pertarungan menjadi Ketum Golkar. Maka kemudian melebar menjadi pertarungan non AD/ART, yang bersifat intelijen puncaknya adalah tersebarnya rekaman Novanto, banyak orang menganggap itu adalah tindakan inisiatif Sudirman Said, namun pada nyatanya rekaman itu adalah "mainan" KPK, bila ini terbukti maka jelas KPK sedang bermain politik.

Operasi penghancuran Novanto terus menerus dilakukan oleh kelompok JK dengan jaringan rahasianya. Dan kali ini digunakanlah KPK lewat beberapa aksi penyusupan (infiltrasi) ke dalam Manajemen level tengah KPK.

Dan Sudirman Said terus menjadi tangan untuk melancarkan operasi operasi penghancuran ini, sekaligus melancarkan ambisi politiknya. Menguasai Golkar dan menjaring dukungan agar menguasai Jawa Tengah. Operasi penguasaan Jawa Tengah ini adalah bagian dari operasi menguasai Jawa secara keseluruhan dalam Pilkada serentak 2018 oleh kelompok JK, setelah kubu Sudirman Said menguasai DKI Jakarta, dan Sudirman diangkat menjadi Ketua Tim Transisi DKI, maka penguasaan Jawa Tengah menjadi sasaran berikutnya. Karena Jawa Tengah punya titik lemah, dimana Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dan satu satunya calon terkuat dalam Pilkada 2018, ada namanya dalam list tuduhan kasus E-KTP. Ini mangsa terbaik bagi Sudirman Said untuk menempatkan Ganjar sebagai sasaran antara sebelum sasaran sebenarnya. Dan untuk menyikat Ganjar maka Setya Novanto sekali lagi dimainkan.

 "Teori Relasi-Kepentingan" Dalam Memahami Kaitan Sudirman Said dan KPK

Dalam memahami sesuatu, fungsi profilling dan keterkaitan tindakan sangat penting dilakukan. Hubungan Sudirman Said dengan Ari Soemarno kemudian memperkuat jaringan kepentingan migas-nya termasuk digunakannya Concord dan Indika Energy, serta Sudirman Said menjadi 'tangan penting' Jusuf Kalla di Kabinet Jokowi, Pemecatan Sudirman Said oleh Jokowi karena kasus PLN,  Pilkada 2017, Anies Baswedan, Novel Baswedan sampai ke jejaring LSM, akan menjelaskan ini semua. Bahwa tak ada yang paling menakutkan bila digunakan instrumen KPK sebagai kepentingan politik.

Karir Sudirman Said yang paling penting sebenarnya adalah "membangun LSM" yang ditujukan untuk anti korupsi dan "penyelenggaraan pemerintahan yang bersih" inilah branding yang kemudian namanya dijadikan alat untuk "menutupi" sesuatu yang sesungguhnya. Fungsi branding sangat penting dijaman yang penuh tontonan dan artifisial seperti ini, termasuk dalam politik.

Branding nama Sudirman Said inilah yang kemudian dibaca oleh Ari Soemarno, untuk melakukan counter terhadap Reza Chalid di Petral, dengan dalih membangun sistem yang bersih, disini sebenarnya persaingan bisnis di internal Pertamina bermula. Kisah antara Ari Soemarno dan Sudirman Said kelak akan menjelaskan kisah selanjutnya dimana digunakannya sebuah entitas anti korupsi untuk membangun kekuasaan baru yang koruptif.

 Ari Soemarno, adalah pepunden awal Sudirman Said dalam bisnis energy. Saat menjabat Direktur PT Petral --sebuah anak perusahaan Pertamina yang digunakan untuk melakukan pembelian minyak dan beroperasional sepenuhnya di Singapura -- Ari Soemarno mempelajari banyak hal soal bisnis perdagangan minyak. Disini Ari dibimbing oleh seseorang kewarganegaraan Lebanon bernama Nasrat Muzayyin.

Saat itu pertemanan antara Ari Soemarno dan Nasrat Muzayyin di masa masa awal reformasi ditandai juga dengan masuknya Purnomo Yusgiantoro sebagai bagian dari makelar dagang jual beli minyak di Pertamina.  Nasrat Muzayyin adalah otak dalam perdagangan ini yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Masa keemasan Nasrat adalah di masa Orde Baru, kemudian setelah kejatuhan Suharto, Nasrat Muzayyin agak kesulitan, karena Petral terus disorot. 

Dengan lihai ia memasukkan Ari Soemarno, agar bisa masuk ke dalam sistem kekuasaan yang baru dan bisa melobi untuk mengamankan Petral. Selain itu Nasrat juga memasukkan salah satu anak didiknya Reza Chalid sebagai pemain penting perdagangan minyak. Reza Chalid mendirikan perusahaan bernama Global Energy di Singapura dan lewat kelihaian lobi lobi-nya, ia menguasai semua tender Petral. Reza menjadi pemain kuat dalam perdagangan minyak dengan Pertamina.

Reza Chalid amat cerdas, ia melihat Nasrat Muzayyin mulai melamban dan tidak mampu secara intens melobi "orang orang Jakarta". Reza kemudian merapat ke Cendana, lalu memperkuat Global Energy dengan membentuk lima anak perusahaan dimana Global Energy menjadi induk dari 5 perusahaan yaitu Supreme Energy, Orion Oil, Paramount Petro, Straits Oil dan Cosmic Petrolium yang berbasis di Singapura dan terdaftar di Virgin Island yang bebas pajak. 

Lewat koneksi kekuasaan di Jakarta, Reza melakukan banyak perdagangan jual beli minyak di Singapura dan mendapatkan keuntungan besar. Apalagi setelah SBY menjadi Presiden, kedekatan Reza dengan petinggi rezim SBY amat dekat, ia menjalin persekutuan bisnis yang kuat dengan Hatta Radjasa dan membuat Purnomo Yusgiantoro yang saat itu sudah menjadi Menteri ESDM juga tidak bisa bertindak lebih jauh dengan Reza kecuali menjadi bagian dari persekutuan itu.

Nasrat melihat anak didiknya itu ternyata sudah masuk ke dalam wilayahnya, dan ia terganggu kenyamanannya. Apalagi Global memberikan lebih dari 30% kontribusinya ke dalam perdagangan ke Petral. Suatu saat Nasrat mengutarakan kesedihannya soal wilayah bisnisnya yang dicaplok Reza ke Ari Soemarno.

Mendengar keluhan Nasrat Muzayyin, jelas Ari Soemarno resah menghadapi kelakuan Reza Chalid, keresahannya itu juga disampaikan ke Purnomo Yusgiantoro yang saat itu sudah menjadi Menteri ESDM, kolega Ari yang juga pernah sama sama bermain dalam kelompok Nasrat. Purnomo adalah orang Jawa yang biasa berkompromi. Ia meminta Ari Soemarno untuk tidak ribut diluaran. Purnomo berjanji akan mengatur pola pembagiannya. Akhirnya atas keputusan Purnomo dibagilah 70% tetap ke Reza Chalid, dan kelompok Nasrat mendapatkan 30%.

Ari Soemarno agak mundur selangkah dan membiarkan Reza terus mendapatkan "permainannya" apalagi ia mendapatkan akses kuat ke Hatta Radjasa yang juga besan dari Menteri SBY.

Setelah mendapatkan konsesi 30%, Ari Soemarno kemudian menemui Nasrat dan membicarakan langkah selanjutnya. Nasrat mengeluarkan pendapat bahwa angka 30% konsesi itu bisa dijadikan kontribusi modal untuk PT Concord Energy, dan Ari mendapatkan saham 35% di Concord lalu menempatkan anaknya Yuri Soemarno di Concord, dari sinilah kemudian rencana lanjutan bermula.

Ari Soemarno memerlukan orang yang bisa dipercaya dan namanya bersih di muka publik sebagai tokoh anti korupsi. Ini dilakukan agar Ari Soemarno bisa menyerang  Petral. Lantas ia bertemulah ia dengan orang bernama Sudirman Said lewat sebuah koneksi.

Sudirman Said adalah tokoh yang tepat dan amat diperlukan oleh Ari Soemarno untuk menjatuhkan Petral. Ia perlu orang yang bisa menyeret kisah kelam Petral ke tengah publik dengan suara tokoh anti korupsi. Dan Sudirman Said adalah tangan yang mampu menyeret itu. Ari membaca resume riwayat hidup Sudirman dalam jalinan kerja membentuk LSM anti korupsi apalagi tokoh yang bekerjasama dengan Sudirman Said tidak main main seperti Mar'ie Muhammad, Erry Riyana Hardjapamekas dan Sri Mulyani. Sudirman Said dikalangan kaum intelektual Jakarta adalah tokoh "Masyarakat Transparansi Indonesia" atau dikenal singkatannya "MTI".  

Entahlah, apa Sudirman Said sadar atau tidak. Digunakannya dia adalah untuk membangun sebuah kelompok mafia baru dan menghancurkan mafia lama. Dan pada tahun 2008, Ari Soemarno bisa mencapai kedudukan sebagai Dirut Pertamina. Disinilah kemudian "operasi penghancuran Petral dimulai" dengan menggunakan tangan Sudirman Said yang melepaskan isu ke berbagai jaringan LSM untuk menjadikan Petral sasaran bully. Dengan sadar pula Sudirman Said memperalat Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan jaringan LSM untuk menghajar Petral, namun diam diam ia bermain dengan ISC dan membesarkan Concord milik Ari dan Nasrat.

Dengan dijadikannya Petral sebagai "entitas jahat" maka berdirinya ISC (Integrated Supply Channel) di dalam tubuh Pertamina dimana Concord Energy bermain akan mengelabui opini publik.

Lucunya Sudirman Said malah melakukan tindakan tindakan yang sifatnya tidak transparan dalam melakukan kontrak jual beli minyak untuk Pertamina lewat ISC.

"Kasus Minyak Libya" adalah contoh bagaimana Sudirman Said bermain kotor demi memperkuat permainan pada Concord Energy,  perusahaan dibawah kendali Ari Soemarno dan Nasrat dimana Sudirman Said menjadi operator untuk memberikan keuntungan pada Concord.

(Baca)

Tapi malang bagi Ari Soemarno, ia dihentikan dari jabatannya sebagai Dirut Pertamina, dan digantikan Karen Agustiawan, permainan permainan Ari Soemarno dihentikan oleh Karen dan membuat Sudirman Said juga mulai terpojok.

"Skandal Minyak Libya" dimasa Ari Soemarno dimana Sudirman Said terlibat sudah amat dikenal di kalangan pemerhati perminyakan, dalam kasus "Skandal Minyak Libya", penghentian kontrak jangka panjang yang tidak transparan oleh Karen, dan terpergoki-nya Sudirman Said serta Ari Soemarno melakukan negosiasi diam diam di Libya pasca tersingkirnya Ari Soemarno dari jabatan Dirut Pertamina, pada Februari 2009 membuat Sudirman Said mulai mati langkah.

Namun nasib baik menghampiri Sudirman Said, pada tahun 2014 ada Kampanye Pemilihan Presiden. Ini langkah penting bagi para pemain proyek untuk merapat ke setiap kandidat. Musuh Ari Soemarno, Reza Chalid jelas merapat ke Prabowo. Reza bisa dibilang lihai dalam berdagang minyak, tapi bodoh dalam estimasi politik. Ia justru mengira Prabowo yang akan memenangkan pertarungan dan bukan Jokowi. Tapi banyak orang juga mengira karena kedekatan Reza Chalid dengan Cendana sehingga Reza secara subyektif tanpa perhitungan masuk ke dalam jaringan Prabowo.

Ari Soemarno, patron dari Sudirman Said merapat ke kubu Jokowi dengan mendekati beberapa orang yang berpengaruh di seputaran Jokowi, bahkan Ari Soemarno aktif di tim transisi. Dalam tim transisi tersebut Sudirman Said disusupkan dengan halus untuk disiapkan menjadi Dirut Pertamina. Namun nasib malah mengantarkannya menjadi Menteri ESDM. Disinilah kemudian timbul pertarungan kedua, antara Ari Soemarno dengan Reza Chalid sebagai lanjutan dari gagalnya Ari mengembangkan ISC di Pertamina dan menghabisi Petral.

 

Ulah Sudirman Said di Kabinet Jokowi

Sudirman Said akhirnya masuk kabinet Jokowi 2014 dengan posisi amat penting yaitu : Menteri ESDM. Ini mengejutkan banyak orang karena Sudirman Said "jelas bukan siapa siapa". Dan Sudirman Said juga berada dalam posisi gamang, patronnya Ari Soemarno tidak masuk dalam kabinet, karena disitu sudah ada Rini Soemarno, yang ditempatkan Jokowi ke posisi Menteri BUMN.  Rini Soemarno adalah bontot dari keluarga Soemarno, ia menjadi pemain penting dalam kabinet Jokowi, dan tidak etis bila kemudian ada saudara kandung di dalam kabinet Jokowi, aroma nepotisme sangat kental, maka Ari Soemarno mengalah.

Sudirman Said tidak bisa menjadikan Rini sebagai "teman" karena Rini dianggap punya "kepentingan sendiri", yang paling aman adalah ia menjalin kekuatan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Banyak orang mengira masuknya Sudirman Said adalah atas berkat rekomendasi Jusuf Kalla, padahal Sudirman Said adalah bayang bayang dari Ari Soemarno di Kabinet. Namun kemudian perlahan Sudirman Said malah jadi tangan kanan JK. Dan Jusuf Kalla pun banyak berkepentingan dengan Sudirman Said, karena mayoritas proyek proyek jaringan JK ada di Pembangkit listrik, ini artinya PLN harus dikendalikan.

Sudirman Said pun mulai mengumpulkan kawan kawan lama dalam jaringan perkenalannya, termasuk Kuntoro Mangkusubroto. Dulu di masa perbaikan tsunami aceh, Kuntoro adalah Kepala Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Pasca Tsunami, sementara Sudirman Said  Deputi Bidang Komunikasi, Informasi, dan Hubungan Kelembagaan, Proyek Badan Pelaksana ini terjadi tahun 2005, di masa itulah Sudirman Said juga melebarkan jaringan perkenalannya dengan LSM-LSM yang semakin memperkuat pengaruhnya dalam jaringan LSM. Kuntoro kemudian ditarik oleh Sudirman Said menjabat Komisaris PLN, fungsinya mengamankan seluruh proyek yang jadi tanggung jawab Sudirman dengan kroni-nya serta mengawasi jajaran Direksi PLN yang bukan berasal dari kelompoknya.

Sadar akan posisi yang penting, Sudirman Said mulai memainkan kartunya, ia tak ingin misi-nya gagal seperti kasus 2009, dimana Ari Soemarno digeser dari Pertamina, dan ia juga gagal menjadikan Concord sebagai perusahaan besar pada tahun 2009 karena Ari diberhentikan. Sekaligus ia ingin mencoba lagi "Permainan Minyak Libya" dilakukan di Pertamina, seperti apa yang ia lakukan pada tahun 2009.

Untuk itu dia menggunakan dua misi : "Pertama, mengefektifkan mesin mesin LSM jaringannya untuk menggalang opini publik, dan kedua, menjalin kekuatan dalam politik", Kedua menjalankan amanah tertunda dari Ari Soemarno untuk membesarkan ISC di dalam tubuh Pertamina dan membesarkan Petral, seraya mengamankan proyek proyek Jusuf Kalla di PLN.

Langkah awal di Kementerian ESDM adalah melakukan jebakan rekaman ke Setya Novanto dengan memanfaatkan jaringan di KPK, rekaman yang dihadiri Maroef Sjamsudin, dirut PT Freeport Indonesia, M Reza Chalid, dan Setya Novanto. Dalam rekaman itu becandaan Novanto menjadi amat viral. Dan dasar rekaman itu Sudirman Said mengadu ke Presiden dengan tuduhan Novanto mencatut nama Presiden.

Tetapi dibalik itu sebenarnya Sudirman Said ingin menjaga kepentingan Jusuf Kalla soal Freeport. Menjelang pergantian kekuasaan di Indonesia antara SBY dan Jokowi, Presiden SBY melakukan kunjungan ke Amerika Serikat, disana akan ditandatangani perjanjian MoU dengan PT Freeport Indonesia, ternyata ada Sofyan Wanandi di waktu yang tepat untuk membatalkan saja dulu perjanjian itu seraya menunggu terbentuknya pemerintahan baru Jokowi.

Sofyan Wanandi lantas menendang bola Freeport ke Jusuf Kalla. Setelah bola dipegang Jusuf Kalla, lantas JK mendesain agar Freeport tetap aman dikelompoknya. Ada tiga perusahaan yang akan mengendalikan Freeport sebagai pemasok, yaitu : Bosowa, Bukaka dan Indika Grup.

Jusuf Kalla juga merancang, menaikkan Maroef Sjamsudin sebagai Dirut Freeport. Disini kekuatan JK amat lengkap di level regulasi ada Sudirman Said yang berada dibawah kendalinya, dan di level operator ada Maroef Sjamsudin.

Dalam perjalanannya, ada ide untuk menjebak Novanto dan Reza Chalid. Novanto dipandang sangat dekat Luhut dan bisa jadi kekuatan Luhut di Golkar, sementara Reza Chalid jelas melapangkan upaya jalan pembubaran Freeport. Di tingkat opini publik, Petral sebagai "Maenan Reza Chalid" sudah amat jelek di mata masyarakat, sementara di tubuh Pertamina harus siap menerima skema "ala Minyak Libya" yaitu "Penunjukkan Langsung" dimana Concord bermain lagi.

Upaya ini terus dilakukan Sudirman Said dengan melobi berbagai NOC (National Oil Company), untuk siap memasok minyak langsung ke Pertamina lewat penunjukkan langsung. Lobi lobi Menteri ESDM ke Aramco, Kuwait Petro dan banyak NOC, sehingga ada klausul yang diberikan ke Dirut Pertamina, Dwi Sutjipto. Setelah memo turun agar dibentuk "Penunjukan langsung" Dirut Pertamina mendiamkan mau-nya Sudirman Said, kemudian disinilah terjadi silang sengketa di tubuh Pertamina. Dwi Sutjipto sendiri melihat Daniel Purba, direktur ISC sebagai kepanjangan Ari Soemarno, dan tentunya "orangnya Sudirman". Dwi Sutjipto-pun mendapatkan tekanan.

Kisruh Pertamina ini mendapatkan perhatian Presiden, ada info nama Sudirman Said sudah masuk ke daftar perombakan kabinet, karena Sudirman Said "terlalu banyak bermain" dalam soal Pertamina dan mementingkan kelompoknya. Kemudian dilakukanlah manuver untuk menggalang opini publik, yaitu "Rekaman Sudirman Said". Sekali lagi bila dibalik layar rekaman ini dibuka ada peran KPK disitu, dan bisa jadi arus balik penuntutan bisa kena ke KPK, karena KPK terlibat dalam usaha usaha perekaman itu demi kepentingan politik Sudirman Said.

Sudirman Said dan Pertarungannya dengan PLN

Salah satu keresahan besar Presiden Jokowi adalah banyaknya proyek mangkrak di PLN. Namun Jokowi juga sudah membaca para pemain proyek PLN selalu merubungi kekuasaan hanya untuk mendapatkan beslit proyek lalu diperdagangkan. Keresahan Presiden Jokowi ini disampaikan ke lingkaran terdekatnya dan meminta data yang lebih detail lagi soal mangkraknya proyek proyek PLN, lalu ia juga mendapatkan banyak data rinci soal mandegnya beberapa proyek pembangkit listrik yang kemudian menjadi masalah dan membuat jutaan rakyat terutama di luar Jawa tidak menikmati listrik, juga kemudian adanya pasokan supply bahan bakar utamanya solar dan batubara yang dipermainkan.

Jokowi perlu orang yang mampu restrukturisasi PLN, tapi ia belum begitu tau profil profil orang yang tepat. Saat itulah kemudian Rini Soemarno mengajukan orang bernama Sofyan Basir, orang ini adalah yang mampu membesarkan BRI menjadi Bank yang amat disukai jutaan penduduk di wilayah pedesaan dan kota kota kecil.

Presiden Jokowi punya ambisi besar untuk membangun serentak pelistrikan 35.000 Megawatt, ini tugas yang harus dijalankan PLN. Disitu kemudian ada masukan untuk membereskan proyek proyek listrik yang mangkrak.

 Seiring perjalanan waktu, Sofyan Basir melakukan rencana yang efektif yang melakukan pelistrikan penuh di Sumatera. Tiap hari rakyat di Sumatera disajikan pemadaman lampu PLN, sementara listrik di Jawa bersinar terang benderang. Sumatera menurut perhitungan Jokowi adalah pendukung utama ekonomi di Indonesia. Di tiap pesisir kota di Sumatera harus tumbuh kota kota baru yang menunjang perdagangan, kota-kota Sumatera dan wilayah pedesaannya harus terkoneksi dengan sistem perdagangan internasional, untuk itulah listrik diperlukan.

Sofyan Basir meminta Pembangkit listrik di Sumatera Selatan, mengalirkan listriknya ke jaringan Sumatera bukan mengalirkan ke Jawa, hal ini dengan baik diberitakan oleh media investigasi ekonomi "Katadata" soal alasan Sofyan Basir lebih memilih melistriki Sumatera dibanding mengguyuri Jawa lagi soal listrik.

Namun kebijakan PLN itu akan menghajar kroni Sudirman Said di Pembangkit listrik di Pembangkit 8,9 dan 10 Sumatera Selatan, Kelompok Sudirman Said memaksakan listrik dialirkan ke Jawa, lewat kabel bawah laut (HVDC), karena dengan mengalirkan listrik ke Jawa akan mudah.

Dirut PLN Sofyan Basir menolak. Disinilah kemudian terjadi pangkal keributan. Sofyan Basir tidak mau didikte oleh pihak Sudirman Said. Dan kemudian Sudirman Said memunculkan suara bahwa PLN tidak mampu menangani 35.000 Megawatt, dibalik serangan Sudirman Said itu adalah mengganti seluruh jajaran direksi PLN untuk dan membentuk PLN yang bisa ia kendalikan. Suatu hari Sofyan Basir dilaporkan geleng-geleng kepala ketika membaca begitu banyaknya proyek proyek PLN dikuasai kelompok Jusuf Kalla. Inilah kenapa Sofyan Basir mengambil langkah pendek, agar proyek proyek PLN ditangani langsung anak perusahaan, agar tidak terjadi proyek mangkrak dan proyek yang hanya menghasilkan "jual beli ijin" proyek.

Di luar proyek PLN, Sudirman Said menunjuk Erry Haryana Hardjapamekas sebagai konsultan Inpex Masela. Penunjukkan ini adalah bagian dari penguasaan jaringan Sudirman Said untuk menguasai sektor energy, dimana Kuntoro ditempatkan di PLN, juga dengan Chandra Hamzah dan Erry sebagai konsulan Inpex Masela. Rizal Ramli mencium permainan ini kemudian memprotes keras permainan Sudirman Said.

Mendapatkan banyak laporan permainan Sudirman Said yang terlalu mengintervensi PLN, Presiden Jokowi melakukan tindakan pengawasan yang lebih ketat, ia ingin membereskan proyek-proyek mangkrak PLN dan menghajar Mafia Listrik. Dari gerakan Jokowi ini, Sudirman Said tidak diikutsertakan, Sofyan Basir mendapatkan angin dari Presiden Jokowi untuk berhadapan langsung dengan Sudirman Said dan membuka permainan Jusuf Kalla. Tapi Sofyan menolak bermain di muka publik, Sofyan melakukan itu di dalam istana ketika Presiden menggelar Rapat Terbatas soal listrik.

Presiden Jokowi mengadakan Rapat Terbatas (Ratas) pada 22 Juni 2016, dalam Ratas yang panas itu ada perdebatan antara Sudirman Said dan Sofyan Basir, Presiden melihat langsung bagaimana Sudirman Said dibuka kedoknya sebagai "pemain proyek" di lingkaran kekuasaan dan menjalankan proyek proyek Jusuf Kalla. Dan Presiden kemudian mengambil keputusan, Sudirman Said diberhentikan.

Pilkada DKI Dan Momentum Besar Sudirman Said

Penghentian Sudirman Said jelas pukulan besar bagi kelompok Jusuf Kalla dan Ari Soemarno, rencana mereka gagal total. Petral memang dibubarkan oleh Presiden Jokowi, namun kendali perdagangan tidak di tangan Ari Soemarno, karena Daniel Purba "orangnya Ari" yang jadi Dirut ISC, dicopot dan digantikan Toto Nugroho.

Proyek-Proyek JK yang mangkrak di PLN juga mendapatkan perhatian khusus Presiden Jokowi. Intinya misi Sudirman Said memanfaatkan kedudukannya untuk mengatur dan mengamankan proyek proyek Ari dan JK gagal total.

Namun nasib selalu membawa Sudirman Said pada momentum-momentum pergeseran. Ia melihat fenomena Pilkada DKI 2017 sebagai langkah maju untuk mengatur kemenangannya kembali setelah mengalami pemecatan dari jabatan Menteri ESDM.

Gencarnya aroma Pilkada 2017, lebih disebabkan pada sosok Ahok. Gambaran Ahok yang seakan menjadi "bayangan Jokowi" bisa diruntuhkan, bahkan saat sebelum Pilkada 2017,  Ahok dengan berani menantang PDIP, Ahok juga berani menantang semua potensi politik, seraya mengumumkan dirinya adalah bagian dari politik non parpol. Di satu sudut Sudirman Said mulai memperhatikan Ahok dan menemui kekurangannya yang tepat.

Sudirman Said bergerak cepat, inilah saatnya ia bisa kembali lagi menguasai politik di Indonesia. Langkah pertama ia kumpulkan geng eks KPK. Sudirman Said memulai karirnya dengan mendirikan LSM Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) di awal tahun 2000, dari MTI ia kemudian menjadi tim pembentukan KPK, disinilah ia membangun jaringan orang orangnya, para alumni KPK sudah banyak mendapatkan jabatan, seperti Amin Sunaryadi eks wakil ketua KPK periode awal dijadikan Sudirman Said sebagai Kepala SKK Migas, Amin ini sampai sekarang menjadi informan bagi Sudirman Said hingga tidak begitu disukai oleh Menteri ESDM Jonan.

Sudirman Said-pun berhubungan dengan Jusuf Kalla, dan menghasilkan untuk mencari siapa kira-kira yang bisa "menggebuk" Ahok. Ada beberapa nama, tapi nama Anies Baswedan dinilai sangat tepat. Anies Baswedan adalah eks Rektor Paramadina, Jusuf Kalla  adalah Ketua Dewan Pembina Universitas Paramadina. Dulu sewaktu Nurcholish Madjid masih hidup, ia amat kepincut dengan pesona Sudirman Said, sehingga Sudirman Said diperintahkan untuk meneruskan kepemimpinan KPK, setelah meninggalnya Nurcholish Madjid, justru "orang-orang Cak Nur" dihabisi oleh kelompok Anies Baswedan, dan Sudirman Said terlibat dalam penggusuran kelompok Cak Nur. Dari sini kemudian terbentuk "Paramadina" yang baru dibawah Anies Baswedan dengan cukongnya Jusuf Kalla. Kemampuan dan kelihaian Anies Baswedan dalam meraih kepemimpinan dibaca JK dan Sudirman Said sebagai kartu yang tepat untuk "mempermalukan Jokowi", apalagi Anies Baswedan baru saja dipecat Jokowi. Maka mengajukan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, menguasai kelas menengah, menggalang opini adalah langkah catur strategis untuk menguasai Jakarta dan mengepung Jokowi.

Para eks KPK berkumpul mulai dari Chandra Hamzah, Bambang S Widjojanto, Adnan Pandupradja sementara Erry Riyana Hardjapamekas ditempatkan diluar sistem, namun masih terkoneksi. Abraham Samad diposisikan sangat hati-hati kasusnya dengan PDIP sangat riskan bila ia disertakan dalam percaturan politik, namun Abraham Samad menempel terus dengan Bambang S Widjojanto.

"Alumni KPK Connection" ini kemudian dipadukan dengan jaringan bisnis Sudirman Said, Indika Energy dimana banyak CEO-nya bermain dalam kampanye Pilkada 2017, selain itu digerakkan juga jaringan jaringan LSM. Namun yang lebih mengerikan adalah masuknya KPK sebagai "pemain penting" dalam pertarungan menuju 2019.

Ada kartu lagi yang kemudian dimainkan Sudirman Said, yaitu : Novel Baswedan, sepupu Anies Baswedan. Penempatan Novel sendiri adalah rekomendasi dari Anies kepada Sudirman Said, "bahwa sepupunya ada di Polisi Bengkulu. Dari sini kemudian Sudirman bisa menempatkan orang sebagai operator di level pelaksana tingkat menengah, dan kelak menjadi pemain penting dalam penyusupan KPK sebagai 'tangan kekuasaan'.

Operasi-operasi penting dilakukan oleh Novel Baswedan, namanya terus mencuat. Di satu sisi ia membangkitkan semangat para pegawai KPK, di sisi lain ia menjadi tangan dari Sudirman Said dan Anies Baswedan untuk menjadikan KPK sebagai "Kartu Politik Penting" yang bisa dikeluarkan di saat yang tepat.

Sementara ketua KPK saat itu, Abraham Samad adalah seorang ahli drama yang ciamik, ia mampu menggabungkan penangkapan dengan drama dan blow up media. Namun jelas terbukti Abraham Samad melakukan negosiasi politik untuk menjadikan dirinya Wakil Presiden bersama Jokowi, namun ia sendiri beranggapan bahwa langkahnya mendekat ke Jokowi dihalangi oleh Komjen Budi Gunawan. Yang kemudian meledaklah drama penghalangan Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri oleh Abraham Samad pada awal tahun 2015.

Abraham Samad, kemudian mundur dari KPK setelah kasus "barter politik" terkuak. Kini tinggal-lah Novel Baswedan yang berperanan.

Melihat kondisi betapa lemahnya posisi Ketua KPK dari intrik politik, maka Sudirman Said melirik level menengah KPK sebagai kekuatan baru, dan menjadikan Novel Baswedan sebagai "Branding KPK".

Pilkada DKI semakin ramai, setelah Ahok blunder di Pulau Seribu dengan ucapan "Al Maidah"-nya membuat banyak lawan lawan politik pasang kuda kuda. Tiba-tiba muncul SBY untuk menjadikan anaknya sebagai Cagub guna menantang Ahok, Sudirman Said pun meminta Boss Indika Energy, ditempatkan di kubu SBY. Ia sendiri menggunakan lingkaran alumni KPK untuk membantu Anies Baswedan.

Perang-pun dimulai, kubu SBY tanpa sadar diumpankan ke dalam gerakan penghancuran Ahok, dan SBY dengan tim-nya terjebak dalam permainan. Ia dikucilkan baik oleh Jokowi dan Prabowo. SBY menjadi bulan-bulanan politik.

Sementara SBY menjadi bulan-bulanan politik, tim Anies Baswedan dengan strategi Eep Saifullah menggunakan jaringan masjid memperkuat sound gerakan 212, jaringan SBY diumpan untuk memancing lawan, dan kubu Anies tiarap. SBY digebuki habis oleh kubu pendukung Ahok, jaringan Anies terus bergerilya ia mendapatkan keuntungan besarnya.

Sejarah membuktikan, Ahok dipenjara dan Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI. Keberhasilan ini membuat Sudirman Said menjadi ketua tim sinkronisasi, sebuah posisi penting untuk mengatur dan merekayasa jabatan. Langkahnya jelas Pemilu 2019.

Setelah kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, gerakan selanjutnya adalah menguasai Jawa Tengah. Provinsi ini amat berpotensi karena inilah lumbung suara Jokowi, bila menguasai Jawa Tengah, Sudirman Said bisa mendikte Jokowi. Di Jawa Tengah ada Ganjar Pranowo yang ditengarai terlibat dalam kasus korupsi E-KTP, KPK jelas akan membidik Ganjar dan ini jadi kartu paling kuatnya dalam perjudian politik.

Jadi kita bisa melihat bagaimana peran besar Sudirman Said dalam infiltrasi di tubuh KPK. Perdebatan yang panjang dan berlarut-larut oleh Pansus DPR soal KPK, membuat persoalan ini justru semakin kabur, karena perdebatan lebih pada persoalan prosedur, bukan persoalan inti sebenarnya "KPK Bermain Politik".

Sebenarnya pemanggilan Brigjen Pol Aris Budiman, pada 31 Agustus 2018 ke DPR agak menyentuh sentral persoalan, hanya saja Pansus DPR tidak membidik bahwa dalam tubuh Wadah Pegawai KPK, sudah dikuasai oleh Novel Baswedan, dan jaringan Novel Baswedan itulah yang belum terungkap dalam permukaan publik, bahwa dibelakang semua itu ada Sudirman Said sedang mempermainkan bidak bidak politiknya.

Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan siapapun, termasuk pada Sudirman Said, hanya saja tulisan ini membongkar kesadaran kita bahwa Politik yang menggunakan permainan permainan gerakan anti korupsi akan menemukan kontradiksinya sendiri.

Semua rangkaian bisa diselidiki, jaringan Sudirman Said sampai pada penetrasinya di KPK, dan juga jaringan bisnisnya, serta bagaimana ia meraih kekuasaan.

Aroma Sudirman Said di KPK ini harus dibuka sejelas-jelasnya, karena ini untuk menyelamatkan KPK sendiri, dan buka-lah di masyarakat kalau memang KPK sudah menjadi alat permainan dalam memburu kekuasaan.

KPK yang semakin kuat terus mendapatkan sentimen simpati publik dan ini memang sudah dibentuk oleh Sudirman Said sebagai ahli media dan memiliki jaringan LSM yang terus membentuk itu, tanpa sadar mereka melecehkan lembaga KPK sendiri yang seharusnya bersih dari kepentingan politik. Operasi operasi tangkap tangan, memang bagus untuk menghajar koruptor, tapi dalam situasi penuh pertarungan politik dan ada indikasi KPK sudah dikuasai oleh Sudirman Said lewat Novel Baswedan maka harus diperhatikan dengan baik, jangan sampai kemudian KPK  dijadikan alat politik yang mengancam posisi siapapun, termasuk Presiden, Menteri-Menteri, Dirjen Dirjen Kementerian, Gubernur dan siapapun karena mereka memiliki sadapan, yang bisa dijadikan kartu politik. Siapapun sudah disadap KPK, dari level Presiden sampai tingkat Bupati mereka memiliki data-nya. Sayangnya sadapan ini dilakukan bukan untuk membereskan korupsi tapi digunakan untuk meraih kekuasaan mereka yang menjadi "bayang bayang penguasa KPK".

Jadi sekarang "Siapa yang menguasai KPK, dialah yang menguasai Indonesia" dan Sudirman Said menjadi tokoh sentral dalam jaringan ini.

Sudirman Said juga harus menjawab siapa Achyarmansyah Lubis, yang kerap dijadikan kasir bagi Sudirman Said dalam operasi-operasi politiknya. Dia harus menjawab dengan terang benderang hubungan dengan Achyar mulai dari kasus korupsi pengadaan buku di Proyek di BRR Aceh lalu oleh Sudirman disusupkan  ke Paramadina dan ditempatkan juga di BUMN Pindah, ini menjelaskan  bagaimana seorang buronan kejaksaan selama 7 tahun bisa masuk sebagai direksi di Pindad atas dasar rekomendasi Sudirman Said, silahkan investigasi Achyar ini dalam kaitannya dengan Sudirman Said.

Lakon Sudirman Said dalam dunia perpolitikan nasional ini bagaikan lakon Limbuk dan Cangik, sebelum masa "Goro-Goro Politik", inilah adegan pembuka dalam lakon-lakon politik jelang 2019.  Apa yang terjadi pada diri Sudirman Said bukanlah sekedar persoalan   Jateng,  tapi ada konspirasi yang lebih besar lagi, sebuah operasi besar diam diam untuk menguasai Indonesia di tahun 2019 lewat segala cara dan salah satu caranya dengan memperalat KPK untuk melakukan tekanan-tekanan politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun