Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah Calvin Wan, "A Man With The Golden Heart"

27 Mei 2020   06:00 Diperbarui: 27 Mei 2020   06:09 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah Calvin Wan, A Man With The Golden Heart


Gema takbir menyilet kesunyian. Malam kemenangan dihidupkan dengan pekikan kalimat pujian pada Tuhan. Sejumlah mobil hias berpawai di jalan raya. Suasana kian meriah dengan bunga-bunga api yang ditembakkan ke langit.

Kerlip bintang terkalahkan oleh silaunya cahaya lampu kota dan cahaya yang disemburkan dari kembang api. Lampu-lampu dari kendaraan roda empat dan roda dua menyorot tajam, seakan galak mengintimidasi pengguna jalan yang hanya mengandalkan kaki. Kedamaian malam rekah oleh sejumlah orang yang tumpah ke ruas jalan.

Walau beberapa bulan lalu kota cantik ini sempat diguncang pandemi, toh hari raya tetap semarak. Selamat tinggal virus. Selamat datang hingar-bingar pesta. Lebaran seolah membawa kemenangan dobel: kemenangan setelah tiga puluh hari menunaikan titah Tuhan dan kemenangan setelah menaklukkan virus mematikan. Pandemi hilang, kesedihan melayang.

Tak nampak lagi gurat sedih di wajah penduduk kota. Wajah-wajah penuh senyum melongok dari balik kaca jendela mobil. Senyum palsu para pedagang makanan dan pakaian dilemparkan pada pengguna jalan yang berlalu-lalang. Pasangan muda yang dipertemukan kembali setelah terkurung di rumah sekian bulan melempar senyum termanis.

Jalanan kota boleh tumpah-ruah disesaki manusia. Namun, tidak semua warga kota larut dalam euforia. Masih banyak pula yang lebih memilih melewati malam kemenangan dengan diam di rumah. Para penghuni rumah ini terbagi dalam beberapa kubu.

Pertama, kubu pemeluk agama fanatik. Saking fanatiknya, mereka menganggap segala bentuk tradisi dan perayaan adalah haram. Kubu satu ini lebih senang menghabiskan malamnya dengan beribadah dan selalu menganggap hanya kelompok merekalah yang masuk surga.

Kedua, kubu paranoid. Kumpulan orang satu ini tetap mengisolasi diri di rumah meski virus telah diberantas. Kecemasan masih bercokol di kepala mereka. Cemas bahwa virus itu akan datang lagi, mengobrak-abrik sendi kehidupan kota yang tengah memasuki masa normal. Kubu kedua diisi oleh gerombolan pencemas bermental marshmallow.

Ketiga, kubu pecinta sepi. Mereka tipe minoritas yang mencintai keheningan. Kesendirian adalah teman sejati. Keriuhan pesta pora tak membuat mereka mabuk. Kesepian jauh lebih adiktif.

Pria 34 tahun ini termasuk dalam kubu ketiga. Lone wolfe layak disematkan di belakang namanya yang indah: Calvin Wan. Ia sangat menikmati sepi. Sejak remaja, Calvin tak pernah suka dengan keramaian. Kecuali...

Prang! Brak! Gedubrak!

Suara apa itu? Tergopoh Calvin keluar dari kamarnya. Di ruang tamu, ia terperangah melihat stoples-stoples kue yang telah disusun rapi jatuh berantakan. Gadis cantik berambut panjang berlutut di antara gunungan stoples plastik.

“Ayah, maaf. Tadi Silvi mau ambil kue sagu keju. Taunya stoplesnya jatuh semua,” ujar gadis kecil sembilan tahun itu penuh rasa bersalah.

Calvin tersenyum sabar. Tanpa bicara, dia memungut dan menyusun kembali stoples kue di meja tamu. Lembut tangannya menuntun Silvi ke stoples kue yang ingin dicicipinya.

“Terima kasih, Ayah.”

“Sama-sama, Sayang.”

Suara bass dari tenggorokannya masih terdengar sedikit serak. Efek jatuh sakit selama berminggu-minggu masih terasa. Silvi membuka tutup stoples, mengambil beberapa potong kue kering, lalu meletakkan dua di antaranya ke telapak tangan Calvin.

“Ayah masih sakit ya?” tanyanya halus.

“Nggak, Sayang. Ayah sehat.” Calvin berkata menenteramkan. Satu tangannya yang lain mengelus helaian indah milik Silvi.

Keduanya duduk bersisian di sofa busa. Makan kue ditemani temaram cahaya dari dua batang lampu yang terpasang di ruang tamu. Kue-kue yang tersusun cantik ini semuanya buatan Calvin. Ayah satu anak itu menyisihkan waktu seminggu sebelum hari raya untuk membuatnya. Walau pembuatnya sendiri tak begitu suka, walau dirinya pribadi lebih memilih kue keranjang tenimbang kue kering, toh ia buatkan juga demi Silvi.

“Kue-kuenya enak, Ayah. Aku suka,” puji Silvi, mengangkat kedua ibu jarinya.

Hanya senyuman yang diterima Silvi sebagai tanggapan. Bola mata kebiruan kepunyaan Silvi bergerak meneliti paras oriental ayahnya. Menakar-nakar masihkah wajah itu sepucat kemarin?

“Kalau masih sakit, Ayah istirahat aja.”

“Ayah mau temenin Silvi. Ayah nggak butuh istirahat lagi, Sayang.”

Senyum Silvi melebar. Dari Lebaran ke Lebaran, ayahnya tak pernah berubah: tetap menemani putri semata wayang. Meski Silvi tidak selalu bisa menemaninya di malam Tahun Baru Imlek. Calvin menemani dan menyayangi putrinya tanpa syarat, tanpa pamrih.

Tapi...

Benarkah Calvin tak butuh istirahat? Lingkaran hitam di bawah mata sipitnya, rona pucat yang belum lenyap, dan sesak yang sesekali merayapi dada menunjukkan bahwa perkataannya kamuflase semata. Lelaki yang tak pernah menikah itu hanya ingin menyenangkan Silvi.

“Apa rencanamu besok, Silvi?” tanya Calvin perlahan.

“Mau ke rumah Oma. Ada open house,” sahut Silvi riang.

“Ayah ikut, kan?” lanjutnya penuh harap.

Betapa kecewa Silvi melihat Calvin menggeleng. Sang ayah menghela napas berat sebelum berujar.

“Kamu sama teman-teman saja ya, Nak. Biar Ayah di sini.”

“Yaaaah...kenapa sih Ayah nggak pernah mau ikut? Memangnya Oma mau gigit Ayah? Oma, ‘kan, baik.” Silvi merajuk. Sedikit mengentakkan kaki ke lantai keramik.

Kali ini Calvin membisu. Tak menemukan kata sebagai rasionalisasi. Silvi masih terlalu kecil, terlalu kecil untuk memahami gesekan-gesekan di antara orang dewasa. Ketidakhadiran Calvin di acara open house Oma justru demi menjaga nama baik Silvi.

“Maaf, Sayang. Ayah...uhuk.”

Batuk yang menyerang dadanya memotong permintaan maaf. Calvin terbatuk lagi. Mendengar itu, Silvi membuang rasa kecewanya. Melirik takut-takut ke samping. Ia lega karena tak ada darah saat ini.

“Ayah belum sembuh juga. Kenapa Ayah nggak ketemu Om dokter di rumah sakit?” kejar Silvi.

“A-Ayah akan ke rumah sakit. Tapi...tidak sekarang.”

Nada suara Calvin teramat lembut. Membuat Silvi bungkam tak bertanya lagi. Jauh di dalam hati, tersimpan segunung kekhawatiran.

**     

Harum masakan memenuhi rumah sederhana berkamar dua itu. Campuran aroma lengkuas, serai, ketumbar, dan jintan menghentakkan Silvi dari alam mimpi. Ia meloncat turun dari ranjang, berlari menerobos pintu kamar yang terbuka, lalu mendatangi ayahnya di dapur.

Dipandanginya punggung tegap yang berdiri di depan kompor itu dengan kagum. Silvi selalu, selalu mengagumi Calvin. Ayahnya yang serba bisa. Memasak adalah salah satu bakatnya yang dominan. Bahan makanan apa pun di tangannya berhasil disulap menjadi makanan super enak. Lihatlah, kini Calvin tengah mengaduk isi panci yang menggelegak. Potongan daging ayam berenang di antara gumpalan santan dan bumbu halus. Pelan dan hati-hati, Calvin mengangkat opor ayam dan menyajikannya bersama ketupat.

Di samping opor ayam yang baru matang, terhidang beberapa menu lainnya: steak, rendang, nasi hainam, dan puding. Sangat variatif menu hari raya di rumah itu. Menu Indonesia berdampingan dengan menu Barat dan Oriental.

“Mandilah, Princess. Ayah antar makanan ini dulu ke rumah para tetangga. Setelah itu, Silvi bisa Lebaran sama Ayah,” perintah Calvin. Segera saja perintah itu diangguki Silvi.

Silvi melangkah riang ke kamar mandi. Bermenit-menit dia habiskan untuk membilas diri. Anak cantik itu baru selesai berpakaian ketika sang ayah kembali.

“Muka Ayah kenapa?” Silvi bertanya interogatif begitu mendapati sebagian wajah dan ujung rambut Calvin basah.

Sesaat pria berjas hitam itu terdiam. Direngkuhnya pundak Silvi lembut. Bingung harus bagaimana menjelaskannya.

“Siapa yang lakuin itu ke Ayah?” desak Silvi.

“Ta-tadi...tadi ibunya temanmu mengusir Ayah. Ia menyiram air bekas mencuci beras ke wajah Ayah.”

Pembuluh darah Silvi berdenyar. Temannya? Ah, siapa lagi kalau bukan Firli? Hanya anak berbadan besar dan berhati kejam itu yang selalu merendahkan ayahnya. Firli serta keluarganya bukan tetangga yang baik.

“Trus Ayah tetap kirim makanan ke mereka?”

“Iya. Makanan yang sudah diniati akan diberikan tidak boleh diminta lagi, Princess.”

Silvi mengibaskan rambutnya marah. Lihat saja pelajaran yang akan diberikannya pada Firli. Mengapa pula ayahnya sebaik itu?

“Ayaaaah, apa kataku? Kita pindah aja dari sini. Kita balik ke rumah yang dulu. Ayah nggak cocok di sini.” Silvi bersungut-sungut. Gemas menarik lengan jas Calvin.

Diam, hanya diam sebagai respon yang diterima Silvi. Calvin keras kepala di balik sikap tenangnya. Ia lembut dalam penampilan, tetapi teguh dalam prinsip. Diamnya Calvin membuat Silvi meraung kesal. Cepat dikuasainya diri karena ingat ini adalah hari raya.

Sejurus kemudian, Silvi menekuk kedua lutut. Gadis berkuncir ponytail itu berlutut di depan ayahnya.

“Selamat Lebaran, Ayah. Maafin semua kesalahan Silvi, ya.” Setelah berkata begitu, Silvi menciumi tangan ayahnya.

“Ayah juga minta maaf, Sayangku. Ayah belum jadi ayah yang baik untuk Silvi. Masih banyak kurangnya...” lirih Calvin seraya menarik tubuh ramping Silvi ke pelukannya.

Tenggorokan Silvi serasa tercekik. Ia tergugu. Baginya, Calvin ayah terbaik. Ia membalas pelukan ayah baik hati itu. Dengan lembut, Calvin mencium kening anak tunggalnya.

**   

Oh, mendung membayangi

Jalan kehidupan yang kulalui

Datang dan datang lagi

Tak jua mau menepi

Yang tersisa padaku

Hanyalah segumpal angan-angan

Yang melayang jauh tinggi

Dan mungkin tak akan pernah

Terjangkau lagi

Terlalu banyak peristiwa yang telah kualami

Terlalu besar badai hidup yang harus kuhadapi

Kucoba untuk dapat menerima semua kodrat ini

Sampai di batas waktu

Yang kusendiri pun tak pernah tahu

'Ku tak tahu

Oh, jalan yang membentang

Masih begitu banyak misteri

Walau tanpa teman lagi

'Ku harus mencoba untuk dapat berlari (Yovie and Nuno-Ironi).

**   

Oma yang dimaksud Silvi adalah wanita tua aneh yang tinggal di ujung jalan. Usianya hampir seratus tahun. Namun, ia masih sehat, jalannya belum dibantu tongkat, tatapan matanya tajam, dan pendengarannya sebaik orang berumur empat puluh tahun. Sebagian orang menyebutnya aneh karena Oma selalu mengadakan open house di hari Lebaran. Padahal Oma sendiri tak merayakan hari kemenangan.

Biasanya, orang dewasa tak pernah ikut jika Oma open house. Justru anak-anaklah yang kegirangan. Open house artinya makanan berlimpah: salju kue, hujan es krim, lautan minuman, dan pesta makanan berat.

“Ah, Silvi cucuku. Masuklah, masuklah...bagaimana kabar ayahmu yang tampan itu?” sapa Oma kelewat ramah saat Silvi tiba.

Silvi tersenyum. Menjelaskan kabar Calvin dalam beberapa patah kata. Tak sadar ada seseorang yang mendengus meremehkan di belakang punggungnya.

Sekejap kemudian, Oma telah menggiring Silvi ke meja besar berisi penuh makanan. Beberapa kawan bermainnya berbaris di depan meja. Silvi bergabung dengan mereka, lalu meraih es krim. Makanan manis berbalut coklat dan vanilla itu dimakannya sehati-hati mungkin agar tidak mengotori dress birunya.

Sambil makan, anak-anak itu mengobrol. Mereka membicarakan rencana libur Lebaran, tanggal masuk sekolah lagi, dan semacamnya. Hanya Silvi yang tak ikut membahas jadwal masuk sekolah. Tak perlulah Silvi memikirkan itu, karena dia bersekolah di rumah. Calvin sendiri yang mengajarinya.

Ingatan tentang Calvin merekahkan senyum Silvi. Pikirannya melayang ke rumah. Sedang apakah ayahnya sekarang? Sudah membaikkah kondisinya? Ayahnya tidak terbatuk lagi seperti semalam, kan?

“Ngapain senyum-senyum sendiri, Mata Biru?” gertak Firli menyudahi lamunan Silvi.

“Ketularan aneh kayak bapakmu, ya?”

Niat hati ingin menulikan telinga ambyar seketika. Silvi mengangkat kepala. Melempar tangan ke depan. Tak sengaja, es krim dalam genggamannya meluncur jatuh.

“Pasti muka bapakmu jadi jelek gara-gara siraman ibuku yang mantap. Ah, tapi dari dulu ayahmu memang jelek. Udah sipit, kakinya cacat, pengangguran lagi.”

Caci-maki terjun bebas dari bibir Firli. Balon kemarahan menggelembung. Wajah Calvin kian jelas membayang di mata Silvi. Calvin, ayahnya yang lembut hati. Calvin, ayah yang memasakkan banyak makanan untuknya di hari Lebaran meski sang ayah pribadi tidak merayakannya. Calvin yang tidak pernah makan-minum di depan Silvi sepanjang bulan mulia, yang merawat Silvi sejak dirinya masih berwujud bayi merah, yang kasih sayangnya melampaui ikatan darah, yang menguncirkan rambut Silvi, mengajarinya pelajaran, melindunginya sepenuh hati, dan merelakan dirinya terluka asalkan Silvi utuh tanpa luka.

“Ayahku tidak seperti itu!” Silvi berteriak marah.

Kalau saja tak teringat pesan Calvin, saat ini juga ingin dia bongkar siapa Calvin yang sebenarnya. Betul bahwa kedua kaki Calvin tak kuat menopang pemiliknya lari dan naik tangga. Namun, keliru besar bila Firli mengatai Calvin sebagai pria tanpa pekerjaan. Calvin jauh, jauh lebih terhormat dari bapak Firli yang pemabuk dan penjudi.

“Kenyataan kok. Bapakmu cacat dan pe...”

Tak sempat anak berbadan bongsor itu meneruskan ejekannya. Dalam hitungan detik, Silvi berlari menerjang Firli. Rumah Oma gaduh seketika. Anak-anak  menjerit-jerit ketakutan. Susah payah Oma berusah melerai. Hujan es krim dan makanan lainnya tak dapat terhindarkan. Meja besar berisi makanan terguncang hebat. Seorang anak perempuan memberi pelajaran pada anak laki-laki? Pemandangan baru di tempat ini. Silvi takkan membiarkan siapa pun menghina ayah terbaiknya.

**    

27 Mei

Happy anniversary, “Calvin Wan”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun