Andai Aku Jadi Nobita
"Pelan-pelan, Jose. Sini..."
Alea mengulurkan tangan. Lembut membantu Jose berpindah posisi, dari kursi roda ke sofa. Setelah itu ia bergegas menuju dapur. Mengambilkan dua gelas susu hangat.
"Diminum dulu susunya. Selagi masih hangat," lanjutnya.
Jose menerima gelas dari tangan Alea dalam diam. Alea menjatuhkan diri di sofa. Sekali pandang saja, ia tahu ada badai di hati suaminya.
Alea enggan bertanya. Bukan tak peduli, bukannya tak mau tahu. Menanyai Jose sesulit mendaki Gunung Everest bagi para pendaki amatir. Dinantinya Jose bercerita.
"Hmmmm...sepertinya kamu tidak mau peduli." Jose bergumam sendiri.
Sontak Alea menolehkan kepala. "Justru aku menunggumu bercerita. Aku tahu kamu tidak suka ditanya-tanya."
Nah, kurang baik apa Alea memahami Jose? Tak ada cinta di hatinya. Bukan berarti dia gagal mendalami karakter seorang Jose Gabriel Diaz.
Badai di hati Jose berawal dari rasa cemburu. Tadi siang, Jose dan Alea mengantar Arini ke stasiun televisi swasta tempatnya mengisi talk show motivasi. Pihak stasiun televisi menginginkan Arini datang bersama kedua orang tuanya. Segmen demi segmen acara berjalan menyenangkan. Jelang segmen terakhir, Alea didekati produser acara itu. Si produser mengaku teman kuliah Alea di Universitas Colorado. Semula Alea lupa. Kotak ingatannya baru terbuka ketika sang produser menunjukkan video perform mereka di kampus. Ternyata Alea dan si produser pernah tampil satu panggung saat membawakan Tari Kecak.
Jose takkan merasa ada masalah ketika produser itu seorang wanita. Sayangnya, produser itu bergender pria. Bahkan, tergolong pria bermata sipit yang menawan. Berulang kali pria simply irresistable itu memuji kecantikan Alea. Mereka terus saja bernostalgia tentang Profesor-Profesor brilian di Amerika sana yang memuji penampilan mereka.
Cemburu di hati Jose berbaur dengan perasaan underestimate. Produser itu mendominasi layaknya Goliath yang besar, dan dirinya hanyalah Davvid yang kecil, tak berarti. Jose merasa dirinya tak setampan produser acara televisi itu. Dirinya pun tidak bisa menari. Kalau dilihat dari tingkat pendidikan, jelas Alea lebih tinggi darinya. Alea seorang doktor, lulusan luar negeri pula.
Alea yang populer, cantik jelita, memesona, dan cerdas. Hubungan baiknya dengan pria-pria sukses merontokkan kepercayaan diri Jose. Kepercayaan diri berakar jadi cemburu.
"Kenapa kamu tidak menikah saja dengan produser itu? Atau dengan Calvin?" tanya Jose lirih.
Apa-apaan ini? Kernyitan muncul di dahi Alea. Pelan diusapnya lengan Jose.
"Karena takdirku adalah kamu." jawabnya filosofis.
"Kelihatannya dia lebih cocok untukmu. Tinggalkan saja aku. Dari matanya, aku tahu kalau dia jatuh hati padamu."
Alea tertawa hambar. "Jose, tidak mungkin aku menikah dengannya. Aku sudah punya kamu. Aku sudah punya Arini."
"Yah...siapa tahu kamu berubah pikiran. Dengan keadaanku sekarang, gampang sekali kamu berpindah ke lain hati."
Inilah yang tidak disukai Alea dari Jose. Suaminya itu menjadi sangat pesimis sejak kakinya diamputasi.
"Jose, lebih baik kamu terima tawaran kaki palsu dari Calvin." pungkasnya.
Mata Jose berkilat tajam. "Apa kamu tidak tahan lagi mengurusku?"
"Sama sekali bukan karena itu. Kamu akan menemukan kembali cahaya hidupmu kalau bisa berjalan lagi."
"Apa kaki palsu bisa membuatku menari bersamamu?"
Pertanyaan Jose sukses membungkam Alea. Tidak, Alea tidak butuh menari bersama Jose. Dia hanya ingin melihat Jose yang dulu. Jose yang optimis, punya semangat hidup yang tinggi, dan tak menyerah berteman dengan Hemofilia.
"Apakah menari denganku menjadi sebuah keharusan?" tanya Alea balik.
"Ehm...kalau meminjamiku gula sama kopi keharusan kali ya."
Jose dan Alea terperangah. Demi Tuhan, mereka lupa. Lupa kalau mereka beradu argumen di ruang depan. Lupa kalau pintu utama belum mereka tutup. Lihatlah, tetangga ajaib mereka muncul.
"Oh...hai Reinhard, hai Rinjani. Boleh aja. Ambil sendiri di dapur, ok?" kata Alea, tersenyum ramah.
"Yuhuuu...thanks Alea."
Jose melempar pandang marah ke punggung mereka. Pasangan super pelit itu mengganggu saja. Timing mereka untuk meminjam gula dan kopi tidak tepat. Sejauh ini, mereka belum pernah menggantinya.
Ketika Reinhard dan Rinjani sudah pergi, kebekuan kembali tercipta. Pintu telah ditutup.
"Jawab pertanyaanku, Jose. Apakah menari denganku menjadi sebuah keharusan?"
"Aku hanya ingin membuktikan kalau aku cukup pantas dan bertalenta untuk menjadi pendampingmu."
"Apakah pembuktian itu harus dengan menari?"
Sesungguhnya, Alea paling anti berdebat. Terlebih bila perdebatan berujung pertengkaran seperti ini. Bagaimana bila pertengkaran mereka didengar lagi oleh Arini? Jika itu terjadi, sia-sialah Jose dan Alea mengajarkan cinta tanpa mempertontonkan keributan pada putri mereka.
** Â Â
Apa yang ditakutkan Alea terjadi. Arini mendengar pertengkaran orang tuanya. Tanpa mereka sadari, Arini lewat di dekat ruang tamu setelah mengambil bonekanya. Dengan wajah sendu berurai air mata, anak cantik itu naik ke lantai atas.
Arini membanting pintu kamar. Ia menekapkan tangan ke wajah, terisak tertahan. Risau hatinya mendengar Alea dan Jose bertengkar lagi. Arini belum tahu penyebabnya, tetapi yang jelas hatinya sakit sekali.
Anak mana yang tidak pilu mendapati orang tuanya bertengkar? Hati anak-anak sepolos kertas putih. Warna apa pun tinta yang menodai mereka, sangat mudah untuk menyerapnya. Jose dan Alea telah menodai hati Arini dengan tinta hitam.
Mengapa Ayah dan Bundanya ribut lagi? Arini tak berdaya, tak berdaya membalikkan keadaan. Dia masih terlalu kecil untuk memahami kerumitan orang dewasa.
Lama-lama Arini tertekan tiap kali melihat orang tuanya berselisih. Tak sadarkah Jose dan Alea kalau sikap mereka membuat Arini sedih? Secara materi dan kasih sayang, mereka memang juaranya. Akan tetapi, mereka belum layak disebut orang tua yang matang. Sebab mereka membiarkan anak semata wayang mereka menyaksikan ketidakharmonisan. Jangan mengajarkan cinta dengan keributan di dalamnya.
Arini tak tahan lagi. Dibukanya connecting door yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Di balkon, terdapat anak tangga panjang yang terarah langsung ke halaman belakang. Kaki mungil Arini bergegas menuruninya. Arini keluar dari rumah lewat jalan pintas.
Di jalan depan rumah, Arini bertanya-tanya. Harus kemana ia mengadu? Kemanakah dia bisa meluruhkan sedih hatinya? Jawaban atas pertanyaannya hadir. Sosok ayah kedua, malaikat tampan bermata sipit yang pertama kali ia cari saat sedih dan bahagia. Arini pun berlari ke rumah paling besar di kompleks.
"Arini...Arini Sayang, ada apa?"
Reaksi pertama Calvin adalah kaget. Bagaimana tidak, Arini datang padanya sambil menangis. Dalam sekejap, Arini rebah di pelukan pria berparas pucat itu.
"What happen, Sweetheart? Tell me..."
"Ayah sama Bunda berantem lagi."
Calvin terenyak. Dibelai-belainya rambut Arini penuh kasih. Ia takkan menanyai Arini apa penyebabnya. Didengarkannya curahan hati Arini tanpa menyela, tanpa bertanya, dan tanpa menghakimi.
"Daddy..." panggil Arini di sela tangisnya.
"Iya, Sayang?"
"Enak ya, jadi Nobita. Nobita punya Doraemon yang punya alat apa aja. Andai aku jadi Nobita, aku bakalan ambil pil penyembuh biar Ayah bisa jalan lagi dan buku buat baca bahasa hati Bunda."
Polos, polos sekali permintaan itu. Arini memiliki cara sendiri di kepalanya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Begitukah problem solving ala anak kecil? Calvin, yang sangat memahami anak-anak, takkan menghakimi.
Calvin memeluk Arini. Diciumnya kening gadis kecil itu. Tanpa sepengetahuannya, Sivia lekat memperhatikan dari balik kaca partisi. Air bening membasahi mata biru wanita itu.
"Punya anak...kapankah ada tangis dan tawa ceria anak-anak di rumah ini?" Sivia mendesah ke langit-langit, seolah berharap dapat melihat langit.
Sisa sore itu dilalui Arini bersama Daddynya. Calvin mengajak Arini ke taman. Dibacakannya buku untuk Arini. Dia menyuapi Arini dengan es krim kesukaannya. Apa pun dilakukan Calvin untuk membuat Arini kembali tersenyum.
Calvin sangat menikmati perannya sebagai ayah kedua. Vonis infertilitas yang mendera tubuhnya membuat Calvin mendambakan hadirnya anak. Salah satu pengobat rindunya adalah dengan menjadi ayah kedua yang terbaik buat Arini. Ia sadar, Arinilah penerus garis keturunan keluarga besarnya. Meski mungkin nama keluarganya akan musnah, sebab nama keluarga hanya diwariskan pada anak laki-laki. Tapi apa pun itu, harus tetap disyukuri.
Gradasi jingga-kemerahan melukis langit. Sisa sinar keemasan terakhir matahari terbenam memperindahnya. Ketika senja turun, Calvin mengantar Arini pulang. Rumah besar bercat biru itu kosong. Kemana Jose dan Alea?
"Daddy, Arini takut sendirian." erang Arini putus asa.
"Nggak, Sayang. Arini nggak sendirian. Daddy temani sampai Ayah-Bundanya Arini kembali."
Pintu pagar berderit terbuka. Baru saja mereka hendak masuk,, Revan memanggil mereka. Pria berjas biru itu mengaku mobilnya berpapasan dengan mobil Jose di depan jalan masuk menuju kompleks. Entah kemana Jose akan pergi. Revan tak tahu.
Calvin berusaha mengontak Jose dan Alea. Handphone mereka tidak aktif. Apa lagi kali ini? Semoga mereka pergi pure karena keperluan penting, bukannya lari dari masalah.
"Daddy, Arini lapar." Arini merajuk manja, mengusap-usap perutnya.
"Arini mau makan apa, Sayang?"
Belum sempat Arini menjawab, bel pintu berdering. Rossie datang. Satu tangannya membawa piring kue.
"Hei...Pretty Girl, why are you so sad?" tanya wanita muda blasteran Indo-Inggris itu penuh perhatian.
"Ayah sama Bunda pergi. Arini nggak tahu kemana." sahut Arini sedih.
"Oh iya...tadi Auntie Rossie lihat Bunda kamu pergi."
"Alea pergi kemana, Rossie?" Calvin menyela tak sabar.
Rossie mengangkat bahu. "I duno, Calvin. Aku hanya melihat Alea naik taksi."
Satu hal sudah jelas. Jose dan Alea bepergian secara terpisah. Arini tertunduk dalam. Hati Calvin tercabik sedih dan bingung.
"Sudah, sudah. Jangan sedih lagi ya...Arini cobain dulu kue buatan Auntie. Pasti Arini suka." Rossie menawari.
Arini menurut. Diraihnya sepotong cup cake. Di sampingnya, Calvin tak bisa mencegah. Dia teringat ucapan Jose tentang Rossie dan Adica: pasangan Barbie-Kent yang selalu gagal dalam eksperimen memasak.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Arini memuntahkan kembali cup cakenya. Anehnya, Rossie tetap tersenyum.
"Itu Adica yang buat." Rossie menjawab santai saat ditanya Calvin.
Entah siapa yang masakannya lebih parah, Adica atau Rossie. Calvin berani bertaruh, sepiring cup cake ekstra pahit plus kebanyakan susu itu tersaji pula di rumahnya.
Tak ada waktu untuk memasak. Delivery pizza menjadi alasan. Lagi-lagi Calvin menyuapi Arini. Disuapkannya potongan-potongan pizza dengan sabar. Selesai makan, Calvin membantu Arini mengerjakan PR. Dia senang sekali bisa mengajari Arini. Blessing in disguise dari pertengkaran Alea dan Jose: lebih banyak kesempatan untuk Calvin melakoni peran seorang ayah.
Pukul sembilan tiba. Jose dan Alea belum juga pulang. Calvin menidurkan Arini. Dia peluk tubuh Arini sampai anak itu tertidur. Belaian hangat, pelukan, dan ciuman kening dari Calvin membuat Arini tidur pulas.
Lima menit setelah Arini terlelap, Jose pulang. Ia senang dan tak menyangka karena Calvin menjaga putri semata wayangnya.
"Sorry Calvin, aku ada urusan di luar tadi..."
"Ada urusan atau kabur dari masalah?" potong Calvin tajam.
Jose terdiam. Calvin berjalan memutari kursi rodanya.
"Kalau kamu tidak mau peduli lagi pada Arini, serahkan padaku."
Tangan Jose terkepal. Ia merasa terintimidasi.
"Merasa terancam? Arini lebih penting saat ini. Takkn kubiarkan penerus keluarga kita jadi broken kids hanya karena keributan yang diciptakan sendiri oleh orang tuanya." ucap Calvin tenang.
Sebuah ancaman serius. Broken kids tak selalu berasal dari sepasang orang tua yang bercerai. Orang tua yang terus mempertontonkan perselisihan di depan anak pun rentan menghasilkan produk yang sama.
** Â Â
Senyumanmu
Sinari
Setiap kesedihan di hati
Tatapanmu
Hiasi
Setiap sudut angan-anganku
Mungkinkah ku
Jadi pilihan hatimu
Tiada henti
Ku selalu berangan
Ooh
Andai dirimu
Memilih hatiku
Kan ku serahkan
Cinta tulus
Di hatiku
Meski kau
Takkan pernah tahu
Ketulusan hatiku ini
Biar ku simpan
Dalam mimpi
(Ku simpan dalam mimpi)
Keindahan hatimu
(Indah hatimu)
Selalu membuatku terkagum
(Membuatku terkagum)
Keindahan hadirmu
Sungguh ku dambakan
Saat ini
Mungkinkah ku
Jadi pilihan hatimu
Tiada henti
Ku selalu berangan
(Selalu berangan)
Andai dirimu
Memilih hatiku
(Memilih hatiku)
Kan ku serahkan
Cinta tulus
Di hatiku
Meski kau
Takkan pernah tahu
Ketulusan hatiku ini
Biar ku simpan
Dalam mimpi
Andai dirimu
Memilih hatiku
Kan ku serahkan
Cinta tulus
Di hatiku
Meski kau
Takkan pernah tahu
Ketulusan hatiku ini
Biar ku simpan
Dalam mimpi
(Andai dirimu)
(Memilih hatiku)
Kan ku serahkan
Cinta tulus
Di hatiku
Meski kau
Takkan pernah tahu
Semua yang
Ku rasakan ini
biar ku simpan
Dalam mimpi
Biar ku simpan
Dalam mimpi (Maudy Ayunda-Kusimpan Dalam Mimpi).
"Kamu ada di depan rumah? Oh iya, tunggu sebentar."
Gerakan tangan Alea terhenti. Ia meletakkan blendernya. Meminta bibi pengurus rumah meneruskan memblender bumbu. Alea bergegas ke halaman depan.
Calvin berdiri menunggunya. Hati Alea berdesir seiring kian dekatnya jarak dengan pria berjas dark blue itu. Manik mata Alea sekilas menangkap baret di tangan Calvin. Apakah itu luka baru?
"Assalamualaikum, Calvin." kata Alea perlahan.
"Waalaikumsalam, Alea."
Sesaat keduanya saling tatap. Mata bening Alea menyimpan kekhawatiran. Khawatir memandangi baret dan wajah pucat Calvin. Rona pucat tak mengurangi ketampanannya.
"Ceritakan padaku, Alea." pinta Calvin.
"Cerita apa?"
"Apa pun...kamu bisa menceritakan kesedihanmu. Kamu bebas mengungkapkan semuanya padaku."
Jadi, ini tujuan Calvin menemuinya. Sebuah keputusan bijak ketika Calvin mengajaknya bicara di luar rumah. Waktunya tepat sekali. Calvin bertemu Alea saat Jose sibuk mengurus Arini.
"Aku sedih karena Jose terus-terusan cemburu padaku. Aku tak tau lagi bagaimana menghadapi suamiku. Semua yang kulakukan rasanya sia-sia. Dia hanya mau mendengarkan Arini. Entah aku dianggap apa olehnya. Padahal aku sudah melakukan yang terbaik untuknya."
Dan...tumpahlah beban itu. Kristal bening berjatuhan dari mata Alea. Calvin membelai punggung Alea. Kesedihan membanjiri hatinya. Apa kurangnya wanita ini? Tiap aspek dalam diri Alea didambakan semua wanita. Siapa pun pendamping hidupnya seharusnya bersyukur memiliki istri sesempurna itu.
"Keluarkan semuanya, Alea. Keluarkan..." Calvin terus membelai punggung ibu satu anak itu.
Alea terisak. Ia nyaman, nyaman sekali di dekat Calvin. Seberkas cinta itu masih ada. Calvin akan selalu menjadi cinta dalam hidupnya.
Tidak, Calvin tidak bisa melihat Alea menangis. Separuh hidupnya terlewati bersama perempuan cerdas ini. Dalam gerakan slow motion, Calvin merengkuh Alea. Tak ada penolakan. Tak ada kepura-puraan.
Calvin dan Alea berpelukan. Bertahun-tahun lewat sejak terakhir kali Alea dipeluk seerat ini oleh cinta pertamanya. Ini pelukan pertama Calvin untuk Alea ssejak mereka berdua sama-sama terikat pernikahan.
Cairan dari mata Alea tumpah membasahi jas Calvin. Pemiliknya tak peduli. Ketenangan ibu dari keponakannya, itu yang terpenting.
"Oh Calvin, sorry...sorry. Aku menambah bebanmu. Harusnya aku yang menjadi penopangmu."
"No problem. Kamu..."
"Astaga, apa yang kalian lakukan?"
Suara itu, suara Ummi Adeline! Calvin dan Alea melompat berpisah.
Ummi Adeline mendekat. Ia bergandengan tangan dengan Abi Assegaf. Ini tidak baik, sungguh tidak baik.
"Ada apa, Adeline?" tanya Abi Assegaf.
"Kamu lihat apa?"
Calvin dan Alea menyalami Abi Assegaf. Menunjukkan kehadiran mereka lewat sentuhan dan suara. Ummi Adeline tak menjawab pertanyaan suaminya. Meski begitu, ia menarik tangan Alea dan berbisik.
"Assegaf tidak akan tahu. Saya bisa merahasiakannya. Tapi saya tidak tanggung jawab kalau sampai Mas Jose dan Mbak Sivia terluka gegara hal itu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H