Prang! Brak! Gedubrak!
Suara apa itu? Tergopoh Calvin keluar dari kamarnya. Di ruang tamu, ia terperangah melihat stoples-stoples kue yang telah disusun rapi jatuh berantakan. Gadis cantik berambut panjang berlutut di antara gunungan stoples plastik.
“Ayah, maaf. Tadi Silvi mau ambil kue sagu keju. Taunya stoplesnya jatuh semua,” ujar gadis kecil sembilan tahun itu penuh rasa bersalah.
Calvin tersenyum sabar. Tanpa bicara, dia memungut dan menyusun kembali stoples kue di meja tamu. Lembut tangannya menuntun Silvi ke stoples kue yang ingin dicicipinya.
“Terima kasih, Ayah.”
“Sama-sama, Sayang.”
Suara bass dari tenggorokannya masih terdengar sedikit serak. Efek jatuh sakit selama berminggu-minggu masih terasa. Silvi membuka tutup stoples, mengambil beberapa potong kue kering, lalu meletakkan dua di antaranya ke telapak tangan Calvin.
“Ayah masih sakit ya?” tanyanya halus.
“Nggak, Sayang. Ayah sehat.” Calvin berkata menenteramkan. Satu tangannya yang lain mengelus helaian indah milik Silvi.
Keduanya duduk bersisian di sofa busa. Makan kue ditemani temaram cahaya dari dua batang lampu yang terpasang di ruang tamu. Kue-kue yang tersusun cantik ini semuanya buatan Calvin. Ayah satu anak itu menyisihkan waktu seminggu sebelum hari raya untuk membuatnya. Walau pembuatnya sendiri tak begitu suka, walau dirinya pribadi lebih memilih kue keranjang tenimbang kue kering, toh ia buatkan juga demi Silvi.
“Kue-kuenya enak, Ayah. Aku suka,” puji Silvi, mengangkat kedua ibu jarinya.