“Yaaaah...kenapa sih Ayah nggak pernah mau ikut? Memangnya Oma mau gigit Ayah? Oma, ‘kan, baik.” Silvi merajuk. Sedikit mengentakkan kaki ke lantai keramik.
Kali ini Calvin membisu. Tak menemukan kata sebagai rasionalisasi. Silvi masih terlalu kecil, terlalu kecil untuk memahami gesekan-gesekan di antara orang dewasa. Ketidakhadiran Calvin di acara open house Oma justru demi menjaga nama baik Silvi.
“Maaf, Sayang. Ayah...uhuk.”
Batuk yang menyerang dadanya memotong permintaan maaf. Calvin terbatuk lagi. Mendengar itu, Silvi membuang rasa kecewanya. Melirik takut-takut ke samping. Ia lega karena tak ada darah saat ini.
“Ayah belum sembuh juga. Kenapa Ayah nggak ketemu Om dokter di rumah sakit?” kejar Silvi.
“A-Ayah akan ke rumah sakit. Tapi...tidak sekarang.”
Nada suara Calvin teramat lembut. Membuat Silvi bungkam tak bertanya lagi. Jauh di dalam hati, tersimpan segunung kekhawatiran.
**
Harum masakan memenuhi rumah sederhana berkamar dua itu. Campuran aroma lengkuas, serai, ketumbar, dan jintan menghentakkan Silvi dari alam mimpi. Ia meloncat turun dari ranjang, berlari menerobos pintu kamar yang terbuka, lalu mendatangi ayahnya di dapur.
Dipandanginya punggung tegap yang berdiri di depan kompor itu dengan kagum. Silvi selalu, selalu mengagumi Calvin. Ayahnya yang serba bisa. Memasak adalah salah satu bakatnya yang dominan. Bahan makanan apa pun di tangannya berhasil disulap menjadi makanan super enak. Lihatlah, kini Calvin tengah mengaduk isi panci yang menggelegak. Potongan daging ayam berenang di antara gumpalan santan dan bumbu halus. Pelan dan hati-hati, Calvin mengangkat opor ayam dan menyajikannya bersama ketupat.
Di samping opor ayam yang baru matang, terhidang beberapa menu lainnya: steak, rendang, nasi hainam, dan puding. Sangat variatif menu hari raya di rumah itu. Menu Indonesia berdampingan dengan menu Barat dan Oriental.