"Aku ingin luka! Aku ingin luka!"
Ratapan Sivia berubah menjadi teriakan. Ia berteriak-teriak, terus mendekatkan cutter ke lengannya. Rossie melompat maju dengan berani. Direbutnya benda tajam itu dari tangan Sivia.
"Jangan pernah lakukan itu..." larang Rossie.
"Aku ingin luka! Kembalikan itu padaku! Aku ingin melakukannya!"
Rossie mundur menjauh. "I won't. Akan kukembalikan kalau kamu janji takkan menggunakannya untuk melukai dirimu."
Sivia berteriak frustrasi. Dia ingin luka, ingin sekali. Melukai diri adalah penyaluran terbesar. Emosinya akan terpuaskan bila ia telah menggoreskan luka ke tubuhnya.
Bayang-bayang luka sayatan, kulit yang tersobek, dan anyir darah menghantui pikiran Sivia. Ia mendambakan itu semua, sangat mendambakannya. Sebuah kegembiraan besar saat selaput kulitnya terlepas. Kebahagiaan luar biasa ketika hidungnya mencium amis darah. Sivia tak takut darahnya sendiri.
"Sivia, jangan lakukan itu ya...kumohon jangan. Ah, begini saja. Dari pada kamu self harm, mendingan kamu cicipin tart buatanku. Mau masak bareng aku juga boleh. Gimana? Asyik, kan?" tawar Rossie.
"Nggak mau! Masakan kamu nggak pernah enak!"
Tangan Rossie menggantung lemas di sisi tubuhnya. Kedua matanya menghamburkan bulir bening. Sakit hati ini dikata-katai Sivia. Benarkah masakannya tidak enak?
Sivia bangkit dari lantai. Dia melompat menerjang Rossie. Bermaksud mengambil cutter dari tangan chef wannabe itu. Dalam keadaan sedih, Rossie bereaksi lebih cepat. Dia berlari ke halaman belakang. Rossie membuang cutter ke kolam renang.