Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Hati "Secret Admirer" Itu Patah

4 November 2019   06:00 Diperbarui: 4 November 2019   07:54 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hati Secret Admirer Itu Patah

Sehari setelah pernikahan Revan-Chef Mutiara, Calvin bangun terlambat. Ia terbangun tiga jam melampaui jadwal rutin minum obatnya. Berantakan, semuanya berantakan.

Calvin melirik resah ke sampingnya. Sivia masih terlelap. Kedua mata birunya terpejam. Tegakah Calvin membangunkan Sivia? Rasanya tidak. Pesta pernikahan itu sempurna menguras energi mereka. Sampai-sampai harus terbayar dengan tidur lebih panjang.

Sepelan mungkin, Calvin turun dari tempat tidur. Dibukanya bungkusan berisi obat. Pil-pil putih menggelinding ke karpet. Kepalanya serasa dihantam puluhan revolver. Calvin mengerang putus asa. Membungkuk, memunguti pil-pil yang berkejaran.

Air putih dituang ke gelas kristal. Dia menelan semua pil sekali teguk. Ingin ritual ini cepat selesai.

Tapi...

"Uhuk..." Calvin memuntahkan kembali obatnya.

Tak sampai di situ saja. Sakit di kepalanya diikuti rasa mual yang menghebat.

Di ruang putih beraroma citrus yang menyisakan sedikit busa sabun itu, Calvin muntah. Sebulan terakhir ia sering mengalaminya. Batang otaknya menstimulasikan rasa mual yang tak tertahankan. Apakah gumpalan-gumpalan darah yang mengental mulai terbentuk di otaknya? Sepersekian menit Calvin muntah-muntah. Ia bersyukur Sivia tak perlu melihatnya saat ini.

Ketika ia selesai mandi dan membereskan sisa muntahan, Sivia belum terjaga. Calvin lega. Pelukan Tuhan pada Sivia teramat nyaman, hingga ruhnya masih pulas dalam lelap.

"Maaf Princess, aku terpaksa meninggalkanmu. Sebentar saja..." sesal Calvin.

Sejenak ia berdiri ragu di sisi ranjang. Menimbang-nimbang apakah hendak mencium kening Sivia sebelum pergi? Tidakkah ciumannya akan membangunkan sang istri? Jika Sivia bangun sekarang, rencananya bisa tertunda.

Diputuskannya untuk pergi tanpa mendaratkan ciuman hangat. Biarlah, biar kecupan kening itu tersimpan saja sampai nanti. Semoga Sivia mengerti.

Rumah besar berlantai dua itu serasa sunyi. Terlalu sunyi untuk dihuni berdua saja. Begitu sepinya sampai-sampai derap langkah kaki menuruni tangga pun terdengar dengan volume maksimal. Tiap suara dipantulkan lantai parket dua kali lebih keras.

Menapaki anak tangga terbawah, Calvin teringat sesuatu. Ia menuju pantry. Membuka kitchen set, memilih-milih bubuk teh. Pilihannya jatuh pada bubuk teh Darjeeling. Ditutupnya pintu kitchen set tanpa suara.

**   

"Assalamualaikum, Alea."

"Waalaikumsalam, Calvin." Alea menjawab salamnya dengan gugup.

Slang penyiram bunganya luput. Bukannya mengenai bunga, air malah menyemprot rerumputan di dekat kakinya. Calvin tersenyum simpul memperhatikan kegugupan Alea.

"Hei, wat happen? Masa Nyonya Jose Gabriel Diaz kurang menguasai diri begitu?"

"Tanganku tremor, Calvin."

Sejurus kemudian, Alea kembali menyiram anggrek Cattleyanya. Calvin menaburkan pandang ke kebun anggrek itu. Semua anggrek yang ditanam Alea tumbuh subur. Ingatannya melayang pada bunga-bunga lily dan mawarnya. Banyak mawar dan lily yang dirawatnya telah mati.

"Kenapa liatin bunga-bungaku kayak gitu? Bagus ya?" tebak Alea.

"Iya, bagus banget. Bungaku banyak yang mati. Yang masih hidup malah kena kutu putih." ujar Calvin.

"Berikan saja air bekas cucian piring. Kutu putih akan hilang dari bungamu." Alea menyarankan.

Calvin mencatat saran Alea di benaknya. Begitu ada waktu senggang, dia akan mencobanya.

"By the way, Jose ada di rumah?"

"Ada. Dia...aduh!"

Alea terpeleset. Kakinya menginjak rumput yang tergenang air.

"Alea, awas."

Calvin menangkap pinggang wanita itu. Memeluknya, mencegahnya terjatuh. Wajah Alea merona merah. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat.

Lagi, Calvin memeluknya lagi. Pelukan kedua sejak pernikahan. Ah, betapa nyamannya. Pelukan Calvin masih senyaman dulu. Ataukah ini karena hati Alea masih mencinta?

"Sorry...sorry." Calvin melepas pelukannya. Ia takut, takut terjadi salah paham. Tembok bertelinga, pagar bermata.

"Harusnya aku yang minta maaf." tampik Alea, merapikan rambutnya.

Sesaat mereka berdua salah tingkah. Mengapa harus ada pelukan lagi? Tuhan masih berbaik hati. Jalanan depan rumah Alea kosong. Tak satu pun tetangga yang keluar dan memergoki mereka.

"Bunda lagi ngapain? Ow...ada Daddy."

Dari pintu samping, keluarlah Arini. Gadis kecil itu tampil cantik, segar, dan wangi dalam balutan baju terusan berwarna putih. Alea dan Calvin tersenyum padanya, bergantian memeluk Arini.

"Daddy kangen Arini sama Ayah." Calvin menjawab pertanyaan Arini dengan lembut.

"Kangen Bunda juga ya?"

Rona merah kembali tertinggal di pipi Alea. Tidak, tidak benar. Calvin tidak pernah merindukannya. Hanya Sivia yang ada di hati Calvin.

Perkiraan Calvin tentang pelukan keduanya dengan Alea terbukti keliru. Ketika ia memasuki ruang tamu, pandangannya bertemu dengan Jose. Pria bermata sipit itu melempar korannya ke atas meja.

"Kamu kira mataku sudah buta? Aku lihat jelas dari sini, Calvin Wan. Congrates, telah memeluk istriku sebelum aku sendiri melakukannya." kata Jose dingin, menepukkan tangannya.

"Apa yang terjadi tidak seperti yang kamu lihat, Jose. Alea terpeleset dan..."

"Kamu memeluknya."

Sorot mata Jose berubah sayu. Mendung tergurat dalam di wajahnya. Dada Calvin disesaki rasa bersalah. Tindakannya menahan tubuh Alea menyakiti hati orang lain.

Calvin meminta maaf. Jose membuang muka, enggan mendengarkan. Ia lebih mempercayai penglihatannya. Tak tahukah sikapnya ini sempurna melukai hati Calvin?

"Pilihanmu untuk tidk mempercayaiku." kata Calvin sedih.

Sedihnya Calvin tak sebanding dengan sedihnya Jose. Kesedihan seorang suami yang tidak pernah dicintai istrinya. Kesedihan seorang pria yang melihat istrinya mendekap pria lain.

Jose menangkap bayangan kesedihan melintasi wajah Calvin. Namun dia tak peduli. Batinnya terlanjur sakit.

Tanpa kata, Calvin berjalan melewati kursi roda Jose. Sang sepupu mengikuti gerakannya lewat ekor mata. Calvin membuat secangkir teh.

"Mungkin kamu lupa, ini rumah siapa. Jadi seenaknya saja bikin teh di rumah orang." tandas Jose kesal.

Raut wajah Calvin tetap tenang. Ia berbalik, memegang cangkir kristal yang telah terisi.

"Aku ingat. Ini rumah Jose Gabriel Diaz, sepupu terbaikku."

Mendengar itu, Jose terenyak. Calvin masih menganggapnya terbaik, betapa pun buruk sikapnya.

Wangi teh memenuhi ruangan. Calvin menyodorkan secangkir minuman hangat itu ke tangan Jose.

"Minumlah. Aku buatkan teh Darjeeling khusus untukmu. Kamu pasti belum lupa, dari mana asal teh Darjeeling."

"Teh Darjeeling berasal dari India."

"Iya, betul sekali. Meski dari India, Darjeeling sangat disukai di Inggris dan negara-negara bekas koloninya."

Jose meneguk teh Darjeeling pelan-pelan. Wangi teh mengingatkannya pada traveling, negara-negara yang pernah dikunjunginya, dan rencana liburan bersama keluarga kecilnya yang gagal terealisir. Mengingat traveling ternyata menyakitkan.

"Tidakkah kamu ingin mendatangi India lagi, Jose? Atau kamu ingin traveling ke negara lain mungkin...?" tanya Calvin, seakan dapat membaca pikirannya.

"Tidak." jawab Jose singkat, tanpa memandang mata Calvin.

Seulas senyum tipis bermain di bibir pria orientalis itu. Bukan setahun-dua tahun Calvin kenal Jose. Dia tahu, Jose berbohong. Pastilah yang ada di kepalanya kini hanyalah dorongan kuat untuk traveling.

"Kaki palsu bisa membuatmu traveling lagi, Jose." Calvin membujuk halus.

"Kalau tujuanmu hanya ingin menawariku kaki palsu lagi, silakan pergi!" usir Jose.

Calvin menghela napas dalam. "I see. Sudah habis tehnya? Sini kucuci cangkirmu."

Diambilnya cangkir teh yang telah kosong. Menolak dengan halus ketika asisten rumah tangga ingin mengambil alih cangkir itu. Calvin mencucinya sampai bersih.

"Apakah malaikat tampan bermata sipit rela tangannya jadi kasar karena mengerjakan pekerjaan macam itu?" Jose menyusul Calvin ke pantry, kagum bercampur sebal melihat cangkir kristal itu kembali bersih.

"Aku bukan malaikat. Dan aku tak keberatan tanganku jadi kasar." timpal Calvin ringan.

Tak sempat Jose menanggapi. iPhone Calvin bergetar. Pop up bertuliskan Rossie menari di layar.

"Calvin, cepatlah pulang. Sivia..." kata Rossie terpatah-patah.

"Kenapa Sivia?"

"She wants to self harm."

Klik. Telepon diakhiri begitu saja. Tanpa pamit, Calvin bergegas kembali ke rumahnya. Diam-diam Jose mengikuti dari belakang.

**   

Rasanya tak ingin berakhir

Saat kita rasa bahagia

Hidup penuh dengan misteri

Kadang sulit kita jalani

Takkan bisa sendiri

Meraih mimpi tanpa cintamu

Terlalu indah 'tuk dibayangkan

Terlalu manis untuk di kenang

Karena engkau ku ada di sini

Kau selalu ada di hatiku dan di cintaku

Takkan bisa sendiri

Meraih mimpi tanpa cintamu

Terlalu indah 'tuk dibayangkan

Terlalu manis untuk di kenang

Karena engkau ku ada di sini

Kau selalu ada di hatiku dan di cintaku

Terima kasih telah memilihku

'Kan ku jaga cintamu selamanya

Ku 'kan selalu jadi yang terbaik

Melantunkan melodi terindah

Hanya untukmu (Bunga Citra Lestari-Hanya Untukmu).

**   

Rossie berdiri kaku di ambang pintu. Wajahnya memias menyaksikan Sivia berlutut sambil mendekatkan cutter ke lengannya. Florist muda itu takut, amat takut. Baru pertama kali ia melihat istri Calvin yang biasanya anggun dan cantik jadi selabil ini.

"Aku ingin luka...ingin luka." ratap Sivia.

"No...no...please jangan lakukan itu, Sivia. Please..."

"Aku ingin luka! Aku ingin luka!"

Ratapan Sivia berubah menjadi teriakan. Ia berteriak-teriak, terus mendekatkan cutter ke lengannya. Rossie melompat maju dengan berani. Direbutnya benda tajam itu dari tangan Sivia.

"Jangan pernah lakukan itu..." larang Rossie.

"Aku ingin luka! Kembalikan itu padaku! Aku ingin melakukannya!"

Rossie mundur menjauh. "I won't. Akan kukembalikan kalau kamu janji takkan menggunakannya untuk melukai dirimu."

Sivia berteriak frustrasi. Dia ingin luka, ingin sekali. Melukai diri adalah penyaluran terbesar. Emosinya akan terpuaskan bila ia telah menggoreskan luka ke tubuhnya.

Bayang-bayang luka sayatan, kulit yang tersobek, dan anyir darah menghantui pikiran Sivia. Ia mendambakan itu semua, sangat mendambakannya. Sebuah kegembiraan besar saat selaput kulitnya terlepas. Kebahagiaan luar biasa ketika hidungnya mencium amis darah. Sivia tak takut darahnya sendiri.

"Sivia, jangan lakukan itu ya...kumohon jangan. Ah, begini saja. Dari pada kamu self harm, mendingan kamu cicipin tart buatanku. Mau masak bareng aku juga boleh. Gimana? Asyik, kan?" tawar Rossie.

"Nggak mau! Masakan kamu nggak pernah enak!"

Tangan Rossie menggantung lemas di sisi tubuhnya. Kedua matanya menghamburkan bulir bening. Sakit hati ini dikata-katai Sivia. Benarkah masakannya tidak enak?

Sivia bangkit dari lantai. Dia melompat menerjang Rossie. Bermaksud mengambil cutter dari tangan chef wannabe itu. Dalam keadaan sedih, Rossie bereaksi lebih cepat. Dia berlari ke halaman belakang. Rossie membuang cutter ke kolam renang.

"Ok," cetus Sivia yang menyusulnya beberapa saat kemudian.

"Aku masih bisa self harm tanpa alat!"

Dengan ngeri, Rossie melihat Sivia menusukkan kuku-kukunya yang panjang berkuteks ke lengannya. Crash...tusukan kuku menggoreskan luka. Sivia masih belum puas.

"Aku ingin luka!" teriaknya, sebelum...

"Please stop doing that, Princess."

Tubuh Sivia menegang. Seorang pria tinggi semampai memeluknya dari belakang. Pria berjas hitam itu berusaha membuatnya tenang.

"Aku ingin luka! Aku ingin luka! Aku ingin luka!" Sivia berteriak-teriak histeris.

Dekapan pria itu bertambah erat. Ditenangkannya Sivia lewat pelukan. Dibuatnya Sivia tak bisa bergerak. Tubuh pria itu, yang jauh lebih tinggi dan berat, berhasil mengunci tubuh Sivia.

"Aku ingin luka! Biarkan aku melukai diriku!" jerit si wanita bermata biru.

"Takkan kubiarkan selama aku masih bernapas." bisik Calvin tepat di telinga Sivia.

Air mata Sivia meleleh. Saat ini, dia sangat menginginkan luka. Namun Calvin tak mengizinkannya. Hanya orang kurang waras yang membiarkan istrinya self harm.

"Baiklah, baiklah kalau begitu." tukas Sivia, di matanya terpancar dendam kesumat.

"Aku akan melukaimu."

"Silakan."

Calvin membuka jasnya. Memudahkan Sivia untuk memahat luka.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Sivia menggigit lengan Calvin kuat-kuat. Calvin diam, sempurna terdiam. Tak terdengar sepotong keluhan. Tidak juga erang kesakitan. Siapa pun tahu, Calvin amatlah kesakitan.

Tangis Rossie pecah. Dia tak tahan menyaksikan pemandangan memilukan ini. Kaki jenjangnya berlari meninggalkan rumah. Di depan gerbang, dia bertabrakan dengan kursi roda Jose.

"Lihat-lihat kalau jalan!" hardik Jose, menarik tangan Rossie sampai ia berdiri lagi.

"Kamu harus tahu apa yang terjadi. Lengan sepupumu digigit istrinya...!" isak Rossie.

"Sudah biasa. Aku malah heran kalau lengan Calvin tidak putus karena sering digigit."

Rossie berlari pulang sambil menangis. Sepercik kekaguman dirasakannya pada Calvin. Calvin, tetangganya yang paling baik, paling halus dalam perkataan, dan paling menghargai masakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun