"Punya anak...kapankah ada tangis dan tawa ceria anak-anak di rumah ini?" Sivia mendesah ke langit-langit, seolah berharap dapat melihat langit.
Sisa sore itu dilalui Arini bersama Daddynya. Calvin mengajak Arini ke taman. Dibacakannya buku untuk Arini. Dia menyuapi Arini dengan es krim kesukaannya. Apa pun dilakukan Calvin untuk membuat Arini kembali tersenyum.
Calvin sangat menikmati perannya sebagai ayah kedua. Vonis infertilitas yang mendera tubuhnya membuat Calvin mendambakan hadirnya anak. Salah satu pengobat rindunya adalah dengan menjadi ayah kedua yang terbaik buat Arini. Ia sadar, Arinilah penerus garis keturunan keluarga besarnya. Meski mungkin nama keluarganya akan musnah, sebab nama keluarga hanya diwariskan pada anak laki-laki. Tapi apa pun itu, harus tetap disyukuri.
Gradasi jingga-kemerahan melukis langit. Sisa sinar keemasan terakhir matahari terbenam memperindahnya. Ketika senja turun, Calvin mengantar Arini pulang. Rumah besar bercat biru itu kosong. Kemana Jose dan Alea?
"Daddy, Arini takut sendirian." erang Arini putus asa.
"Nggak, Sayang. Arini nggak sendirian. Daddy temani sampai Ayah-Bundanya Arini kembali."
Pintu pagar berderit terbuka. Baru saja mereka hendak masuk,, Revan memanggil mereka. Pria berjas biru itu mengaku mobilnya berpapasan dengan mobil Jose di depan jalan masuk menuju kompleks. Entah kemana Jose akan pergi. Revan tak tahu.
Calvin berusaha mengontak Jose dan Alea. Handphone mereka tidak aktif. Apa lagi kali ini? Semoga mereka pergi pure karena keperluan penting, bukannya lari dari masalah.
"Daddy, Arini lapar." Arini merajuk manja, mengusap-usap perutnya.
"Arini mau makan apa, Sayang?"
Belum sempat Arini menjawab, bel pintu berdering. Rossie datang. Satu tangannya membawa piring kue.