Sejenak ia berdiri ragu di sisi ranjang. Menimbang-nimbang apakah hendak mencium kening Sivia sebelum pergi? Tidakkah ciumannya akan membangunkan sang istri? Jika Sivia bangun sekarang, rencananya bisa tertunda.
Diputuskannya untuk pergi tanpa mendaratkan ciuman hangat. Biarlah, biar kecupan kening itu tersimpan saja sampai nanti. Semoga Sivia mengerti.
Rumah besar berlantai dua itu serasa sunyi. Terlalu sunyi untuk dihuni berdua saja. Begitu sepinya sampai-sampai derap langkah kaki menuruni tangga pun terdengar dengan volume maksimal. Tiap suara dipantulkan lantai parket dua kali lebih keras.
Menapaki anak tangga terbawah, Calvin teringat sesuatu. Ia menuju pantry. Membuka kitchen set, memilih-milih bubuk teh. Pilihannya jatuh pada bubuk teh Darjeeling. Ditutupnya pintu kitchen set tanpa suara.
** Â Â
"Assalamualaikum, Alea."
"Waalaikumsalam, Calvin." Alea menjawab salamnya dengan gugup.
Slang penyiram bunganya luput. Bukannya mengenai bunga, air malah menyemprot rerumputan di dekat kakinya. Calvin tersenyum simpul memperhatikan kegugupan Alea.
"Hei, wat happen? Masa Nyonya Jose Gabriel Diaz kurang menguasai diri begitu?"
"Tanganku tremor, Calvin."
Sejurus kemudian, Alea kembali menyiram anggrek Cattleyanya. Calvin menaburkan pandang ke kebun anggrek itu. Semua anggrek yang ditanam Alea tumbuh subur. Ingatannya melayang pada bunga-bunga lily dan mawarnya. Banyak mawar dan lily yang dirawatnya telah mati.