“Ngapain senyum-senyum sendiri, Mata Biru?” gertak Firli menyudahi lamunan Silvi.
“Ketularan aneh kayak bapakmu, ya?”
Niat hati ingin menulikan telinga ambyar seketika. Silvi mengangkat kepala. Melempar tangan ke depan. Tak sengaja, es krim dalam genggamannya meluncur jatuh.
“Pasti muka bapakmu jadi jelek gara-gara siraman ibuku yang mantap. Ah, tapi dari dulu ayahmu memang jelek. Udah sipit, kakinya cacat, pengangguran lagi.”
Caci-maki terjun bebas dari bibir Firli. Balon kemarahan menggelembung. Wajah Calvin kian jelas membayang di mata Silvi. Calvin, ayahnya yang lembut hati. Calvin, ayah yang memasakkan banyak makanan untuknya di hari Lebaran meski sang ayah pribadi tidak merayakannya. Calvin yang tidak pernah makan-minum di depan Silvi sepanjang bulan mulia, yang merawat Silvi sejak dirinya masih berwujud bayi merah, yang kasih sayangnya melampaui ikatan darah, yang menguncirkan rambut Silvi, mengajarinya pelajaran, melindunginya sepenuh hati, dan merelakan dirinya terluka asalkan Silvi utuh tanpa luka.
“Ayahku tidak seperti itu!” Silvi berteriak marah.
Kalau saja tak teringat pesan Calvin, saat ini juga ingin dia bongkar siapa Calvin yang sebenarnya. Betul bahwa kedua kaki Calvin tak kuat menopang pemiliknya lari dan naik tangga. Namun, keliru besar bila Firli mengatai Calvin sebagai pria tanpa pekerjaan. Calvin jauh, jauh lebih terhormat dari bapak Firli yang pemabuk dan penjudi.
“Kenyataan kok. Bapakmu cacat dan pe...”
Tak sempat anak berbadan bongsor itu meneruskan ejekannya. Dalam hitungan detik, Silvi berlari menerjang Firli. Rumah Oma gaduh seketika. Anak-anak menjerit-jerit ketakutan. Susah payah Oma berusah melerai. Hujan es krim dan makanan lainnya tak dapat terhindarkan. Meja besar berisi makanan terguncang hebat. Seorang anak perempuan memberi pelajaran pada anak laki-laki? Pemandangan baru di tempat ini. Silvi takkan membiarkan siapa pun menghina ayah terbaiknya.
**
27 Mei