Karir Sudirman Said yang paling penting sebenarnya adalah "membangun LSM" yang ditujukan untuk anti korupsi dan "penyelenggaraan pemerintahan yang bersih" inilah branding yang kemudian namanya dijadikan alat untuk "menutupi" sesuatu yang sesungguhnya. Fungsi branding sangat penting dijaman yang penuh tontonan dan artifisial seperti ini, termasuk dalam politik.
Branding nama Sudirman Said inilah yang kemudian dibaca oleh Ari Soemarno, untuk melakukan counter terhadap Reza Chalid di Petral, dengan dalih membangun sistem yang bersih, disini sebenarnya persaingan bisnis di internal Pertamina bermula. Kisah antara Ari Soemarno dan Sudirman Said kelak akan menjelaskan kisah selanjutnya dimana digunakannya sebuah entitas anti korupsi untuk membangun kekuasaan baru yang koruptif.
 Ari Soemarno, adalah pepunden awal Sudirman Said dalam bisnis energy. Saat menjabat Direktur PT Petral --sebuah anak perusahaan Pertamina yang digunakan untuk melakukan pembelian minyak dan beroperasional sepenuhnya di Singapura -- Ari Soemarno mempelajari banyak hal soal bisnis perdagangan minyak. Disini Ari dibimbing oleh seseorang kewarganegaraan Lebanon bernama Nasrat Muzayyin.
Saat itu pertemanan antara Ari Soemarno dan Nasrat Muzayyin di masa masa awal reformasi ditandai juga dengan masuknya Purnomo Yusgiantoro sebagai bagian dari makelar dagang jual beli minyak di Pertamina. Â Nasrat Muzayyin adalah otak dalam perdagangan ini yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Masa keemasan Nasrat adalah di masa Orde Baru, kemudian setelah kejatuhan Suharto, Nasrat Muzayyin agak kesulitan, karena Petral terus disorot.Â
Dengan lihai ia memasukkan Ari Soemarno, agar bisa masuk ke dalam sistem kekuasaan yang baru dan bisa melobi untuk mengamankan Petral. Selain itu Nasrat juga memasukkan salah satu anak didiknya Reza Chalid sebagai pemain penting perdagangan minyak. Reza Chalid mendirikan perusahaan bernama Global Energy di Singapura dan lewat kelihaian lobi lobi-nya, ia menguasai semua tender Petral. Reza menjadi pemain kuat dalam perdagangan minyak dengan Pertamina.
Reza Chalid amat cerdas, ia melihat Nasrat Muzayyin mulai melamban dan tidak mampu secara intens melobi "orang orang Jakarta". Reza kemudian merapat ke Cendana, lalu memperkuat Global Energy dengan membentuk lima anak perusahaan dimana Global Energy menjadi induk dari 5 perusahaan yaitu Supreme Energy, Orion Oil, Paramount Petro, Straits Oil dan Cosmic Petrolium yang berbasis di Singapura dan terdaftar di Virgin Island yang bebas pajak.Â
Lewat koneksi kekuasaan di Jakarta, Reza melakukan banyak perdagangan jual beli minyak di Singapura dan mendapatkan keuntungan besar. Apalagi setelah SBY menjadi Presiden, kedekatan Reza dengan petinggi rezim SBY amat dekat, ia menjalin persekutuan bisnis yang kuat dengan Hatta Radjasa dan membuat Purnomo Yusgiantoro yang saat itu sudah menjadi Menteri ESDM juga tidak bisa bertindak lebih jauh dengan Reza kecuali menjadi bagian dari persekutuan itu.
Nasrat melihat anak didiknya itu ternyata sudah masuk ke dalam wilayahnya, dan ia terganggu kenyamanannya. Apalagi Global memberikan lebih dari 30% kontribusinya ke dalam perdagangan ke Petral. Suatu saat Nasrat mengutarakan kesedihannya soal wilayah bisnisnya yang dicaplok Reza ke Ari Soemarno.
Mendengar keluhan Nasrat Muzayyin, jelas Ari Soemarno resah menghadapi kelakuan Reza Chalid, keresahannya itu juga disampaikan ke Purnomo Yusgiantoro yang saat itu sudah menjadi Menteri ESDM, kolega Ari yang juga pernah sama sama bermain dalam kelompok Nasrat. Purnomo adalah orang Jawa yang biasa berkompromi. Ia meminta Ari Soemarno untuk tidak ribut diluaran. Purnomo berjanji akan mengatur pola pembagiannya. Akhirnya atas keputusan Purnomo dibagilah 70% tetap ke Reza Chalid, dan kelompok Nasrat mendapatkan 30%.
Ari Soemarno agak mundur selangkah dan membiarkan Reza terus mendapatkan "permainannya" apalagi ia mendapatkan akses kuat ke Hatta Radjasa yang juga besan dari Menteri SBY.
Setelah mendapatkan konsesi 30%, Ari Soemarno kemudian menemui Nasrat dan membicarakan langkah selanjutnya. Nasrat mengeluarkan pendapat bahwa angka 30% konsesi itu bisa dijadikan kontribusi modal untuk PT Concord Energy, dan Ari mendapatkan saham 35% di Concord lalu menempatkan anaknya Yuri Soemarno di Concord, dari sinilah kemudian rencana lanjutan bermula.